Pages - Menu

Rabu, 27 Mei 2009

Backgraund KH Zubaer Umar al-Jaelany

Kyai Zubaer demikian panggilan seorang ulama yang juga seorang akademisi yang terkenal sebagai pakar falak dengan karya monumentalnya kitab Al-Khulashah al-Wafiyah. Beliau lahir di Padangan kecamatan Padangan kabupaten Bojonegoro Jawa Timur pada tanggal 16 September 1908.

Dunia pendidikan yang beliau tempuh hampir seluruhnya dalam dunia pendidikan tradisional yakni madrasah dan pondok pesantren termasuk mukim li-thalab al-ilmi di Makkah al-Mukaramah pada waktu menjalankan ibadah haji. Sebagaimana kondisi sosial realistis di abad tersebut bahwa pesantren masih merupakan satu-satunya lembaga pendidikan untuk tingkat lanjut yang tersedia bagi penduduk pribumi di pedesaan, sehingga dapat diasumsikan sangat berperan dalam mendidik para elite pada masanya. Jenjang pendidikannya dimulai di madrasah Ulum tahun 1916 – 1921, pondok pesantren Termas Pacitan 1921 – 1925, pondok pesantren Simbang Kulon Pekalongan, 1925-1926, pondok pesantren Tebu Ireng Jombang, 1926-1929. Kemudian tahun 1930 – 1935, beliau menjalankan ibadah haji yang dilanjutkan dengan thalab al-ilmi di Makkah selama lima tahun tersebut. Merujuk pendapat Snouck Hurgronje, perjalanan haji kyai Zubaer tersebut termasuk tipe haji santri. Perilaku ini dikukuhkan dengan penelitian Martin Van Bruinessen bahwa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak orang Indonesia yang bermukim di Makkah, bahkan disinyalir bangsa Asia Tenggara (masyarakat Jawah) merupakan salah satu kelompok terbesar. Dengan asumsi Mekkah sebagai pusat dunia dan sumber ngelmu, sehingga banyak orang Indonesia yang mukim di sana, bahkan gerakan agama Islam terilhami dari sana, sebut saja ulama seperti Nawawi Banten, Mahfud Termas dan Ahmad Khatib Minangkabau yang mengajar di Makkah dan banyak mendidik ulama Indonesia yang kemudian banyak berperan penting di Indonesia.

Dalam rihlah ilmiah, Zubaer Umar al-Jaelany tidak hanya menuntut ilmu (ifadah) tapi juga mengajarkan ilmunya (istifadah). Sebagaimana ketika di pondok pesantren KH Hasyim Asy’ari, beliau mengabdikan diri dengan menjadi guru madrasah Salafiyah Tebuireng Jombang. Bahkan beliau pernah menjabat Rektor IAIN Walisongo Semarang dengan surat keputusan tanggal 5 Mei 1971. Di samping itu, beliau juga pernah memimpin Pondok Pesantren al-Ma’had al-Diniy Reksosari Suruh Salatiga (1935-1945), mendirikan Pondok Pesantren Luhur yang merupakan cikal bakal IKIP NU yang akhirnya menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo yang sekarang menjadi STAIN Salatiga. Dan juga mendirikan Pondok Pesantren Joko Tingkir (1977) yang sekarang tinggal petilasannya yang dikenal dengan kampung Tingkir.

Murid-muridnya di antaranya Kyai Musaffa (Salatiga), Kyai Subkhi (Jawa Timur), KH Zainuddin (Suruh Salatiga), Hamid Nawawi (Bulumanis Pati), Drs KH Slamet Hambali (Dosen Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang) dan Drs H. Habib Thoha MA (Kakanwil Depag Jawa Tengah). Drs KH Slamet Hambali salah satu di antara murid beliau yang meneruskan kepakarannya dalam ilmu falak.

Beliau wafat di Salatiga pada tanggal 10 Desember 1990 / 24 Jumadil Awal 1411 H.