Pages - Menu

Sabtu, 25 Oktober 2014

Gengsi Dong


Sumber gambar: Ganool.com

Sekalipun sudah berpuluh-puluh kali menonton film, sekali pun saya belum pernah membuat resensi. Oleh karenanya, perkenankan saya kali ini untuk (latihan) menulis ringkasan tentang film yang belum lama ini saya tonton: Gengsi Dong.

Mungkin sebagian besar dari Anda sudah pernah menontonnya, bahkan berkali-kali, karena film ini memang sering diputar ulang, terutama saat hari Lebaran. Ya, Gengsi Dong adalah film drama komedi tahun 80-an yang dibintangi oleh tiga pelawak legendaris—Dono, Kasino, dan Indro—serta penyanyi dangdut kawakan, Camelia Malik.

Film ini mengisahkan tiga orang mahasiswa yang sedang kuliah di ibu kota Jakarta. Mereka adalah Slamet (Dono), anak juragan tembakau paling kaya dari Solo, Jawa Tengah; Sanwani (Kasino), orang Betawi asli anak pengusaha bengkel mobil; dan Paijo (Indro), anak pengusaha minyak yang kaya raya. Dari latar belakang yang beragam itulah, mereka berteman dan bertemu dengan Rita (Camelia Malik), gadis paling cantik sekaligus putri seorang dosen yang mengajar di kampus tempat mereka kuliah.

Ketiganya selalu menjaga gengsi dan berlomba-lomba untuk menarik perhatian Rita.

Sanwani, misalnya, selalu mengibul bahwa dirinya tinggal di perumahan elite di daerah Menteng. Ia juga sering pergi ke kampus membawa mobil dari bengkel yang belum selesai didempul. Sementara Slamet, setelah dikompori teman-temannya karena tak punya mobil, akhirnya meminta kiriman uang dari kampung untuk membeli mobil. Berbekal uang Rp2 juta kiriman dari ayahnya, ia hanya mampu membeli mobil reyot—sebenarnya lebih tepat disebut opelet—yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampak norak.

Hari-hari kuliah mereka jalani dengan ceria dan penuh tawa. Sesekali mereka mencuri kesempatan untuk kencan berdua dengan Rita dan merumrumnya melalui alunan lagu dangdut. Dan meski Rita tampak sangat akrab dengan ketiganya, sebenarnya tidak ada satu pun dari mereka yang ia taksir. Sebaliknya, masing-masing dari mereka bertiga justru merasa dirinyalah yang paling pantas dan berhak untuk menjadi kekasih Rita.

Puncaknya saat mereka diundang dalam acara ulang tahun Rita yang ke-20. Pada akhir acara, bapak Rita naik ke pentas dan menunjuk pria lain untuk menjadi calon suami bagi anaknya. Tentu saja, mereka bertiga kecewa berat. Bahkan Slamet yang sebelumnya tampil sangat percara diri sampai pingsan melihat kenyataan pahit itu.

Selain menghibur penonton melalui dialog dan adegan-adegan lucu, konon Gengsi Dong—dan film-film Warkop DKI yang lain—juga sarat muatan sindiran terhadap penguasa. Misalnya perkataan Sanwani saat memperkenalkan Paijo sebagai anak pengusaha minyak yang “hartanya banyak disimpan di luar negeri” atau pembelaannya kepada Slamet saat diejek Paijo “orang kaya kelakuannya memang begitu, kayak uang bapaknya halal saja.” Dan masih banyak lagi....

Meski Gengsi Dong merupakan film zaman baheula, setidaknya saya cukup terhibur dan menikmatinya—seperti sedang bernostalgia.

Pernahkah Anda menonton film ini? Bagaimana kesannya? Menarikkah?

Selasa, 07 Oktober 2014

Iktirad

Gambar kartun di atas diambil dari sini.
Hari Jumat lalu saya membagikan sebuah tautan di salah satu grup Facebook yang saya ikuti. Tautan tersebut berisi kritik atas keputusan pemerintah Arab Saudi yang menetapkan awal bulan Zulhijah 1435 jatuh pada hari Kamis (25 September) berdasarkan penyaksian sejumlah saksi yang mengaku melihat hilal. Alasan saya simpel: sehari sebelumnya (Rabu, 24 September) setelah matahari terbenam, posisi hilal di Mekah masih sangat rendah sehingga sangat sulit untuk dilihat, sekalipun menggunakan alat bantu optik.

Beragam komentar pun bermunculan. Banyak yang mendukung dan tertarik. Tak sedikit yang hanya menyimak diam saja. Ada pula yang terlihat “kaget” dan memberi respons tidak setuju.

Terus terang saya senang sekali jika ada yang mengkritik atau mengoreksi tulisan-tulisan di blog ini, baik dari segi isi, tata bahasa, maupun ejaan kalimatnya. Dengan catatan, tentu saja, kritik tersebut disampaikan dengan bahasa yang jelas, tidak berbelit-belit, dan disertai dalil ilmiah (jika diperlukan) sebagai pendukung gagasannya. Bukan asal bicara serampangan yang terkesan memaksakan pemahamannya sendiri dan membuat orang lain kesulitan menanggapinya.

Salah seorang penghuni grup Facebook itu—yang belakangan saya ketahui sebagai mahasiswa pascasarjana di Universitas Al-Ahgaff—berkomentar begini, “Yang menulis di blog sangat tidak beretika, sangat tidak tahu ilmu falak. Hari Jumat ini memang Arafah.”

Minggu, 05 Oktober 2014

Mari Berselawat!

Sumber gambar: Halaman Facebook AMI Al-Ahgaff.
Kebanyakan pelajar Indonesia di Yaman—saya tidak mengatakan semuanya—kurang bisa membedakan antara transliterasi dan kata serapan dari bahasa Arab. Transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Sedangkan kata serapan adalah kata yang diambil dari bahasa asing, lalu ejaan dan pelafalannya disesuakan dengan yang berlaku di Indonesia. Sekadar informasi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat (2008) terbitan Pusat Bahasa telah menyerap 20 bahasa asing dan 70 bahasa daerah.

Beberapa hari yang lalu, sebuah pengumuman bertuliskan “Al-Ahgaff Bershalawat...!” terpampang sangat jelas di dalam asrama mahasiswa Universitas Al-Ahgaff, Yaman. Pengumuman itu berisi ajakan melakukan selawat berjemaah di selasar kampus yang akan dihadiri oleh salah seorang ulama setempat. Tidak ada masalah dengan acara itu, masalahnya hanya pada judul pengumuman itu sendiri.

Saya tidak bermaksud mengomentari penggunaan tanda elipsis yang tidak perlu pada judul tersebut, tetapi secara khusus akan membahas gugus konsonan /sh/ yang digunakan dalam kata bershalawat pada judul pengumuman itu. Selain kata shalawat, kita kerap menjumpai (dalam bahasa tulis) gugus konsonan /sh/ yang digunakan dalam kata seperti shalat, mushala, shubuh, shadaqah, shaf, dan lain-lain sebagai kata dari serapan bahasa Arab yang seolah-olah bergugus konsonan /sh/.

Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi III (2008) disebutkan bahwa konsonan bernada desis (frikatif) /s/ gugus konsonannya adalah /sl/, /sr/, /sw/, /sp/, /sm/, /sn/, /sk/, /st/, /sf/ seperti pada kata slogan, sriwijaya, swalayan, spora, smokel, snobisme, skala, status, sferoid.

Adapun gugus konsonan /sh/ pada contoh-contoh yang saya sebutkan di atas tidak ada satu pun yang tercantum sebagai lema dalam KBBI. Konsonan itu berasal dari huruf sad yang, mungkin, dianggap sama dengan huruf kha yang mempunyai konsonan /kh/ dalam bahasa Indonesia, sehingga terjadilah penulisan kata serapan bahasa Arab tersebut yang sesungguhnya menyalahi kaidah paramasastra.

Jadi, jika ingin mematuhi kaidah penggunaan bahasa yang baik dan benar seharusnya ditulis salat, subuh, musala, sedekah, dan berselawat.

Kesalahpahaman atau ketidakhirauan terhadap penggunaan tata bahasa, ejaan, dan penulisan unsur serapan dari bahasa asing tampaknya sudah mengakar kuat dalam diri masyarakat Indonesia. Sehingga, untuk mewujudkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar serta bangga berbahasa Indonesia masih berupa jalan yang sangat panjang.