Swike adalah makanan khas Purwodadi yang terbuat dari daging kodok. Foto: Dedy Oktavianus Pardede |
Jika Anda berkunjung ke kota Purwodadi, Jawa
Tengah, dan bertanya mengenai wisata kuliner di dalamnya, maka Anda akan menemukan
jawaban yang sama: Swike. Walaupun bagi penduduk pribumi, keberadaan Swike sebenarnya
tidak begitu 'membanggakan' dan merupakan ironi mendasar bagi mereka ketika
ditanya mengenai hal ini. Maklum, Swike masih dianggap tabu oleh kebanyakan warga
Purwodadi, terutama mereka yang senantiasa berpegang teguh pada prinsip-prinsip
agama. Saya sendiri baru mengenal kosakata ini setelah menginjak umur belasan
tahun.
Swike adalah makanan
khas Purwodadi yang terbuat dari paha kodok. Aslinya hidangan ini berasal dari
pengaruh masakan Tionghoa yang masuk ke Indonesia. Konon, istilah Swike
berasal dari penggabungan kata swe (air) dan ke (ayam), yang
merupakan slang atau penghalusan untuk menyebut kodok sebagai "ayam
air". Jadi, tidak mengherankan jika ada yang mengatakan bahwa rasa dan
tekstur sweke adalah perpaduan antara ayam dan ikan.
Namun di balik
kelezatannya itu, terdapat masalah utama dalam mengonsumsi Swike. Yaitu
masalah agama. Dalam literatur kitab-kitab fikih dijelaskan bahwa daging kodok hukumnya
adalah haram. Hal itu didasari ihwal adanya hadits yang melarang untuk membunuh
kodok serta binatang lain seperti semut dan lebah. Oleh ulama fikih, larangan
membunuh itu diinterpretasikan sebagai keharaman daging kodok, karena jika
daging kodok adalah halal tentu nabi tidak akan melarang untuk membunuhnya.
Apabila kita telaah lagi
secara saksama, sesungguhnya dalam aturan pangan Islam terdapat perbedaan dalam
memandang masalah halal atau haramnya daging kodok. Kebanyakan mazhab utama
dalam Islam seperti mazhab Syafi'i, Hanafi, dan Hanbali secara jelas melarang
konsumsi daging kodok karena alasan di atas, akan tetapi mazhab Maliki
memperbolehkan umat Islam untuk mengonsumsi kodok karena tidak ada teks
eksplisit (nash sharih) yang mengharamkannya. Dan, legalitas halal tersebut
hanya berlaku untuk jenis tertentu; yaitu hanya kodok hijau yang biasanya hidup
di sawah, sementara kodok-kodok jenis lainnya yang berkulit bintil-bintil
seperti kodok budug tidak boleh dikonsumsi karena beracun. Selain itu,
Malikiyah juga mensyaratkan kodok tersebut harus disembelih dahulu sebelum
dimasak. [Al-Fiqh al-Islâmiy wa adillatuh, juz 4 hlm 145]
Kontroversi mengenai status
kehalalan daging kodok sempat mencuat ke publik dan membuat sebagian tokoh
masyarakat geram. Beberapa tahun yang lalu misalnya, Majalah Tempo pernah
memuat berita mengenai Bupati Demak yang mendesak para pengusaha restoran untuk
tidak mengaitkan Swike dengan kabupaten yang bertetangga dengan Purwodadi tersebut.
Hal ini karena dianggap dapat mencoreng citra Demak sebagai Kota
Wali dan Kota
Islam pertama di pulau Jawa, serta kebanyakan warga Demak adalah pengikut mazhab
Syafi'i yang mengharamkan daging kodok.
Sebenarnya, untuk
"mensterilkan" kota
Purwodadi atau Demak dari hewan amfibi ini tidak perlu dengan cara represif
seperti yang dilakukan oleh Bupati Demak itu. Lebih ekstrim lagi jika dilakukan
dengan menutup paksa rumah makan Swike atau membasmi populasi kodok secara
massal. Perbedaan pandangan ulama fikih di atas dapat kita jadikan sebagai pijakan
atas justifikasi label halal Swike Purwodadi sekaligus sebagai manifestasi
subtansi pesan nabi, "ikhtilâfu ummatî rahmah" (perbedaan
pendapat di antara umatku adalah kasih sayang).