Yang akan saya
sampaikan ini sebenarnya pernah dibahas oleh guru saya, KH Abdul Wahid Zuhdi, pada sebuah acara halalbihalal di Desa Widang, Kabupaten
Tuban, Jawa Timur, bertahun-tahun silam. Saya sekadar ingin mengutarakan
kembali apa yang sudah saya peroleh dari pandangan beliau tersebut.
Hari Lebaran
merupakan momen istimewa bagi seluruh umat muslim. Karena pada hari itu, kita
semua diharuskan untuk bergembira dan bersuka cita. Ya, Lebaran adalah waktunya
bersenang-senang... sudah semestinya kita juga ikut senang menyambut
kedatangannya. Tidak tepat rasanya jika pada hari kemenangan itu kita malah bersedih
atau memperlihatkan muka murung (apa pun permasalahan yang sedang merundung).
Atau dengan
ungkapan lain: Lebaran adalah waktunya kita santai, bergurau, dan menampilkan
muka semringah, bukan waktunya untuk serius. Ibarat pegawai negeri, Lebaran adalah
liburan, bukan hari dinas yang penuh dengan beban.
Akan tetapi,
segirang apa pun kita menyambut Lebaran, bukan berarti kita bebas melakukan apa
saja sekalipun itu dilarang oleh agama. Inilah yang sering disalahpahami oleh
sebagian orang. Jangan sampai saking semangatnya, kita merayakan Lebaran dengan
cara yang melanggar syariat, misalnya mabuk-mabukan di pinggir jalan atau
berkhalwat dengan perempuan yang bukan mahram. Intinya, waktunya bergurau kita
harus bergurau; waktunya serius kita juga harus serius—bisa menempatkan sesuatu
sesuai pada tempatnya.
Saya berkata demikian
supaya orang itu bersikap fleksibel, tidak kaku, dan bisa menyesuaikan diri
dengan lingkungan sekitar. Para sahabat nabi dulu juga demikian. Ketika mereka
bertemu antara satu dan yang lain, mereka kadang juga berkelakar, misalnya dengan
cara saling lempar kulit semangka dan sebagainya. Tapi ketika situasi menuntut
untuk serius, seperti saat dalam peperangan, mereka akan serius.
Begitu juga ketika
kita bertemu dengan kawan atau kerabat, sebisa mungkin kita pasang muka semringah.
Bukan berarti kalau sudah menjadi orang besar—pejababat atau kiai, misalnya—seseorang
harus selalu bersikap serius agar tampak berwibawa. Kadang-kadang tata cara
berakhlak yang baik itu justru dengan meninggalkan akhlak itu sendiri.
Ambil contoh dua
orang sahabat yang sudah berteman sejak kecil lalu mereka berpisah dalam waktu
yang lama. Kebetulan yang satu menjadi ustaz kesohor dan yang lain berprofesi
sebagai tukang becak. Apabila pada suatu ketika mereka bertemu, maka sang ustaz—yang
dalam banyak waktunya dituntut bersikap formal—tidak usah berlagak angkuh dan jaga
jarak. Sebaliknya, yang penarik becak juga tidak perlu merasa sungkan. Untuk
sesaat, lupakanlah predikat “ustaz” dan “tukang becak” dan bertegursapalah
seperti sedia kala, seperti sebelum mereka menjadi ustaz dan tukang becak. Inilah
yang dimaksud dengan adagium dalam bahasa Arab minal adab tarkul adab
(termasuk dari etiket adalah meninggalkan etiket itu sendiri).