Pages - Menu

Selasa, 30 April 2013

Paradigma Pendidikan Formal


"Kalian baru masuk semester satu, tapi nilainya buruk sekali. Memang, keilmuan seseorang tidak dapat diukur melalui angka nominal sebuah nilai, namun terkadang nilai juga bisa mengukur keilmuan seseorang. Belajarlah yang rajin!"

Kalimat di atas merupakan pesan singkat dari guru kami, KH Habibul Huda, ketika mengetahui hasil ujian teman-teman yang kurang maksimal. Pesan tersebut dikirim ketika kami baru setengah tahun tinggal di negara Yaman.
Saya pribadi, yang sejak kecil memang tidak pernah duduk di bangku sekolahan, tidak terlalu risau menanggapi hal itu. Bertahun-tahun di pondok pesantren, saya tidak pernah dihadapkan dengan situasi persaingan nilai seperti di sini. Hal itu wajar, karena di pesantren yang lebih ditekankan adalah substansi bukan formalisasi.
Di satu sisi, saya senang karena merasa diperhatikan, namun di sisi lain merasa tertekan jika dituntut untuk selalu mendapat nilai tinggi.
Semua orang -dengan segala keterbatasannya- tentu menginginkan nilai yang baik, namun jika nilai baik itulah yang kemudian menjadi prioritas utama maka yang selalu terbayang dalam pikiran ketika belajar adalah, "apakah permasalahan ini nanti masuk dalam so'al ujian?" atau "kira-kira soalnya seperti apa ya?" atau bahkan "bab ini tidak diujikan, jadi tidak usah dibaca, tidak paham pun juga tidak jadi masalah".
Lebih naifnya lagi, ada sebagian orang yang hanya cukup mempelajari lembaran soal-soal tahun lalu, karena biasanya yang diujikan tidak beda jauh dengan sebelumnya dan cara itu dianggap lebih efektif dari pada harus membaca 'naskah kuno' yang tentunya lebih bertuah dan memberi banyak faedah.
Pernah suatu ketika, saya didatangi seorang teman untuk diajak belajar bersama mengingat waktu ujian yang semakin dekat. Namun ternyata, setelah sang ustadz memberi batasan, pokok-pokok pembahasan yang telah kami pelajari berdua banyak yang tidak diikutkan dalam ujian. Anehnya, saya justru melihat kekecewaan di raut muka teman saya tadi. Seolah-olah merasa percuma menerima maklumat yang tidak akan diujikan. Seandainya tidak ada ujian, mungkinkah dia akan tetap mengajak belajar?
Dalam konteks inilah, formalisasi pendidikan terlihat jelas tidak didorong oleh motivasi belajar yang sebenarnya. Kesadaran spiritual akan mengendalikan manusia untuk menempuh jalan mana yang akan dia lalui.
Formalisasi pendidikan bukanlah tujuan, tetapi jalan. Jika jalan yang seharusnya digunakan sebagai sarana kemudian diubah dan diyakini sebagai tujuan, para penempuh jalan hanya akan berjalan di tempat.
Namun demikian, adanya formalisasi pendidikan juga memberi dampak positif dalam diri manusia. Jika bukan karena ingin mendapat sertifikasi sanad, saya mungkin tidak akan hafal seribu bait Alfiah Ibnu Malik. Jika bukan karena 'angka keramat' itu, tentu saya tidak dapat menikmati belajar di kota Tarim ini. Jika bukan karena lembaran ijazah itu, tentu para sarjana tidak dapat menduduki kursi-kursi pemerintahan. Bahkan mungkin, hanya ada satu dari seribu orang yang benar-benar mempunyai gairah untuk belajar jika sistem pendidikan tidak diformalkan.
Mungkin sangat tepat jika formalisasi pendidikan dianalogikan sebagai ilmu syari'at, sementara substansinya adalah  ilmu hakikat dimana integrasi keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Para ulama' jaman dulu mengibaratkan ilmu syariat sebagai menyelami samudra yang dalam, sementara ilmu hakikat adalah mengambil mutiara yang terkandung di dalamnya. Manusia tidak bisa langsung mengambil mutiara tersebut tanpa punya keahlian ilmu menyelam, bahkan keahlian menyelam saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan ilmu-ilmu yang lain, seperti pengetahuan tentang keadaan cuaca, kedalaman air dan lain-lain. Jadi, menyelami samudra merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Semoga dalam masa penyelaman itu, kita tidak terpesona dengan keindahan panorama alam bahari dan masih ingat dengan tujuan semula yaitu mengambil mutiara-mutiara indah di dasar sana.
Sekiranya tulisan ini bisa menjadi motivasi bagi mereka yang masih mempunyai semangat untuk terus belajar secara mandiri dan profesional.


Sumber foto :  Google Images

Senin, 29 April 2013

Memindah Garis Pemisah Footnote


Waktu makan siang tadi, seorang di samping saya menanyakan cara memindah garis footnote dari kiri ke kanan atau sebaliknya pada program tulis Microsoft Word. Secara kebetulan, orang lain di sebelah saya juga menanyakan hal yang sama tadi malam. Entah untuk kesekian kalinya saya mendapat pertanyaan serupa. Apalagi saat-saat pengerjaan bahets seperti sekarang ini. Bahkan suatu ketika saya pernah diundang secara spesifik ke Kantor Asosiasi Mahasiswa Indonesia Al-Ahgaff hanya ditanya mengenai hal ini.

Saya meyakini masih banyak teman-teman mahasiswa Indonesia di Universitas Al Ahgaff yang belum mengetahui hal ini. Kebanyakan dari mereka yang bertanya adalah jika dalam komputernya garis tersebut secara otomatis berada di kiri. Sementara jika tulisannya menggunakan huruf Arab, maka idealnya di sebelah kanan. Sebagain lain (yang pengaturan komputernya secara otomatis menempatkan garis footnote di sebelah kanan) lebih memilih diam karena itu sudah sesuai kehendak mereka. Dari sini dapat diketahui bahwa pertanyaan mereka semata-mata untuk 'mengatasi' bukan didorong rasa 'ingin tahu'.

Untuk Office 2007 dan versi setelahnya, caranya adalah klik menu View lalu pilih Draft. Kemudian klik menu References, lalu klik Show Notes, kemudian pada Combo Box di bagian bawah pilih Footnote Separator. Setelah itu, rubahlah pengaturan alignment (penjajaran baris) menjadi Right (kanan) atau melalui jalan pintas dengan menekan kombinasi tombol Ctrl + R. Kemudian kembalikan tampilan seperti semula melalui View lalu Print Layout.

Sedangkan untuk Microsoft Office 2003, langkah-langkah yang ditempuh tidak jauh berbeda. Hanya saja, setelah mengubah tampilan dari rancangan halaman (Page Layout) menjadi Normal (pada Office 2007 memakai istilah Draft) ada sedikit perbedaan. Untuk mengubah tampilan, caranya adalah klik menu View lalu Normal, kemudian View lagi lalu Footnotes. Setelah itu sama seperti di atas.

Selesai. Semoga berguna.

Sabtu, 27 April 2013

Kunjungan Singkat Ustaz dari Palestina



Kamis kemarin (25/4) adalah hari yang sangat melelahkan. Hampir seharian tidak tidur. Padahal malamnya baru tidur sekitar pukul 02.00 dini hari. Namun kelelahan itu bisa sedikit terobati ketika sore harinya saya berhasil lulus dalam tes hafalan Al-Qur'an di Madrasah Al-Aidrus Tarim.
Malam Jumat setelah shalat Isya, saya kembali ke kamar untuk istirahat. Keadaan kamar waktu itu sangat sepi. Entah ke mana orang-orang pada pergi. Rasa kantuk sudah tidak bisa lagi kutahan. Namun baru saja mata ini terpejam, tiba-tiba datang dua orang masuk ke kamar dan salah satu dari mereka membangunkanku. Sayup-sayup terdengar suaranya. Akhirnya aku mengenali suara itu. Tidak salah lagi, suara itu adalah milik Habib Abdurrahman Al-Musawa, teman satu fakultas di kampus yang sering bermain di kamarku.
Walau terasa berat, terpaksa aku membuka mata. Seorang lelaki di samping Habib Musawa terlihat biasa saja. Dia hanya mengenakan baju kemeja seperti kebanyakan anak Indonesia. Untuk sesaat, pikiranku menjadi kosong sama sekali. Aku sedang menatap Ustaz Abdullâh Syâhîn.
Ustaz Abdullâh Syâhîn berasal dari kota Ghaza, Palestina. Beliau masih sangat muda. Lulus S1 dari Universitas Al-Ahgaff Tarim pada tahun 2009 kemudian pindah ke Mukalla untuk mengabdikan diri. Saya dan teman-teman mahasiswa Indonesia angkatan ke-15 beruntung bisa diajar oleh beliau. Kami lebih dianggap sebagai adik kelas daripada sekadar murid. Pembawaannya yang bersahaja membuat teman-teman merasa nyaman saat berada di ruang kuliah.
Saya tidak pernah membayangkan hari ini akan bertemu dengan beliau. Seketika itu aku langsung bangun dari tempat tidur dan menjabat tangannya. Faqih Syamsur Rijal, teman sekamarku bergegas membentangkan sajadah dan mempersilahkan beliau duduk lalu ia keluar untuk mencari makanan ringan dan minuman.
"kaifal hal, ya ustadz!" Habib Abdurrahman Al-Musawa mengawali pembicaraan. Lalu beliau menjawab, "alhamdulillah, bi khair". Habib Abdurrahman Al-Musawa melanjutkan, "bagaiman keadaan Ghaza sekarang? Sepertinya sudah membaik, sebagaimana yang diberitakan oleh media masa?!".
Sebelum beliau menjawab, Amir Fa'ad, seorang teman dari kamar depan datang lalu berjabat tangan dan menanyakan kabar. Sesaat kemudian, Muhammad Jawad dan yang lainnya dari kamar sebelah juga berbondong-bondong datang ke kamar.
Beliau tidak sepenuhnya membenarkan pemberitaan media. Ghaza adalah kota kecil yang berbatasan langsung dengan Israel. Kota ini berpenduduk sekitar 1.5 juta jiwa. Kebanyakan dari mereka adalah para sarjana. Namun demikian, mereka tidak mendapatkan profesi yang selayaknya. Bahkan ada orang yang bertitel doktor hanya menjadi penjual sayur.
Kekuasaan politik sepenuhnya dipegang oleh Hamas yang berideologi Ikhwanul Muslimin yang memanfaatkan demokrasi untuk menguasai pemerintahan. Hampir semua orang tahu bagaimana orientasi dan pola pikir gerakan yang satu ini. Jargon mereka secara implisit adalah, "bergabunglah dengan kami, jika tidak berarti kalian adalah musuh".
Dua tahun yang lalu, ustadz Syahin (begitu kami akrab memanggilnya) pulang ke kampung halaman. Beliau sempat bertemu dengan anggota kelompok Hamas. Mereka faham betul ideologi dan pemikiran yang berkembang di kota Tarim, Hadhramaut, tempat ustadz Syahin menimba ilmu. Ketika beliau mengucapkan salam, mereka sama sekali tidak ada yang menjawab.
"Lalu bagaimana pendapat ustadz tentang konflik di Syria dan terbunuhnya Syekh Al Buthi sebulan yang lalu?" tanya salah seorang teman.
Dalam hal ini, beliau bersikap netral. Tidak memihak Pemerintah juga tidak memihak Syekh Al Buthi. Namun beliau menilai, apa yang telah Al Buthi lakukan dengan mendukung rezim Basyar Assad merupakan langkah yang tepat, sesuai dengan manhaj Rasulullah.
Al Buthi adalah salah satu saksi sejarah atas tindakan represif Attaturk di Turki yang membantai para ulama, menghancurkan masjid dan memupus Bahasa Arab. Hingga ia dan seluruh keluarganya memilih berhijrah ke Syria. Pengalaman pahit tindakan bengis penguasa ini, tak akan bisa dihapus. Maka sikap beliau yang memilih loyal kepada pemerintah, dipahami sebagai “dakwah” untuk menjaga generasi muda Islam dan alim ulama dari pembantaian rezim Al Assad. Al Buthi paham betul, kepedihan dari praktik zhalim penguasa terhadap para ulama dan aktivis gerakan Islam di seluruh negeri Arab. Oleh karena itu, beliau masuk ke dalam lingkaran kekuasaan dalam rangka menasihati, tidak lebih.
Sangat disayangkan, ketika para cendekiawan muslim justru menghujat sikap Syekh Buthi ini karena perbedaan pendapat. Salah satunya adalah komentar Syekh Al Qardlawi (anggota dari Ikhwanul Muslimin) yang mengatakan, "Dia (Syekh Buthi) sudah kehilangan akal sehat dan jati dirinya sebagai ulama" saat diwawancarai di stasiun televisi Al Jazeera. Sungguh aneh, ketika Al Qardlawi berjabat tangan dengan perempuan lain tidak ada yang menentang, tapi jika Syekh Buthi membela hak kaum muslimin justru dihujat habis-habisan.
Perbincangan selanjutnya hanya gurauan dari teman-teman hingga tidak terasa waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Akhirnya beliau berpamitan dan jika tidak ada halangan, akan mengikuti acara kumpul bareng di kolam renang pekan depan.

Sumber foto :  Fa'ad Mas'ud

Kamis, 25 April 2013

Ujian Resitasi Alquran

Sumber foto: Ade Nurul Badar.
Terbayar sudah kerja keras saya selama dua minggu terakhir ini. Kamis sore tadi, 25 April 2013, di hadapan sang penguji, Syekh Abdul Qadir Al-Aidrus, saya berhasil menghafal sebanyak dua juz setengah sebagai lanjutan dari tujuh juz setengah yang telah saya selesaikan pada periode lalu.

Ujian resitasi Alquranatau sering disebut tasmi'merupakan salah satu bagian dari kurikulum yang diwajibkan oleh pihak kuliah. Setiap mahasiswa wajib mempunyai hafalan sepuluh juz dari kitab suci Alquran sebagai syarat mutlak untuk pengambilan ijazah di jenjang akhir nanti.

Tiga tahun yang lalu, ujian ini hanya dilaksanakan pada semester terakhir atau menjelang pengambilan ijazah. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, jumlah mahasiswa kian bertambah dan karena beberapa pertimbangan akhirnya prosedurnya pun juga diubah.

Saat ini, para mahasiswa sudah dituntut menyetor hafalannya ketika masuk tingkat tiga atau semester lima. Jatah yang wajib disetorkan adalah dua juz setengah. Ujian ini berlangsung selama empat kali yaitu pada semester kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan. Dengan demikian, jumlah keseluruhan (jika benar-benar memenuhi prosedur) adalah sepuluh juz.

Untuk tahap pertama dan kedua (semester 5 dan semester 6), ujian tersebut tidak dijadikan prioritas. Artinya, para mahasiswa boleh menyetor kurang dari jatah yang ditentukan atau bahkan tidak menyetor sama sekali.

Namun ketika masuk tahap ketiga (semester 7), mereka dituntut untuk menyetor sebanyak tujuh setengah juz—terlepas dari apakah pada tahap sebelumnya sudah menyetor lima juz atau tidak. Jika tidak dipenuhi (setelah mendapat kesempatan mengikuti ujian remedi/daur tsâni), maka konsekuensinya adalah mengulang satu tahun. Begitu juga jika pada tahap keempat tidak berhasil menyetor sepuluh juz.

Banyak teman dari mahasiswa Indonesia yang gagal dalam ujian ini. Hal itu disebabkan kebanyakan dari mereka belum mempunyai tabungan hafalan ketika masih di rumah atau karena kurang jeli dalam membagi waktu bersamaan dengan padatnya jadwal kuliah di kampus Universitas Al-Ahgaff. Kesulitan itu masih ditambah lagi dengan toleransi kesalahan yang (hanya) 8 kali dalam satu juz. Artinya, jika pelafalan dalam satu juz lebih dari delapan kali, maka yang bersangkutan dianggap gagal.

Sungguh ironis ketika melihat teman-teman yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata harus mengulang satu tahun karena gagal dalam ujian ini, bahkan ada yang mengulang setahun hanya karena kurang setengah juz saja.

Namun bagaimana pun juga, peraturan harus diindahkan dan apa yang telah terjadi bisa menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua untuk pintar dalam membagi waktu dengan baik.

Demikian informasi yang dapat saya sampaikan mengenai mekanisme ujian Alquran di Universitas Al-Ahgaff sebagai antisipasi untuk menghindari jatuhnya korban berikutnya.

Kamis, 18 April 2013

Tidur Pagi


Ilustrasi gambar: seputaraceh.com
Suatu pagi di musim dingin tahun 2013 aku tidak sengaja tertidur. Di dalam tidur, aku mimpi bertemu dengan Dr. Abdullâh Awadl bin Smith, guru besar nahwu & sharaf di Universitas Al-Ahgaff Tarim Hadhramaut Yaman. Aku dimarahi karena tidak belajar dan malah asyik tidur di pagi hari. Seketika itu aku langsung terbangun dan keluar untuk mencari udara segar.
Jam pertama kuliah adalah mata pelajaran Sharaf yang diemban oleh beliau. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa ngantuk, padahal malamnya aku tidak begadang. Kucoba untuk menyembunyikan rasa kantuk itu. Tapi akhirnya ketahuan juga oleh beliau dan aku langsung dipanggil untuk maju ke depan.
Sesampainya di depan, aku disuruh menulis di papan tulis untuk memberi wazan pada huruf jar (ilâ). Tanpa pikir panjang aku tuliskan kata fi'al (fa' kasroh, ain fathah, lam sukun). Beliau tersenyum lalu berkata, "bukankah ilâ itu merupakan kalimah huruf?" pertanyaan itu langsung disambut tawa oleh teman-teman dan aku baru menyadari bahwa kalimah huruf itu tidak mempunyai wazan (timbangan kata). Sementara yang mempunyai wazan adalah isim mutamakkin dan fi'il mutasharrif.
Ustadz Abdullâh Awadl bin Smith merupakan figur yang sangat karismatik. Sosoknya mengingatkan saya pada Bpk Muhammad Kho'if, pengurus keamanan Pondok Pesantren Al-Ma'ruf Bandungsari di era 90-an yang dikenal tegas dan berwibawa. Keduanya juga mempunyai keahlian di bidang yang sama, yaitu ilmu Nahwu.
Semoga ketulusan mereka dalam mendidik para santri dan mahasiswa dibalas oleh Allah s.w.t. dan kita semua dapat mewarisi dan mengamalkan ilmu-ilmunya. Setelah peristiwa itu, aku tidak berani lagi tidur di pagi hari.

Selasa, 16 April 2013

Memindah Penyakit pada Hewan


Menanggapi pertanyaan dari seorang teman di Facebook pagi tadi, bagaimana hukumnya memindahkan penyakit pasien kepada hewan?
Dalam kajian ilmu fikih, ada sebuah adagium yang sangat populer yaitu, "dar' al-mafâsid muqaddam alâ jalb mashâlih" (menolak kerusakan harus lebih didahulukan dari pada mewujudkan kesejahteraan).
Dalam permasalahan ini, menyembuhkan penyakit adalah menciptakan kesejahteraan. Sementara memindahkan penyakit tersebut pada hewan (misalnya) tentu menimbulkan mafsadah baru. Namun jika ada dua mafsadah yang berlawanan, maka sebisa mungkin untuk menghindari yang lebih besar. Dalam kasus ini, nyawa manusia dianggap lebih berharga dari pada hewan.
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Ibnu Hajar menuturkan, jika ada seseorang menyambung tulangnya yang patah dengan barang najis, maka sholatnya sah dan dia tidak wajib melepas kembali apa yang telah dia sambung. Hal itu terpaksa ia lakukan karena keselamatan dirinya terancam dan tidak ada benda suci lain yang bisa menggantikannya.
Bahkan Imam Romli yang mengikuti pendatap Al-Ghazâli memperbolehkan merobek bagian tubuh hewan untuk sekadar mengetahui apakah hewan tersebut mempunya darah yang mengalir atau tidak. Sementara Imam Haramain yang diikuti oleh Ibnu Hajar tidak memperbolehkannya, karena itu merupakan bentuk penyiksaan. Kedua pendapat ini dapat dijumpai dalam kitab Hasyiyah al-Bâjûriy pada Bab Thaharah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jawabannya adalah boleh, apabila sudah sampai batas dlorurot atau hajat, demi keselamatan manusia muhtarom dengan beberapa catatan.
Pertama, hal tersebut menjadi alternatif yang terakhir. Artinya tidak ada pengobatan lain yang dapat menyembuhkan.
Kedua, Pasien tersebut termasuk muhtarom 'inda al-syar'i (orang yang dimuliakan dalam pandangan Islam)
Ketiga, Sakitnya sampai kondisi mubihut tayammum (diperkenankan untuk bertayammum).

Wallâhu a'lam