"Kalian
baru masuk semester satu, tapi nilainya buruk sekali. Memang, keilmuan
seseorang tidak dapat diukur melalui angka nominal sebuah nilai, namun
terkadang nilai juga bisa mengukur keilmuan seseorang. Belajarlah yang rajin!"
Kalimat di atas merupakan pesan singkat dari guru kami, KH Habibul Huda, ketika mengetahui hasil ujian teman-teman yang kurang maksimal. Pesan tersebut dikirim ketika kami baru setengah tahun tinggal di negara Yaman.
Saya pribadi, yang sejak kecil memang tidak
pernah duduk di bangku sekolahan, tidak terlalu risau menanggapi hal itu. Bertahun-tahun
di pondok pesantren, saya tidak pernah dihadapkan dengan situasi persaingan
nilai seperti di sini. Hal itu wajar, karena di pesantren yang lebih ditekankan
adalah substansi bukan formalisasi.
Di satu sisi, saya senang karena merasa
diperhatikan, namun di sisi lain merasa tertekan jika dituntut untuk selalu mendapat
nilai tinggi.
Semua orang -dengan segala
keterbatasannya- tentu menginginkan nilai yang baik, namun jika nilai baik itulah
yang kemudian menjadi prioritas utama maka yang selalu terbayang dalam pikiran ketika
belajar adalah, "apakah permasalahan ini nanti masuk dalam so'al
ujian?" atau "kira-kira soalnya seperti apa ya?" atau bahkan
"bab ini tidak diujikan, jadi tidak usah dibaca, tidak paham pun juga
tidak jadi masalah".
Lebih naifnya lagi, ada sebagian orang yang
hanya cukup mempelajari lembaran soal-soal tahun lalu, karena biasanya yang
diujikan tidak beda jauh dengan sebelumnya dan cara itu dianggap lebih efektif
dari pada harus membaca 'naskah kuno' yang tentunya lebih bertuah dan memberi
banyak faedah.
Pernah suatu ketika, saya didatangi
seorang teman untuk diajak belajar bersama mengingat waktu ujian yang semakin
dekat. Namun ternyata, setelah sang ustadz memberi batasan, pokok-pokok
pembahasan yang telah kami pelajari berdua banyak yang tidak diikutkan dalam
ujian. Anehnya, saya justru melihat kekecewaan di raut muka teman saya tadi.
Seolah-olah merasa percuma menerima maklumat yang tidak akan diujikan.
Seandainya tidak ada ujian, mungkinkah dia akan tetap mengajak belajar?
Dalam konteks inilah, formalisasi
pendidikan terlihat jelas tidak didorong oleh motivasi belajar yang sebenarnya.
Kesadaran spiritual akan mengendalikan manusia untuk menempuh jalan mana yang akan
dia lalui.
Formalisasi pendidikan bukanlah tujuan,
tetapi jalan. Jika jalan yang seharusnya digunakan sebagai sarana kemudian
diubah dan diyakini sebagai tujuan, para penempuh jalan hanya akan berjalan di
tempat.
Namun demikian, adanya formalisasi
pendidikan juga memberi dampak positif dalam diri manusia. Jika bukan karena
ingin mendapat sertifikasi sanad, saya mungkin tidak akan hafal seribu bait
Alfiah Ibnu Malik. Jika bukan karena 'angka keramat' itu, tentu saya tidak
dapat menikmati belajar di kota Tarim ini. Jika bukan karena lembaran ijazah
itu, tentu para sarjana tidak dapat menduduki kursi-kursi pemerintahan. Bahkan
mungkin, hanya ada satu dari seribu orang yang benar-benar mempunyai gairah untuk
belajar jika sistem pendidikan tidak diformalkan.
Mungkin sangat tepat jika formalisasi
pendidikan dianalogikan sebagai ilmu syari'at, sementara substansinya adalah ilmu hakikat dimana integrasi keduanya tidak
bisa dipisahkan satu sama lain.
Para ulama' jaman dulu mengibaratkan
ilmu syariat sebagai menyelami samudra yang dalam, sementara ilmu hakikat
adalah mengambil mutiara yang terkandung di dalamnya. Manusia tidak bisa langsung
mengambil mutiara tersebut tanpa punya keahlian ilmu menyelam, bahkan keahlian
menyelam saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan ilmu-ilmu yang lain, seperti pengetahuan
tentang keadaan cuaca, kedalaman air dan lain-lain. Jadi, menyelami samudra
merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Semoga dalam masa penyelaman itu, kita
tidak terpesona dengan keindahan panorama alam bahari dan masih ingat dengan
tujuan semula yaitu mengambil mutiara-mutiara indah di dasar sana.
Sekiranya tulisan ini bisa menjadi motivasi
bagi mereka yang masih mempunyai semangat untuk terus belajar secara mandiri
dan profesional.
Sumber foto : Google Images