Pages - Menu

Minggu, 30 September 2012

Tentang Laisa


Jarang sekali saya mendapat pertanyaan yang berkaitan tentang Ilmu Nahwu dan lebih jarang lagi jika yang bertanya adalah seorang santri putri. Dia adalah teman baik saya di dunia maya. Walaupun kami tidak pernah bertatap muka, saya mengetahui latar belakang keluarganya. Disamping pernah singgah di rumahnya, saya juga akrab dengan kakak-kakaknya ketika masih di pondok dulu.
Pertanyaan yang disampaikan adalah, "Laisa merupakan kalimah fi'il yang infleksibel, ia tidak mempunyai bentuk mudlari', masdar dan sebagainya. Ketika kemasukan dlamir rafa' mutaharrik kenapa lamnya dibaca fathah? Bukankah ain fi'ilnya berupa huruf ya' sehingga mestinya lamnya dibaca kasroh bukan fathah?!"
Waktu itu, saya sedang menghadiri acara Maulid Nabi di kolam renang yang diadakan oleh Paguyuban Pelajar Jawa Tengah dan Jogja (PPJJ). Sebuah komunitas yang beranggotakan para pelajar dari Jateng dan Jogja di tiga lembaga pendidikan, Universitas Al-Ahgaff, Rubath Tarim dan Darul Musthofa.
Untungnya saya membawa serta komputer jinjing yang baru saya beli dari seorang teman beberap bulan yang lalu. Seketika itu saya langsung membuka software Maktabah Shamilah. Sebuah program komputer berbahasa Arab yang sudah tidak asing lagi bagi para penuntut ilmu agama.
Setelah melakukan penelusuran, dalam kamus Lisânul Arab karya Ibnu Mandhûr, ada keterangan bahwa Laisa aslinya adalah Laa Aisa dari dua suku kata yaitu Laa (huruf nafi) dan Aisa (isimnya). Kemudian huruf hamzah pada kalimah aisa dibuang, lalu huruf ya'nya ditempelkan pada huruf lam sebelumnya.
Tidak dijelaskan secara gamblang kenapa lam-nya dibaca fathah ketika bertemu dlamir rafa' mutaharrik. Namun secara implisit, berdasarkan fakta empiris dari proses terbentuknya laisa, dapat ditarik kesimpulan bahwa hal itu untuk mendeklarasikan adanya huruf (alif) yang terbuang.
Sekian. Semoga bermanfaat.
Wallâhu a'lam