Pages - Menu

Kamis, 30 Januari 2014

Kalah dari Sumatera, PPJJ Turun ke Peringkat Tiga



Logo PPJJ Yaman | Dok. Pribadi

Tarim – Memasuki pekan ketiga AMI Super League 2013/14 persaingan antartim semakin sengit. Sore kemarin (29/1) dua tim yang menghuni papan atas klasemen sementara, PPJJ (Paguyuban Pelajar Jawa Tengah dan Jogjakarta) dan Sumatera, bertarung untuk mengukuhkan posisi masing-masing. Pertandingan yang disaksikan puluhan pasang mata mahasiswa Universitas Al-Ahgaff itu dimenangi oleh Sumatera yang tampil penuh agresif dengan skor 1-3.
Sejak peluit panjang ditiup oleh wasit asal Jawa Timur, Khoirur Roji, Sumatera langsung penerapkan strategi menyerang. Walhasil, dua gol berhasil mereka cetak pada babak pertama melalui kaki Arif Makinuddin dan Mursal Mina.
PPJJ sempat memperkecil ketinggalan ketika Muhammad Lutfi Hakim mencetak gol melalui sundulan pada pertengahan babak kedua. Pemain yang genap berusia 25 tahun pada 27 Desember lalu itu berhasil memanfaatkan tendangan penjuru yang dikirim oleh Ahmad Mansur. Gol balasan tersebut sedikit membuat semangat anak-anak PPJJ naik. Namun sayang, serangan yang mereka bangun selalu gagal. Berulang kali Ahmad Mansur dan Suryono melakukan tendangan spekulasi langsung ke arah gawang namun berhasil ditepis oleh kiper Sumatera, Kenedi.
Sekitar lima menit sebelum pertandingan usai, Sumatera kembali menjebol gawang PPJJ yang dijaga oleh Lutfi Ahsanuddin. Melalui tendangan bebasnya, Muhammad Nazar Utsman berhasil memanfaatkan celah di antara pagar betis PPJJ. Skor 1-3 untuk kemenangan Sumatera bertahan hingga pertandingan berakhir.
Hasil ini membuat PPJJ harus puas turun ke peringkat tiga klasemen sementara.dengan perolehan 6 poin dari tiga kali bertanding. Sementara Sumatera yang belum pernah kalah sejak kompetisi dimulai memimpin klasemen dengan koleksi 7 poin. Posisi kedua ditempati Astabar (Asosiasi Mahasiswa Jakarta dan Jawa Barat) yang baru bertanding dua kali.
Semantara itu, hingga berita ini diturunkan, Astabar masih ditahan imbang 1-1 oleh Jawa Timur. Siapakah yang akan keluar menjadi kampiun AMI Super Leagu 2013/14 nanti? Baik Sumatera, PPJJ, Astabar atau Jawa Timur, semuanya masih punya kans untuk itu.

Senin, 27 Januari 2014

Senin Terakhir di Bulan Maulid



Sumber foto: Ulin Nuha
Ini adalah hari yang sangat melelahkan sekaligus melegakan. Bagaimana tidak? Selama kurang lebih tiga minggu ini, terhitung sejak tanggal 10 Januari lalu, saya dan teman-teman di Universitas Al-Ahgaff sedang menjalani ujian semester ganjil. Tidak seperti biasanya, untuk semester sembilan ini, jumlah mata pelajarannya ada tujuh. Selain faktor jumlah pelajaran, cuaca dingin yang mencekam juga menjadikan tubuh malas untuk diajak beraktivitas.

Ketenatan kami sedikit terobati siang harinya saat menghadiri acara Maulid Nabi di Darul Mustofasalah satu lembaga pendidikan Islam terkemuka di kota Tarim, provinsi Hadhramaut,Yaman.

Sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun, lembaga pendidikan yang diasuh oleh Habib Umar bin Hafidh ini selalu menggelar acara Maulid Akbar pada hari Senin terakhir di bulan Rabiul Awal. Yang paling mengesankan dari semua hajatan besar yang digelar di Darul Mustofaselain kehadiran para ulama dan habaibadalah jamuan makannya yang sangat mewah: nasi, daging kambing, sambal, lengkap dengan buah-buahan segar. Tidak mengeherankan jika banyak dari teman-teman yang jauh hari sudah melakukan ancang-ancang supaya acara penuh "berkah" ini tidak terlewati begitu saja.

Maulid sendiri adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriah. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.

Di sebagian besar negara yang berpenduduk mayoritas muslim (seperti Suriah, Mesir, Jordania, dan Tunisia), turut merayakan Maulid Nabi dan bahkan menjadikannya sebagai hari libur nasional. Kecuali Arab Saudi, satu-satunya negara dengan penduduk mayoritas muslim yang tidak menjadikan maulid sebagai hari libur resmi.

Ketidakseragaman negara-negara tersebut dalam menyikapi hari Maulid Nabi tidak lepas dari perbedaan ulama tentang hal ini. Ada dua pendapat mengenai hukum perayaan Maulid Nabi. Pertama, tidak boleh. Alasan yang selalu disampaikan oleh kelompok pertama ini adalah, bahwa ritual semacam itu dianggap bidah. Yaitu kegiatan yang bukan merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya sehingga keluar dari esensi kegiatannya.

Minggu, 26 Januari 2014

Obituarium



KH MA Sahal Mahfudh Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati
KH MA Sahal Mahfudh | Foto diambil dari sini.
Dunia pesantren kembali dirundung duka. Salah satu ulama karismatik yang dimilikinya, KH MA Sahal Mahfudh, berpulang ke rahmatullah pada Jumat dini hari (24/1) sekitar pukul 01.05 WIB di kediamannya di desa Kajen, kecamatan Margoyoso, Pati. Dikabarkan, ulama saleh yang dikagumi banyak pihak karena kesederhanaan dan luasnya pengetahuannya itu wafat karena sakit komplikasi yang dideritanya setelah sebelumnya dirawat di Rumah Sakit Kariadi, Semarang.

Kiai Sahal atau Mbah Sahal, demikian beliau akrab dipanggil, lahir pada hari Jumat Legi 17 Desember 1937 M/14 Syawal 1356 H di Kajen, sebuah desa kecil di kabupaten Pati, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Mahfudh bin Abdus Salam bin Abdullah. Nasab tersebut sambung-menyambung sampai kepada Syekh Ahmad Almutamakkin, salah seorang wali terkenal di sana kala itu.

Kiai Sahal tumbuh dan berkembang dalam keluarga dan lingkungan yang penuh dengan keilmuan. Hal itu dapat dilihat dari, misalnya, status orang tua, kakek dan paman-pamannya di masyarakat yang menjadi pemuka agama setempat.

Dari dulu hingga sekarang, Kajen sudah dikenal oleh banyak orang sebagai pusat keilmuan agama Islam. Di sana, banyak ditemukan pesantren dan madrasah yang menjadi tujuan utama para penuntut ilmu dari berbagai daerah. Dan dari sekian banyak pesantren yang ada, Madrasah Matholi'ul Falah–yang didirikan oleh kakeknya sendiri, Syekh Abdus Salam bin Abdullah pada tahun 1912 Masehi–merupakan lembaga pendidikan paling terkenal, terbesar sekaligus tertua di Kajen.

Beliau mempunyai banyak keistimewaan yang jarang ditemukan kumpul menjadi satu dalam diri seorang. Di antara keistimewaannya itu: mempunyai hafalan yang kuat, kecerdasan yang luar biasa, sangkil dalam membagi waktu, cita-cita yang tinggi, zuhud dalam urusan duniawi dan mempunyai perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Barangkali sifat-sifat tersebut memang telah disiapkan oleh Allah SWT untuk menjadikannya sebagai salah satu ulama besar di masa kini.

Sebagaimana tradisi bagi para putra kiai di Indonesia, beliau memulai aktifitas belajarnya sejak usia dini. Belum genap berumur tujuh tahun, beliau sudah khatam membaca Alquran di hadapan ayahnya sendiri, Syekh Mafudh. Dan ketika ayahnya gugur dalam pertempuran melawan penjajah Jepang pada tahun 1944, beliau kemudian diasuh oleh kedua pamannya, Syekh Ali Mukhtar dan Syekh Abdullah Salam (wafat tahun 2001).

Setelah membekali diri dengan ilmu-ilmu dasar keagamaan, pada tahun 1943, beliau masuk Madrasah Ibtidaiyah Matholi'ul Falah. Kemudian melanjutkannya ke jenjang tsanawiyah dan lulus pada tahun 1953.

Tamat dari Madrasah Matholi'ul Falah, beliau kemudian mondok di Kediri, Jawa Timur, tepatnya di dua pesantren berbeda yang diasuh oleh Syekh Khazin dan Syekh Hayah Al-Makkiy. Dari dua ulama tersebut, beliau belajar kitab Ihyâ' Ulûmuddîn, Sullamut Taufîq dan Bughyatul Mustarsyidîn.

Selesai belajar di Kediri, beliau pindah ke Sarang, Rembang. Di sana beliau berguru kepada Syekh Zubair bin Dakhlan (ayah dari KH Maimun Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar). Dari Syekh Zubair ini, beliau mengkaji Tafsir al-Baidlâwi, Mughnil Labîb, Uqûdul Jumân dan lain-lain. Di samping menimba ilmu, di sana beliau juga ditunjuk untuk mengajar dan mengarang kitab Tharîqatul Hushûl sebagai penjelas (syarah) dari kitab Ghâyatul Wushûl karya Syaikhul Islam Zakariya al-Anshâri. Selain yang telah disebutkan, beliau juga berguru kepada Syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani dan mendapatkan banyak ijazah kitab darinya.

Perlu diketahui juga bahwa Kiai Sahal tidak hanya belajar ilmu agama, beliau juga mempelajari ilmu-ilmu modern seperti: bahasa Inggris, administrasi, politik, psikologi dan sosiologi di bawah bimbingan Ustaz Amin Fauzan dari Kajen.

Kamis, 23 Januari 2014

Idiosinkrasi



Muhammad Lutfi Hakim | Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Ahgaff Yaman
Dok. Pribadi

Setiap orang pasti berbeda. Tak ada manusia di dunia ini yang benar-benar sama, baik secara fisik, mental maupun intelektual. Coba perhatikan orang-orang di sekeliling Anda dengan saksama. Apakah ada di antara mereka yang benar-benar mirip? Bahkan dua orang kembar bersaudara sekalipun mempunyai ciri-ciri tertentu yang bisa membedakan antara satu dan yang lain.


Meskipun perbedaan itu sebuah keniscayaan dan merupakan sesuatu yang wajar, tidak sedikit orang yang menganggap itu aneh. Apalagi jika "keanehan" itu jarang mereka lihat dan rasakan. Ya, aneh-tidaknya suatu hal itu sebenarnya tergantung kebiasaan. Kita tidak akan pernah menganggap aneh kenapa langit bisa bergelantung di atas sana tanpa tiang penyangga–karena memang dari dulu kita melihatnya sudah seperti itu.

Ada beberapa hal/kebiasaan yang melekat erat pada diri saya yang menurut sebagian teman dianggap aneh. Meskipun begitu, saya menganggapnya sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Justru mereka itu yang sebetulnya aneh, mengapa hal-hal tersebut dipermasalahkan? Berikut beberapa hal yang saya maksudkan itu.

* * *
Pertama, makanan favorit. Untuk urusan perut, sebenarnya saya tidak suka yang neko-neko. Asalkan halal, sehat, enak dan gratis, pasti saya sukai. Dan sebagai orang pedesaan, saya sudah terbiasa dengan menu sayur-mayur yang segar daripada ikan dan sejenisnya. Namun, setelah meninggalkan tanah air dalam empat tahun terakhir ini,  pola makan saya berubah drastis. Saat ini, dalam seminggu, sebulan, sampai setahun, ikan laut adalah menu lauk-pauk saya setiap hari–kecuali pada hari Jumat (ayam). Sementara makanan lain yang dulu akrab di lidah seperti tempe, tahu, bayam dan kangkung, nyaris tak tersentuh sama sekali dan sekarang masuk kategori "makanan mewah".

Pada tanggal 6 April 2013 lalu, saya menulis Status Facebook begini, "Jika kalian tidak suka dengan kulit ikan, tinggalkan saja di atas nampan, jangan dibuang ke tanah seperti itu."
Pernyataan saya ini sering disalahartikan: saya suka semua hal yang berbentuk seperti kulit, atau menyukai semua jenis kulit, misalnya, kulit pisang dan kulit kacang. Tentu maksudnya  bukan seperti itu. Artinya, daripada kulit ikan dibuang di tanah–yang kucing pun belum tentu mau–mending dibiarkan saja di atas nampan. Toh nanti akhirnya ada (orang) juga yang mau memakannya (saya). Karena untuk jenis ikan tertentu, saya lebih menyukai kulit daripada dagingnya.

Minggu, 12 Januari 2014

Koncoisme



Konco-konco dari Purwodadi yang sedang belajar di Universitas Al-Ahgaff, Darul Mustofa dan Rubath Tarim.
Sumber foto: Ulin Nuha
Tepat di hari ulang tahun saya yang ke-25 pada 27 Desember 2013 lalu, Ahmad Wahid, rekan satu angkatan di Universitas Al-Ahgaff, mengajak saya dan teman-teman dari PP Fadllul Wahid untuk sekadar kumpul bersama dan masak-masak demi mempererat tali silaturahmi. Melalui pesan pendek (sms) ia menulis, "Adik-adik sudah selesai ujian belum? Kalau sudah, kapan kita masak-masak?" Keesokan harinya, saat makan siang di dapur kampus, kami berdua bertemu. Dalam pertemuan singkat itu ia mengatakan, "Besok malam kita masak-masak, adik-adik dikasih tahu ya."
Ajakan semacam itu sebenarnya sudah sering saya dengar, karena memang kami (kawan-kawan dari PP Fadllul Wahid) punya agenda masak bareng setiap beberapa bulan sekali, terutama setelah berakhirnya masa ujian bulanan. Yang tidak biasa dari ajakan itu adalah penggunaan kata "adik" sebagai pronomina untuk merujuk kepada teman-teman yang jenjang kelasnya lebih rendah. Toh sebelumnya ia tidak pernah berkata seperti itu. Menurut saya, penggunaan kata adik dalam komunikasi klasual seperti di atas kurang tepat. Sebab, kata tersebut seolah-olah memberi jarak antara "kita" dan "mereka".
Saya mafhum, maksudnya adalah adik kelas, bukan adik secara biologis. Dan secara bahasa saya rasa tidak salah. Namun kurang pas dalam tradisi unggah-ungguh orang Jawa yang selalu memerhatikan penggunaan kata untuk memanggil/menyebut seseorang.
Adapun kata yang lebih egaliter dan sesuai dengan konteks di atas adalah konco atau dalam bahasa Indonesia-nya disebut kawan. KBBI daring mengartikan kawan sebagai: orang yang sudah lama dikenal dan sering berhubungan dalam hal tertentu (bermain, belajar, bekerja, dsb). Sementara adik, masih menurut KBBI, adalah saudara kandung yang lebih muda.
Saya masih ingat betul saat KH Abdul Wahid Zuhdi, kiai saya sekaligus pendiri Pondok Pesantren Fadllul Wahid Bandungsari, menyampaikan pidato baik dalam ragam formal maupun nonformal. Beliau selalu menggunakan frasa "konco-konco santri" alih-alih menyebut santri saja. Dan frasa itu pula yang digunakan oleh para pengurus senior untuk menyapa anak didiknya hingga sekarang. Pertanyaannya, kenapa ada imbuhan kata konco sebelum santri? Bukankah konco artinya teman sedangkan santri itu identik dengan murid dalam lingkungan pesantren tradisional?
Mari kita periksa dalam kitab KBBI Pusat Bahasa apa itu definisi santri. Ia adalah: (1) orang yang mendalami agama Islam; (2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh. Jadi, santri sebenarnya bukan padanan kata murid/siswa, ia mempunyai arti lebih umum yang di dalamnya mencakup banyak elemen umat Islam–termasuk kiai itu sendiri. Dengan demikian, secara semantik apa yang dikatakan Kiai Wahid itu sangat tepat: menyepantarkan dirinya dengan "para santri" dalam hal mempelajari ilmu agama. Meskipun dalam ranah percakapan, seorang kiai tidak tepat jika dijuluki sebagai santri.
Lalu, apakah frasa di atas ada kaitannya langsung dengan sabda Rasulullah shallallâhu alaihi wasallam:

"Sahabat-sahabatku ibarat gemintang di langit. Siapapun dari mereka yang kalian ikuti, niscaya kalian akan mendapat hidayah/petunjuk."

Mungkin saja. Seperti yang kita ketahui, sahabat itu bersinonim dengan kawan dan konco.

Rabu, 01 Januari 2014

Ambiguitas Ucapan Selamat Natal

Hukum mengucapkan selamat natal
Sumber foto: antara.com


Memang aneh, kita ini tidak sedang berada di negara kafir harbi. Juga tidak sedang tinggal di negara yang mayoritas penduduknya adalah nonmuslim. Tapi kenapa ada saja beberapa orang yang, berupaya untuk membuat sensasi dengan mengucapkan selamat Natal di media sosial, Facebook atau Twitter misalnya. Saya juga tak yakin, dari sekian banyak teman/pengikut di kedua jejaring sosial tersebut ada orang Kristiani di dalamnya. Mereka yang saya maksud itu juga bukan seorang politisi yang segala perkataannya (dalam hal ini ucapan selamat Natal) selalu ditunggu-tunggu dan menjadi sorotan publik. Dugaan saya sementara, orang-orang itu hanya ingin mencari sensasi dan "kebelet" ingin dibilang toleran.
Setakat kini ada dua pendapat mengenai hukum mengucapkan selamat Natal; (1) haram dan (2) jaiz. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian teman itu salah. Atau mengajak Anda untuk mengikuti salah satu dari dua pendapat tersebut. Tapi seyogianya, dalam memilih salah satu pendapat, kita harus mempertimbangkan mana yang lebih antisipatif (ahwath) terhadap hal-hal yang sedang berkembang di masyarakat. Tidak asal berkata "boleh" tanpa melihat dampak yang (mungkin) terjadi apalagi berkampanye ria di dunia maya. Mari kita simak kedua pendapat itu dengan saksama.
Pendapat pertama–yang mengharamkan memberi ucapan selamat Natal–didukung oleh Hj. Irene Handono, seorang mantan suster/biarawati yang menjadi mualaf pada tahun 1983. Melalui sebuah seminar bertajuk "Semarak Ramadhan Metropolitan" pada November 2003 silam, beliau menyatakan bahwa Fatwa MUI tentang haramnya memberi ucapan selamat Natal itu masih relevan.
Alasannya, karena saat umat Islam mengucapkan "Selamat Natal" itu berarti sama saja dengan mengucapkan selamat lahirnya Tuhan Yesus–sebagaimana yang diyakini oleh orang Kristen. Ini jelas bertentangan dengan akidah kita.
Sementara itu, ada kelompok yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal–yang menyatakan bahwa semua agama itu sama–berapologi, "kami tidak memperingati Yesus sebagai Tuhan, tapi memperingati atas lahirnya Nabi Isa alaihissalâm". Pendapat ini, menurut Irene Handono, juga keliru. Karena Yesus (atau Nabi Isa menurut kita) tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember, yang lahir pada tanggal tersebut justru adalah Dewa Matahari. Jadi siapa pun yang memperingati Natal, secara tidak langsung juga memperingati lahirnya dewa matahari. Itulah sebabnya, banyak sekali kita temukan simbol paganisme dalam atribut keagamaan mereka.
Salah satunya hari suci mingguan, yang (juga) mereka curi dari kaum pagan. Hingga hari ini, kebanyakan jemaat Kristiani menghadiri layanan Gereja pada Minggu pagi tanpa sadar sama sekali bahwa mereka sedang melakukan penghormatan mingguan kepada dewa matahari kaum pagan—Sun-day: hari matahari.