Masjid Agung Menara Kudus, salah satu peninggalan Walisongo | Foto diambil dari sini. |
Kepelikan ini
dikarenakan penanggalan Qomariyah memiliki dua metode penentuan, yakni metode hisab(hitungan)
dan rukyah (melihat) langsung wujud hilal (bulan sabit). Karena
penanggalan Islam (syariah)
didasarkan pada penanggalan Qomariyah maka tentu saja segala
peristiwa-peristiwa keagamaan ditentukan berdasarkan penanggalan Qomariyah.
Artinya jadwal dapat ditentukan dengan dua metode penentuan waktu pada sistem
penanggalan ini. Padahal hasil dari masing-masing metode seringkali berbeda.
Perangkat keilmuan yang digunakan untuk menentukan jadwal penanggalan syar’i
inilah yang disebut sebagai ilmu falak. Maka tokoh-tokoh ilmu dan pengambil
keputusan jadwal-jadwal penanggalan syar’i juga kemudian desebut sebagai ahli
falak.
Ketika terjadi
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan keagamaan masyarakat dengan hasil
penentuan yang berbeda, maka umat pun biasanya menjadi terpecah, karena
masing-masing pihak memiliki argumen dan landasan hukum yang biasanya juga
dianggap sama-sama kuat dan valid.
Perselisihan menjadi
semakin komplek manakala masing-masing pihak yang berbeda pendapat lebih
mengedepankan ego masing-masing kelompoknya. Perbedaan penentuan ini kemudian
menjadi semakin meruncing karena dianggap sebagai perbedaan akidah. Kondisi
demikian ini terus berlarut-larut terjadi dalam kehidupan umat Islam Indonesia.
Di tengah kondisi
yang demikian, tentu umat membutuhkan panutan yang dapat mereka ikuti. Seorang
figur yang dapat mempertanggungjawabkan pendapatnya serta tidak menimbulkan
persengketaan berkepanjangan dan bertele-tele. Singkatnya, umat membutuhkan
seorang pemimpin yang mampu mengayomi dan meredam konflik.
Dalam hal ini, umat
Islam Nusantara memilik salah seorang tokoh falak dari kota Kudus Jawa Tengah
yang cukup mumpuni dan layak diteladani. Beliau adalah KH. Turaichan Adjhuri
Asy-Syarofi, yang semasa hidupnya dipercayai menjadi Ketua Markas Penanggalan
Jawa Tengah.
Ulama kelahiran
Kudus, 10 Maret 1915 ini adalah putera Kiai Adjhuri dan Ibu Nyai Sukainah.
Terlahir di lingkungan agamis kota santri, sebagai anak yang membekali dirinya
dengan belajar melaui sistem tradisional masyarakat yang telah turn-temurun
dijalani keluarga dan teman-teman di sekitarnya. Mengaji pada para Kiyai dan
ulama di sekitar tempat tinggalnya dan memulai pendidikan formal di daerah
setempat tanpa mengurangi menimba ilmu dalam sistem tradisional. Satu hal yang menjadi
ciri Mbah Tur, Sapaan akrabnya, dibanding tokoh-tokoh dari daerah lain adalah
bahwa Beliau tidak pernah mondok di sebuah pesantren sebagai santri yang
diasramakan. Meski sebenarnya hal ini lazim bagi para ulama di daerah asalnya,
namun tidaklah demikian halnya dengan para ulama yang berasal dari
daerah-daerah Nusantara lainnya.
Kiai Turaichan hanya
mengenyam pendidikan formal selama dua tahun saja, yakni ketika berusia tiga
belas hingga lima belas tahun. Tepatnya di Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah
(TBS) Kudus pada kisaran tahun 1928 M. yakni sejak madrasah tersebut didirikan.
Namun karena kemampuannya yang melebihi rata-rata, maka beliau justru
diperbantukan untuk membantu palaksanaan belajar mangajar. Namun demikian
Beliau tetap melanjutkan menuntut ilmu dalam garis tradisional (non formal).
Sejak mulai mengajar
di Madrasah TBS Kudus inilah, Kiai Turaichan mulai aktif di dunia pergerakan.
Dalam arti Beliau mulai melibatkan diri dalam dunia dakwah kemasyarakatan dan
diskusi-diskusi ilmiah keagamaan. Mulai dari tingkat terendah di kampung
halaman sendiri, hingga tingkat nasional.
Sejak saat itu pula
Beliau mulai turut aktif terlibat dalam forum-forum diskusi Batsul Masail pada
muktamar-muktamar NU. Kecerdasan dan Keberaniannya mengungkapkan argumen telah
terlihat sejak awal keterlibatannya dalam forum-forum tersebut. Ia tanpa
segan-segan mengungkapkan pendapatnya di depan siapa pun tanpa merasa pekewuh
jika pendapatnya berbeda dengan pendapat ulama-ulama yang lebih senior, seperti
KH. Bisri Sansuri dari Pati yang kemudian mendirikan Pesantren Denanyar
Jombang.
Kiprahnya Mbah Tur
juga telihat dalam dunia politik di tingat pusat. Beberapa kali Kiai Turaichan
ditunjuk menjadi panitia Ad Hoc oleh pimpinan Pusat Partai NU. Sementara di
daerahnya sendiri, tercatat Beliau menjadi Rais Syuriyah Pimpinan Cabang.
Pernah juga dipercaya menjadi qodhi (hakim) pemerintah pusat pada
tahun 1955-1977 M.
Namun spesifikasi
keilmuan yang menjadikannya sedemikian populer dan kharismatis adalah di bidang
falak. Hal ini dikarenakan Kiai Turaichan sedemikian teguh dalam memegang
pendapatnya. Beliau tergabung dalam tim Lajnah Falakiyyah PBNU. Beberapa kali
terlibat silang pendapat dengan pendapat ulama-ulama mayoritas, namun ia tetap
kukuh mempertahankan pendapatnya. Terbukti kemudian, pendapat-pendapatnya lebih
banyak yang sesuai dengan kenyataan. Hal inilah yang membuat kharisma dan
kealiman serta ketelitian Beliau semakin diperhitungkan. Hingga Kiai Turaichan
kemudian lebih dikenal sebagai ahli falak yang sangat mashur di Indonesia, dan
mempunyai banyak murid menekuni ilmu falakiyah hingga sekarang.
Selanjutnya, Mbah Tur
tidak pernah absen dalam muktamar-muktamar NU, kecuali sedang udzur karena
kesehatan. Belakangan, ketika terjadi perubahan asas dasar NU dari asas Ahlussunnah
wal Jamaah menjadi asas Pancasila, Mbah Tur menyatakan mufaroqoh (memisahkan diri) dari Jamiyyah
(keorganisasian NU).
Hal yang menarik di
sini adalah, meski telah menyatakanmufaroqoh secara keorganisasian namun
Beliau tetap dipercaya sebagai Rais Suriyah di tingkat Cabang. Sedangkan untuk
tingkat Pusat Kiai Turaichan memang tidak lagi aktif seperti dahulu. Karenanya,
Kiai Turaichan kemudian mempopulerkan istilah ”Lokalitas NU” yang berarti tetap
setia untuk eksis memperjuangkan Jam’iyyah NU dalam skala lokal, yakni di NU
cabang Kudus saja. Untuk tingkat yang lain (lebih tinggi), Beliau telah
menyatakan mufaroqoh. Bahkan seringkali Beliau juga seringkali memiliki
pendapat-pendapat falakiyah (penetapan tanggal suatu kejadian yang berbeda
dengan garis kebijakan PBNU, dan karena telah menyatakan mufaroqoh, maka beliau
tidak merasa terikat oleh keputusan apa pun yang dibuat oleh PBNU.
Kendati demikian,
Kiai Turaichan tetap menjalin hubungan yang baik dengan pihak-pihak yang sering
menolak keputusannya. Bahkan Beliau selalu bersikap akomodatif kepada
pemerintah, walaupun pemerintah pernah beberapa kali mencekalnya karena
mengeluarkan pernyataan berbeda dengan pemerintah perihal penentuan awal bulan
Syawal. Termasuk akan menyidangkannya ke pengadilan pada tahun 1984, ketika
menentang perintah pemerintah untuk berdiam diri di rumah saat terjadi gerhana
Matahari total pada tahun tersebut. Alih-alih menaati, Beliau justru mengajak
untuk melihat peristiwa tersebut secara langsung dengan mata kepala telanjang.
Pada waktu terjadi
peristiwa gerhana Matahari total tersebut, Mbah Tur memberi pengumuman kepada
umat Muslim di Kudus, bahwa gerhana Matahari total adalah fenomena alam yang
tidak akan menimbulkan dampak (penyakit) apapun bagi manusia jika iengin
melihatnya, bahkan Allah-lah yang memerintahkan untuk melihatnya secara
langsung. Hal ini dikarenakan redaksi pengabaran fenomena yang menunjukkan
keagungan Allah ini difirmankan oleh Allah menggunakan kata ”abshara”. Artinya, perintah melihat
dengan kata ”abshara” adalah melihat
secara langsung dengan mata, bukan makna denotatif seperti mengamati, meneliti
dan lain-lain, meskipun memang ia dapat berarti demikian secara lebih luas.
Pada hari terjadinya
gerhana matahari total di tahun tersebut, Kiai Turaichan tengah berkhutbah di
Masjid al-Aqsha, menara Kudus. Tiba-tiba di tengah-tengah Beliau berkhutbah,
Beliau berkata kepada seluruh jamah yang hadir, ”Wahai Saudara-saudara, jika
Kalian tidak percaya, maka buktikan. Sekarang peristiwa yang dikatakan
menakutkan, sedang berlangsung. Silahkan keluar dan buktikan, bahwa Allah tidak
menciptakanbala’ atau musibah darinya. Silahkan.
Keluar dan saksikan secara langsung!” Maka, para Jamaah pun lantas segera
berhamburan keluar, menenagadah ke langit dan menyaksikan secara langsung
dengan mata kepala telanjang terjadinya gerhana Matahari total.
Setelah beberapa
saat, para jamaah kembali ke tempatnya semula, acara khutbah khushufusy Syamsy
pun dilanjutkan dan tidak terjadi suatu musibah apa pun bagi mereka semua.
Namun karena keberaniannya ini, Kiai Turaichan harus menghadap dan
mempertanggungjawabkan tindakannya di depan aparat negara yang sedemikian
represif waktu itu. Meski demikian sama sekali Kiai Turaichan tidak menunjukkan
tabiat mendendam terhadap pemerintah.
Bahkan hingga
menjelang akhir hayatnya pada 20 Agustus 1999, Mbah Tur termasuk ulama yang
sangat antusias mendukung undang-undang pencatatan nikah oleh negara yang telah
berlaku sejak tahun 1946 tersebut. Beliau sangat getol menentang
praktik-praktik nikah Sirri atau di bawah tangan. Menurutnya, selama hukum
pemerintah berpijak pada kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan
syariat Islam, maka wajib bagi seluruh umat muslim yang menjadi warga negara
Indonesia untuk menaatinya. Artinya pelanggaran atas suatu peraturan
(undang-undang) tersebut adalah juga dihukumi sebagai kemaksiatan terhadap
Allah. Demikian pun menaatinya, berarti adalah menaati peraturan Allah.
(Syaifullah Amin/NU Online)
(Syaifullah Amin/NU Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!