Pages - Menu

Sabtu, 26 Oktober 2013

Dan Juaranya Adalah PPJJ


Skuat PPJJ berpose bersama para suporter.
Setelah tiga kali menang adu penalti, PPJJ kembali angkat trofi AMI Football Cup untuk yang ketiga kalinya.

Tarim - Menjuarai turnamen itu mudah, yang sulit adalah mempertahankannya. Itulah kalimat yang sering kita dengar selama ini. Jika boleh saya menambahi, "menjuarainya (lagi) setelah berhasil mempertahankannya itu jauh lebih sulit." Tiga hal tersebut bukan berarti tidak mungkin terjadi dan itulah yang telah dibuktikan oleh tim sepak bola PPJJ (Paguyuban Pelajar Jawa Tengah dan Jogjakarta di Yaman) pada Jumat sore, 25 Oktober 2013, kemarin.

Lawan yang dihadapi PPJJ kali ini adalah Jawa Barat, tim yang dikalahkannya pada final AMI Champions League tahun lalu. Di atas kertas, kekuatan kedua tim bisa dikatakan berimbang.

Pertandingan dimulai saat wasit asal Tanzania, Abdul Aziz, meniup peluit panjang. Kedua tim langsung menunjukkan tipikal permainannya masing-masing. Meskipun PPJJ tampil dengan seluruh pilar utamanya, mereka tampak kesulitan menembus barisan pertahanan Jawa Barat yang di komandoi oleh Taufiq Benyamin. Sementara Jawa Barat yang pada tahun ini kehilangan penyerang andalannya yang pulang ke tanah air, Ridlo Alaydrus, memasang striker lapis kedua, Asep Mahfudz. Tidak ada banyak peluang yang tercipta di babak pertama dan pertandingan berjalan kurang menegangkan.

Serangan kedua tim mulai tampak pada babak kedua. Beberapa peluang seringkali tercipta, baik dari PPJJ maupun Jawa Barat. PPJJ yang tampil agresif lebih mendominasi jalannya pertandingan. Hal itu dapat dilihat dari persentase penguasaan bola dan jumlah peluang yang dimiliki. Dari peluang-peluang itu, tidak ada satupun yang menghasilkan gol. Skor kacamata bertahan hingga pertandingan usai dan penentuan juara harus ditentukan lewat adu penalti.

Bagi PPJJ, adu penalti kali ini merupakan yang ketiga kalinya semenjak dimulainya kompetisi bergengsi antardaerah tahun ini. Meskipun begitu, mereka tampak kurang percaya diri. Disamping PPJJ hanya memainkan kiper cadangannnya, para pemain juga enggan menjadi penendang pertama.

Suporter PPJJ sempat dibuat cemas ketika Ahmad Mansur yang menjadi eksekutor pertama gagal memasukkan bola. Untungnya, keempat penendang berikutnya (Faqih Ahmad, Suryono,  Ahmad Musyaffa, M. Lutfi Hakim) berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Sementara Jawa Barat harus merelakan trofi AMI Football Cup kembali ke pangkuan PPJJ setelah dua penendang penalti mereka gagal.


Kamis, 24 Oktober 2013

Singkirkan Sumatera, PPJJ Tantang Jawa Barat di Final



Tarim -  Menegangkan dan dramatis. Itulah gambaran singkat jalannya laga semifinal AMI Football Cup 2013 antara PPJJ melawan Sumatera.kemarin sore, Rabu, 23 Oktober 2013. Disaksikan lusinan pasang mata mahasiswa Al-Ahgaff dari berbagai negara, pertandingan ini dimenangi oleh PPJJ melalui adu penalti setelah kedua tim bermain imbang 2-2.
Babak pertama berjalan cukup berimbang. Kedua tim saling melancarkan serangannya. PPJJ yang memasang striker muda asal Lasem, Paidi, tak mampu menembus solidnya barisan pertahanan Sumatera yang dikawal oleh Depit Mustaghfirin dan kawan-kawan. Sebelum babak pertama usai, PPJJ kecolongan gol dulu lewat sundulan pemain tengah asal Aceh, Riki, yang lolos dari pengawalan.
Tertinggal satu gol memaksa PPJJ merurunkan striker andalannya di babak kedua. Tanpa persiapan terlebih dahulu, mbah Mukhlisin langsung masuk menggantikan Paidi. Ritme permainan pun semakin meningkat. Meskipun begitu, butuh cukup waktu lama bagi PPJJ untuk menyamakan kedudukan.
Hingga pertengahan babak kedua, PPJJ baru berhasil menciptakan gol balasan melalui sontekan kaki Ahmad Mansur setelah menerima umpan silang dari Faqih Ahmad. Namun, tidak berselang lama setelah gol itu, Sumatera kembali menambah golnya.
Unggul 2-1 dan sisa waktu yang kurang dari lima menit membuat anak-anak Sumatera merasa di atas angin. Mereka tampak yakin bakal masuk ke final, tinggal menunggu wasit Abdullah Bailam meniup peluit panjang.
Para suporter yang anti terhadap PPJJ pun mulai meneriakkan yel-yel kemenangan untuk Sumatera. Sementara pendukung PPJJ hanya terdiam lesu menunggu dewi fortuna datang.
Dalam situasi genting seperti itu, PPJJ menunjukkan kelasnya sebagai tim besar yang bermental juara. Beberapa saat sebelum waktu normal berakhir, sebuah kemelut terjadi di depan mulut gawang Sumatera. Kesempatan itu berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh mbah Mukhlisin sehingga membuat skor berubah sekaligus menyelamatkan muka PPJJ di depan publik Ahgaff.
Penentuan siapa yang berhak lolos ke final terpaksa ditentukan melalu adu penalti. Dalam hal ini, PPJJ nampaknya lebih siap, baik dari segi teknis maupun mental. Terbukti dari empat eksekutor PPJJ; M. Lutfi Hakim, Ahmad Mansur, Ahmad Musyaffa' dan Faqih Ahmad, berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Sementara di pihak Sumatera hanya dua penendang yang mampu melesakkan gol.
Sukses PPJJ kali ini tentu tidak lepas dari peran sang kiper, Lutfi Ahsanuddin. Sebelum adu penalti, ia mendapat pengarahan singkat dari manajer tim tentang kiat-kiat membaca arah bola. Walhasil, pria tambun asal Kendal ini berhasil menggagalkan dua penendang Sumatera. Bravo PPJJ.

Sumber foto :  AMI Ahgaff

Minggu, 20 Oktober 2013

Aku Gila


Yayasan Maathih adalah tempat penampungan orang gila telantar yang didirikan oleh KH Abdul Wahid Zuhdi sepuluh tahun yang lalu. Yayasan swasta berkapasitas 40 orang ini berada di area Pondok Pesantren Fadllul Wahid yang beralamat di daerah Ngangkruk, desa Bandungsari, kecamatan Ngaringan, kabupaten Grobogan Jawa Tengah..
Segala bentuk operasional yang ada di dalamnya mulai dari memasak, mengepel, memandikan, hingga prosesi pemakaman jika ada yang meninggal, semuanya dilakukan oleh para santri. Bahkan ada dari mereka yang rela mengabdikan diri untuk menjaga puluhan orang gila itu dan bertempat tinggal satu asrama dengannya.
Suatu hari yang cerah, terjadi obrolan ringan antara salah seorang petugas dengan orang-orang gila itu.
***

Petugas : "Hai, para pemuda! Apa kalian gila semua?!"

"Tidaaak!" jawab mereka serentak.

Edi : "Hei Wawan! Kau tau apa ini?" (Edi menunjuk pada kedua matanya)

Wawan : "Itu adalah pensil."

Perawat : "Dasar orang gila. Coba kamu Tono, ini namanya apa?" (petugas menunjuk pada mulutnya)

Tono : "Tentu aku tahu, itu adalah mulut"

"Bagus. Coba sekali lagi, kalau yang ini apa namanya? (petugas menunjuk pada telinganya)

"Kuping," jawab Tono singkat.

"Tepat sekali. Bagaimana kamu bisa tahu semua itu, Tono?" tanya petugas keheranan.

Tono : "Karena setiap kali aku bicara, aku selalu menggunakan ini. (sambil menunjuk kepalanya)

"Apa itu?" kata perawat.

Tono : "Kaki."

Perawat : #%&*@+(*$!

Sumber foto :  Mahmud Yasin

Selasa, 15 Oktober 2013

Pembukaan AMI Football Cup: PPJJ Ladeni Sultan



Tarim – Sepak bola bukanlah pelajaran matematis. Tiga dikurangi satu hasilnya tidak selalu dua, bahkan bisa jadi minus tiga. Pengalaman bertanding, teknik bermain sepak bola dan dukungan penuh para suporter yang dimiliki PPJJ (Paguyuban Pelajar Jawa Tengah dan Jogjakarta), jika dikurangi dengan 'hanya' semangat bertanding ala Sultan (Sulawesi dan Kalimantan), hasilnya belum tentu dua poin untuk PPJJ. Faktor-faktor itulah yang dijadikan bekal kedua tim saat akan berhadapan dalam pembukaan turnamen Piala AMI  (Asosiasi Mahasiswa Indonesia) besok pagi, Rabu, 16 Oktober 2013.
Sejarah telah membuktikan, banyak sekali hasil akhir sebuah pertandingan sepak bola tidak bisa diprediksi sebelumnya. Fakta di atas kertas yang ditulis oleh para ahli, acap kali berbalik 180 derajat dengan fakta di lapangan yang menakjubkan. Itulah sebabnya, cabang olah raga yang satu ini selalu mempunyai topik baru yang menarik untuk diperbincangkan. Puluhan artikel dimuat tiap harinya di pelbagai media massa, seolah-olah pembahasan mengenai hal ini tidak pernah ada habisnya.
Sepuluh tahun yang lalu, misalnya, siapa yang mengira tim kuda hitam seperti Yunani bakal menjadi jawara di dataran Eropa. Hanya bermodal semangat dan determinasi tinggi, tim asuhan Otto Rehhagel ini berhasil merengkuh trofi Euro 2004 setelah mengalahkan tuan rumah Portugal di partai final.
Begitu pula Sultan, tim yang baru genap dua tahun mendeklarasikan dirinya ini tidak pernah diperhitungkan dalam setiap kompetisi antardaerah di Universitas Al-Ahgaff. Meskipun begitu, bukan tidak mungkin, kali ini Sultan akan membuat kejutan bagi tim-tim besar lainnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh timnas Yunani tersebut.
Sementara itu, sejak kedatangan mahasiswa Dufah 15 Universitas Al-Ahgaff dari Mukalla tiga tahun lalu, PPJJ berubah menjadi tim raksasa yang sangat ditakuti lawan-lawannya. Hanya berselang satu tahun setelah kedatangan mereka, PPJJ berhasil memenangi kompetisi AMI Cup dengan mengalahkan Jawa Barat dengan skor 2-1.
Pada musim berikutnya, PPJJ berhasil mempertahankan gelarnya setelah menang atas Jawa Timur melalui drama adu penalti. Tidak hanya itu, di musim yang sama, PPJJ juga berhasil menjuarai AMI Champions League setelah menundukkan Jawa Barat dengan skor 2-1 di partai puncak.
Melihat latar belakang dan prestasi kedua tim, tampaknya mustahil bagi Sultan bisa mengalahkan PPJJ. Apalagi rekor buruk Sultan yang tidak pernah menang saat menghadapi PPJJ. Petemuan terakhir kedua tim terjadi pada Jumat dua pekan lalu. Waktu itu Sultan menyerah dengan dua gol tanpa balas.
Namun demikian, sekali lagi, fakta sejarah tersebut tidak bisa menentukan siapa pemenang pertandingan nanti. Terlalu gegabah kalau hanya dijawab melalui analisis prediktif matematis seperti di atas. Untuk mengetahui jawabannya, datang dan saksikan saja permaianannya besok pagi, langsung dari lapangan 'Santiago Berdebu' Al-Ahgaff.

Minggu, 13 Oktober 2013

Bacaan Lirih di Tengah Qunut



Seorang ustaz pengajar di PP Fadllul Wahid Bandungsari Grobogan pernah mengkritik julukan 'kota santri' yang disematkan kepada salah satu desa di kabupaten Demak. Julukan tersebut sebenarnya tidak berlebihan, mengingat fakta bahwa sebagian besar pondok pesantren di Jawa Tengah didominasi oleh putra-putri dari Demak. Namun, ketidaksetujuannya bukan karena itu, tapi lebih disebabkan hal 'sepele' yang masih diperselisihkan di antara ulama dan luput dari pengamatan banyak orang.

Dalam kunjungannya untuk yang ke sekian kali, ustaz yang juga berasal dari Demak itu memperhatikan bacaan imam-imam musala di sana ketika salat subuh. Bacaan yang dimaksud adalah doa qunut. Lebih spesifik lagi, kalimat zikir dan sanjungan yang berada ditengah-tengah doa qunut. Yaitu mulai dari "Fa innaka taqdlî walâ yuqdlâ 'alaik" sampai sebelum "astaghfiruka wa'atûbu ilaik".

Menurutnya, imam tidak perlu membaca pelan ketika sampai pada kalimat itu. Karena kalimat tersebut termasuk bagian dari doa qunut, di mana bagi imam disunahkan untuk membacanya dengan suara keras agar para makmum mengamininya. Dan ketika sampai pada kalimat "fa innaka taqdli" si imam tetap membacanya dengan keras, sementara para makmum juga membacanya (tidak membaca amin) secara pelan. [Lihat: Busyral Karim, hlm 232]

"Bagaimana bisa dijuluki kota santri jika dalam pelaksanaan ibadahnya saja tidak sesuai dengan aturan agama?!" katanya dengan nada sinis.

Statemen ustaz tersebut, secara tidak langsung menganggap semua kiai dan santri yang ada di desa itu tidak mengetahui akan hal ini. Lebih sembrononya lagi, ia tidak mencari tau terlebih dahulu apakah ada pendapat lain yang berbeda dan hanya cukup dengan pengetahuan parsialnya itu untuk menyalahkan orang lain.

Imam Muhammad Ar-Ramli menyatakan, bagi makmum diperbolehkan ikut membacanya bersama imam dengan suara pelan atau diam ketika imam membacanya. Namun yang lebih utama adalah makmum ikut membacanya. Lalu jika makmum dianjurkan ikut membaca, apakah si imam membacanya dengan suara pelan atau keras? Ada dua pendapat mengenai hal ini. [Lihat: Nihayatul Muhtâj, juz 1 hlm 507].

Jadi sebenarnya masalah ini masih diperselisihkan di antara ulama, sebagian ulama tetap menganjurkan bagi imam untuk membacanya dengan keras, sedangkan menurut sebagian ulama menganjurkan untuk membacanya dengan pelan karena imam dan makmum sudah membacanya sendiri-sendiri.

Pelajaran berharga yang saya petik dari cerita ustaz di atas adalah, jangan terburu-buru menyalahkan orang lain mengenai suatu perkara yang kita sendiri kurang mengetahuinya. Kecuali apabila perkara itu jelas-jelas sudah menyimpang dari aturan agama. Dan, seseorang belum dijuluki fakih (ahli fikih) selama ia tidak mengetahui perbedaan pendapat di antara fukaha.

Sumber foto:  Google Images

Selasa, 08 Oktober 2013

Hewan Kurban yang Lebih Diutamakan



Daging kurban adalah hidangan dari Allah s.w.t. di hari raya Idul Adha yang disajikan untuk seluruh umat Islam, baik yang miskin maupun yang kaya. Itulah sebabnya, untuk menghormati hidangan penuh berkah tersebut, pada hari itu kita dilarang untuk berpuasa dengan alasan apapun. Dan sudah barang tentu, ada kriteria tersendiri dan syarat-syarat khusus mengenai hewan yang boleh dipotong pada momen istimewa itu.
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa hanya ada tiga jenis hewan yang boleh dijadikan kurban, yaitu unta, lembu dan kambing. Mereka juga sepakat bahwa selain tiga jenis hewan itu, tidak boleh dipersembahkan untuk kurban. Perselisihan pendapat terletak pada segi keutamaan di antara jenis hewan-hewan tersebut.
Mazhab Syafi'i dan Hanbali lebih mengutamakan kuantitas daging hewan. Dalam hal ini, kadar daging unta lebih banyak dari pada daging sapi. Daging sapi lebih banyak dari pada daging kambing. Meskipun dari segi kualitas, daging kambing lebih unggul dari pada yang lainnya.
Lain lagi dengan mazhab Malikiyah. Menurut mereka, yang paling utama adalah domba, kemudian sapi, baru kemudian unta. Hal itu disebabkan, kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menyembelih hewan kurban selain domba. Dengan demikian, dombalah yang lebih diutamakan dari pada yang lain.
Sementara mazhab Hanafiyah lebih memprioritaskan tingginya harga dari pada jenis hewan. Semakin mahal harganya, kian tambah banyak pahalanya.
Adapun jenis kelamin hewan yang dijadikan kurban sebaiknya pejantan. Hal ini berbeda dengan hewan yang digunakan untuk membayar zakat, di mana yang wajib dikeluarkan adalah jenis betina, kecuali apabila hewan yang dimiliki semuanya jantan.
Terkait disparitas sudut pandang ihwal keutamaan jenis hewan yang dijadikan kurban, kita bisa mengikuti pendapat yang sesuai dengan 'selera' kita. Umpamanya kita berkemampuan untuk membeli seekor unta, maka ikut Mazhab Syafii dan Hanbali. Seandainya hanya mampu membeli seekor kambing, maka taklid saja pada Mazhab Maliki. Toh tetap saja sama-sama menjalankan sunah agama. Lalu bagaimana kalau tidak mampu membeli salah satu di antara ketiganya? Memang hampa rasanya jika Lebaran Besar tanpa ada sepotong daging yang dimakan. Adakah kaul yang bisa sedikit 'menghibur' kita?
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallâhu anhuma, bahwasannya berkurban itu cukup dengan mengucurkan darah (menyembelih) binatang, sekalipun itu hanya seekor ayam atau angsa. Nah lho?!

Sumber foto :  Supriyadi