Pages - Menu

Kamis, 24 Desember 2015

Ironi Gadis (Pengungsi) Suriah

Foto wanita Suriah. Ada yang berani bilang enggak cantik?
Saat berkunjung ke Kota Mukalla (Provinsi Hadhramaut, Republik Yaman) empat tahun lalu, saya sempat melihat gadis-gadis pengungsi Suriah berjajar di trotoar dan lorong-lorong pasar. Sebagaimana wanita Arab pada umumnya, mereka mengenakan telekung warna hitam. Akan tetapi, wajahnya dibiarkan terbuka tanpa cadar. Ironisnya, karena tidak adanya keluarga atau orang yang memberi nafkah, mereka terpaksa meminta-minta di tempat keramaian tersebut.

Setelah sekian lama tidak bertemu (kayak LDR saja, ya?), saya membaca berita bahwa saat ini para pengungsi Suriah sudah ada yang sampai ke Wilayah Asia Tenggara, khususnya Malaysia dan Indonesia. Rata-rata para wanitanya, selain anak-anak, adalah gadis yatim piatu, janda-janda muda anak satu, atau janda yang tidak punya anak karena suami-suami mereka meninggal di medan perang.

Selain mencari suaka, tentu saja, mereka juga mendambakan saya, eh, orang yang dapat melindungi sekaligus memberikan nafkah, baik lahir maupun batin. Dan, kabar baiknya, konon mereka mau menerima pinangan pria mana pun asalkan seiman dan menyediakan tempat tinggal. Bahkan mungkin mereka juga mau dimadu atau dijadikan istri kedua....

Untuk urusan kecantikan, wanita Suriah tidak bisa dipandang sebelah mata; kulitnya yang putih bersih alami, matanya yang biru kecokelatan, postur tubuhnya yang ... ah, sudahlah. Intinya, bahkan tanpa mekap di wajah sekalipun, wanita Suriah sudah pantas diajak jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Memang, cantik itu relatif. Tapi setidaknya ada kriteria dan standardisasi yang disepakati bersama oleh kaum lelaki, bukan?

Nah, melihat keadaan mereka yang sangat memprihatinkan, adakah di antara kita yang mau berbagi kebahagiaan dengan mereka?

Selasa, 07 Juli 2015

Cangkriman Faraid

Ilustrasi gambar dipinjam dari sini.
Sebagaimana judul tulisan ini di atas, kali ini saya akan membuat tebak-tebakan kepada para pembaca tentang ilmu pembagian harta warisan dalam Islam. Tidak hanya itu, saya juga akan memberikan pulsa Telkomsel sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) bagi siapa pun yang berhasil menjawab dengan benar.

Nah, sebelum saya mengajukan pertanyaannya, baca dan pahamilah narasi pendek berikut dengan saksama!

* * *
Segerombolan orang hendak membagi-bagikan harta warisan di antara mereka. Tapi sebelum mereka melakukannya, tiba-tiba datang seorang perempuan yang tengah mengandung tua.

“Setop! Jangan buru-buru kalian bagi harta itu karena aku sedang hamil,” kata perempuan itu. “Jika bayi dalam kandunganku ini nanti terlahir perempuan, maka ia juga berhak mendapat bagian. Namun jika ternyata laki-laki, maka ia tidak dapat bagian sama sekali.”

* * *
Pertanyaannya sekarang adalah, siapa saja segerombolan orang dan perempuan itu?

Jawaban bisa ditulis menggunakan salah satu dari 3 akun media sosial: Google Plus, Twitter, dan Facebook. Untuk Google Plus, silakan tulis pada kotak komentar di bawah; untuk Twitter, silakan kicaukan jawabannya dengan menyebut @luuthfie dan tanda pagar #CahPulokulon; dan untuk Facebook, sila berikan komentar pada salah satu kiriman di Halaman Facebook blog ini.

Seumpama jawaban Anda keliru, Anda masih boleh berkomentar lagi berkali-kali dengan jawaban yang berbeda. Dan jika ada dua jawaban yang benar, maka yang paling dululah yang saya menangkan.

Perlu diketahui bahwa ini adalah tebak-tebakan ilmiah. Jadi jawabannya hanya ada satu, eksak, dan logis. Tidak seperti tebak-tebakan nonilmiah pada umumnya yang jawabannya terasa ambigu dan dipaksakan.

Selain memberikan jawaban, Anda juga boleh bertanya apa pun yang berkaitan dengan ilmu faraid seperti bagian masing-masing ahli waris, perkara yang menghalangi seseorang mendapatkan warisan, dan lain-lain. Insya Allah saya—atau pembaca lainnya—akan menjawabnya. Siapa tahu, pertanyaan Anda bisa memberi semacam petunjuk untuk menjawab teka-teki di atas.

Kuis ini dimulai saat tulisan ini dipublikasikan sampai waktu yang tidak ditentukan—atau ada yang berhasil menjawab dengan benar. Selamat mencoba!

Jumat, 26 Juni 2015

Sepenggal Kisah di Pesantren Ash-Shufi

Guru-guru di MTs Terpadu Ash-Shufi.
Puasa tahun ini terasa amat berbeda. Jika 5 tahun terakhir saya menjalani puasa di negara orang dengan cuaca yang panas dan ekstrem, kali ini tidak demikian. Puasa tahun ini saya berada di Jawa Timur bagian selatan yang dikenal dengan suhunya yang dingin: Blitar.

Di Kota Koi inilah saya ditugaskan saat ini. Tepatnya di Pesantren Ash-Shufi yang diasuh oleh KH Imam Asy’ari. Adapun kegiatan belajar di pesantren ini selama bulan Ramadan adalah matrikulasi atau pembekalan siswa baru MTs Terpadu Ash-Shufi dengan materi utama Bahasa Inggris, Matematika, Biologi, dan pendidikan keagamaan. Bersama Mas Irvan dan Mas Zaka, saya diminta mengisi bagian keagamaan.

Pesantren Ash-Shufi beralamat di Jl. Trisula, Dusun Gogourung, Desa Dawuhan, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Jaraknya dari Kota Blitar lumayan jauh, sekitar 10 kilometer ke arah selatan. Dengan ketinggian tempat di atas 260 meter (dpl) dan perbukitan hijau di sampingnya, Pesantren Ash-Shufi memiliki kelembapan udara yang tinggi dan berhawa sejuk. Bahkan badan saya sempat menggigil kedinginan selama dua hari saat pertama kali tiba di sini. Mungkin karena saya belum terbiasa dengan udara dingin. Atau kemungkinan besar karena saya belum punya kekasih, sehingga kesulitan menemukan tempat bersandar yang berfungsi sekaligus sebagai penghangat badan.

Akan tetapi, sesungguhnya, bukan soal cuaca yang membuat puasa kali ini terasa berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, melainkan soal lingkungan dan partner baru. Yang saya maksud partner baru di sini adalah wanita-wanita cantik yang juga direkrut sebagai tenaga pengajar di MTs Ash-Shufi.

Mereka rata-rata menempuh pendidikan formal di kampus atau perguruan tinggi, dan bukan santriwati tulen yang bertahun-tahun bermukim di pesantren. Meski begitu, tingkah laku mereka sangat islami. Hal itu terlihat dari, misalnya, gaya mereka mengenakan busana dan profesionalismenya saat berkomunikasi dengan lawan jenis.

Saya sangat sering berpapasan dengan mereka; saat menyiapkan menu buka puasa, makan di dapur, piket di kantor, sampai di beranda musala sebelum/sesudah salat berjemaah. Bahkan pernah suatu ketika ada yang mengetuk pintu kamar saya saat waktu azan telah tiba, sementara saya masih tertidur karena kecapaian.

Tentu saja, bagi mereka itu hal yang biasa, sehingga mereka bisa menjalaninya dengan enjoy. Tapi bagi saya, yang belasan tahun tidak pernah berinteraksi langsung dengan kaum hawa, semua itu pada awalnya terasa canggung dan kurang nyaman.