Pages - Menu

Kamis, 24 Desember 2015

Ironi Gadis (Pengungsi) Suriah

Foto wanita Suriah. Ada yang berani bilang enggak cantik?
Saat berkunjung ke Kota Mukalla (Provinsi Hadhramaut, Republik Yaman) empat tahun lalu, saya sempat melihat gadis-gadis pengungsi Suriah berjajar di trotoar dan lorong-lorong pasar. Sebagaimana wanita Arab pada umumnya, mereka mengenakan telekung warna hitam. Akan tetapi, wajahnya dibiarkan terbuka tanpa cadar. Ironisnya, karena tidak adanya keluarga atau orang yang memberi nafkah, mereka terpaksa meminta-minta di tempat keramaian tersebut.

Setelah sekian lama tidak bertemu (kayak LDR saja, ya?), saya membaca berita bahwa saat ini para pengungsi Suriah sudah ada yang sampai ke Wilayah Asia Tenggara, khususnya Malaysia dan Indonesia. Rata-rata para wanitanya, selain anak-anak, adalah gadis yatim piatu, janda-janda muda anak satu, atau janda yang tidak punya anak karena suami-suami mereka meninggal di medan perang.

Selain mencari suaka, tentu saja, mereka juga mendambakan saya, eh, orang yang dapat melindungi sekaligus memberikan nafkah, baik lahir maupun batin. Dan, kabar baiknya, konon mereka mau menerima pinangan pria mana pun asalkan seiman dan menyediakan tempat tinggal. Bahkan mungkin mereka juga mau dimadu atau dijadikan istri kedua....

Untuk urusan kecantikan, wanita Suriah tidak bisa dipandang sebelah mata; kulitnya yang putih bersih alami, matanya yang biru kecokelatan, postur tubuhnya yang ... ah, sudahlah. Intinya, bahkan tanpa mekap di wajah sekalipun, wanita Suriah sudah pantas diajak jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Memang, cantik itu relatif. Tapi setidaknya ada kriteria dan standardisasi yang disepakati bersama oleh kaum lelaki, bukan?

Nah, melihat keadaan mereka yang sangat memprihatinkan, adakah di antara kita yang mau berbagi kebahagiaan dengan mereka?

Selasa, 07 Juli 2015

Cangkriman Faraid

Ilustrasi gambar dipinjam dari sini.
Sebagaimana judul tulisan ini di atas, kali ini saya akan membuat tebak-tebakan kepada para pembaca tentang ilmu pembagian harta warisan dalam Islam. Tidak hanya itu, saya juga akan memberikan pulsa Telkomsel sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) bagi siapa pun yang berhasil menjawab dengan benar.

Nah, sebelum saya mengajukan pertanyaannya, baca dan pahamilah narasi pendek berikut dengan saksama!

* * *
Segerombolan orang hendak membagi-bagikan harta warisan di antara mereka. Tapi sebelum mereka melakukannya, tiba-tiba datang seorang perempuan yang tengah mengandung tua.

“Setop! Jangan buru-buru kalian bagi harta itu karena aku sedang hamil,” kata perempuan itu. “Jika bayi dalam kandunganku ini nanti terlahir perempuan, maka ia juga berhak mendapat bagian. Namun jika ternyata laki-laki, maka ia tidak dapat bagian sama sekali.”

* * *
Pertanyaannya sekarang adalah, siapa saja segerombolan orang dan perempuan itu?

Jawaban bisa ditulis menggunakan salah satu dari 3 akun media sosial: Google Plus, Twitter, dan Facebook. Untuk Google Plus, silakan tulis pada kotak komentar di bawah; untuk Twitter, silakan kicaukan jawabannya dengan menyebut @luuthfie dan tanda pagar #CahPulokulon; dan untuk Facebook, sila berikan komentar pada salah satu kiriman di Halaman Facebook blog ini.

Seumpama jawaban Anda keliru, Anda masih boleh berkomentar lagi berkali-kali dengan jawaban yang berbeda. Dan jika ada dua jawaban yang benar, maka yang paling dululah yang saya menangkan.

Perlu diketahui bahwa ini adalah tebak-tebakan ilmiah. Jadi jawabannya hanya ada satu, eksak, dan logis. Tidak seperti tebak-tebakan nonilmiah pada umumnya yang jawabannya terasa ambigu dan dipaksakan.

Selain memberikan jawaban, Anda juga boleh bertanya apa pun yang berkaitan dengan ilmu faraid seperti bagian masing-masing ahli waris, perkara yang menghalangi seseorang mendapatkan warisan, dan lain-lain. Insya Allah saya—atau pembaca lainnya—akan menjawabnya. Siapa tahu, pertanyaan Anda bisa memberi semacam petunjuk untuk menjawab teka-teki di atas.

Kuis ini dimulai saat tulisan ini dipublikasikan sampai waktu yang tidak ditentukan—atau ada yang berhasil menjawab dengan benar. Selamat mencoba!

Jumat, 26 Juni 2015

Sepenggal Kisah di Pesantren Ash-Shufi

Guru-guru di MTs Terpadu Ash-Shufi.
Puasa tahun ini terasa amat berbeda. Jika 5 tahun terakhir saya menjalani puasa di negara orang dengan cuaca yang panas dan ekstrem, kali ini tidak demikian. Puasa tahun ini saya berada di Jawa Timur bagian selatan yang dikenal dengan suhunya yang dingin: Blitar.

Di Kota Koi inilah saya ditugaskan saat ini. Tepatnya di Pesantren Ash-Shufi yang diasuh oleh KH Imam Asy’ari. Adapun kegiatan belajar di pesantren ini selama bulan Ramadan adalah matrikulasi atau pembekalan siswa baru MTs Terpadu Ash-Shufi dengan materi utama Bahasa Inggris, Matematika, Biologi, dan pendidikan keagamaan. Bersama Mas Irvan dan Mas Zaka, saya diminta mengisi bagian keagamaan.

Pesantren Ash-Shufi beralamat di Jl. Trisula, Dusun Gogourung, Desa Dawuhan, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Jaraknya dari Kota Blitar lumayan jauh, sekitar 10 kilometer ke arah selatan. Dengan ketinggian tempat di atas 260 meter (dpl) dan perbukitan hijau di sampingnya, Pesantren Ash-Shufi memiliki kelembapan udara yang tinggi dan berhawa sejuk. Bahkan badan saya sempat menggigil kedinginan selama dua hari saat pertama kali tiba di sini. Mungkin karena saya belum terbiasa dengan udara dingin. Atau kemungkinan besar karena saya belum punya kekasih, sehingga kesulitan menemukan tempat bersandar yang berfungsi sekaligus sebagai penghangat badan.

Akan tetapi, sesungguhnya, bukan soal cuaca yang membuat puasa kali ini terasa berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, melainkan soal lingkungan dan partner baru. Yang saya maksud partner baru di sini adalah wanita-wanita cantik yang juga direkrut sebagai tenaga pengajar di MTs Ash-Shufi.

Mereka rata-rata menempuh pendidikan formal di kampus atau perguruan tinggi, dan bukan santriwati tulen yang bertahun-tahun bermukim di pesantren. Meski begitu, tingkah laku mereka sangat islami. Hal itu terlihat dari, misalnya, gaya mereka mengenakan busana dan profesionalismenya saat berkomunikasi dengan lawan jenis.

Saya sangat sering berpapasan dengan mereka; saat menyiapkan menu buka puasa, makan di dapur, piket di kantor, sampai di beranda musala sebelum/sesudah salat berjemaah. Bahkan pernah suatu ketika ada yang mengetuk pintu kamar saya saat waktu azan telah tiba, sementara saya masih tertidur karena kecapaian.

Tentu saja, bagi mereka itu hal yang biasa, sehingga mereka bisa menjalaninya dengan enjoy. Tapi bagi saya, yang belasan tahun tidak pernah berinteraksi langsung dengan kaum hawa, semua itu pada awalnya terasa canggung dan kurang nyaman.

Jumat, 12 Juni 2015

Kafe Halte Tulungagung

Interior Kafe Halte. Foto: Facebook/Mahmud Janu
Mungkin karena terlalu  lama tidak memiliki pacar, saya mulai pandai menghibur diri sendiri. Ya, menghibur diri merupakan keahlian saya saat ini. Ada banyak hal yang bisa saya lakukan untuk menikmati kesendirian saya itu. Salah satu di antaranya adalah duduk santai di dalam kafe sambil berselancar di dunia maya.

Nah, omong-omong soal kedai kopi, jika kebetulan Anda sedang melintas di Kota Tulungagung, Jawa Timur, jangan lupa mampir di tempat nongkrong yang sangat asyik, Kafe Halte namanya. Kafe ini beralamat di Jl. Wahid Hasyim No.07, tepatnya di belakang masjid “alun-alun” Al-Munawwar. Lokasinya yang strategis membuatnya mudah dijangkau dari arah mana pun.

Saat pertama kali memasukinya, saya sama sekali tidak merasa canggung. Meski kafe identik dengan tempat berkumpulnya masyarakat urban yang glamor dan elite, tetapi Kafe Halte memberi suasana yang berbeda. Dengan interior dinding berpetak merah-putih dan kisi-kisi bambu di bagian tengahnya, Kafe Halte mampu menarik para pengunjung dengan latar belakang yang beragam. Hal itu dapat dilihat dari, misalnya, jenis busana yang mereka kenakan. Ada yang tampak religius dengan baju koko, sarung, dan kopiah. Ada yang tampil elegan dengan kaus dan celana jin. Ada pula pengunjung wanita yang tampak seksi dengan pakaiannya yang serbaminim....

Seperti biasa, suatu hari saya datang sendirian ke tempat ini sambil menenteng komputer jinjing. Saya biasanya hanya memesan secangkir kopi hitam (Rp3 ribu) lalu memilih tempat duduk lesehan. Dengan memanfaatkan fasilitas free hotspot dan secangkir kopi di samping, saya bisa menghabiskan waktu 2 hingga 3 jam—durasi yang hampir sama bagi sepasang kekasih yang sedang berkencan di kafe.

Selain aneka minuman hangat dan dingin, Kafe Halte juga menyediakan nasi dengan bermacam varian menu yang, sudah pasti, semuanya dijamin kehalalannya. Nama Halte sendiri merupakan akronim dari “halal tenan” yang secara harfiah berarti ‘benar-benar halal’.

Rabu, 15 April 2015

Alumni Al-Ahgaff Bikin Petisi di Acara Reuni

Foto bersama seusai acara.
Himpunan Mahasiswa Universitas Al-Ahgaff (HIMMAH) Yaman kembali mengadakan pertemuan pada Ahad, 12 April 2014 di Pesantren Progresif Bumi Shalawat, Sidoarjo, Jawa Timur. Acara yang digelar beberapa bulan sekali ini dihadiri lebih dari 50 alumni dari berbagai angkatan.

Saya berangkat bersama rombongan dari Tulungagung sekitar pukul 08.00 WIB dan tiba di lokasi saat zuhur. Karena masih menunggu mereka yang datang dari jauh, acara diundur sampai 2 jam dan baru dimulai pada pukul 15.00 WIB.

Pertemuan kali ini membahas, antara lain, kondisi terkini di Negara Yaman; dampak konflik terhadap proses belajar-mengajar di kampus; serta nasib teman-teman mahasiswa, baik yang masih bertahan di sana maupun yang ikut evakuasi.

Sebagai sesepuh yang banyak pengalaman tentang seluk-beluk politik di Yaman, Ustaz Faiz—yang baru pulang ke Indonesia bulan lalu—didaulat untuk menjelaskan keadaan sesungguhnya negara tersebut. Ia kemudian menceritakan kondisi keamanan di sana semenjak Presiden Yaman mengungsi dan mengundurkan diri, tepatnya pada bulan Oktober 2014 lalu. (baca: Kondisi di Yaman dan Pemberitaan Pers)

Sejak saat itu, kata beliau, kendali pemerintahan dipegang oleh Syiah Houti yang sebelumnya menjadi oposisi. Di saat yang bersamaan, Universitas Al-Iman ditutup karena menjadi tempat persenjataan kelompok Suni (Wahabi). Universitas tersebut berada di Kota Sana’a, wilayah Yaman bagian utara yang menjadi medan pertempuran antara Suni dan Syiah sebagaimana sering diberitakan media.

Sementara di Yaman bagian selatan seperti Hadhramaut—di mana Universitas Al-Ahgaff berada—kondisinya relatif aman. Bahkan sangat aman; tidak ada penjagaan ketat dari tentara dan listrik pun tidak pernah padam. Memang, sempat terjadi insiden pengeboman dan baku tembak di wilayah Hadhramaut, tetapi semua itu tidak begitu berpengaruh terhadap kegiatan belajar di lingkungan kampus.

Sayangnya, media telah dikuasai oleh sekelompok orang yang menginginkan kita (Ahlusunah wal Jamaah) tidak bisa bergerak leluasa. Ada semacam konspirasi dari media untuk membuat Hadhramaut seolah-olah tidak aman sehingga mengancam keberadaan warga negara Indonesia di sana. Hal ini masih ditambah dengan kedatangan utusan dari Kementerian Luar Negeri yang “menakut-nakuti” pelajar di Hadhramaut dan mengimbau mereka agar ikut evakuasi—tanpa memberi jaminan (biaya) kembali lagi ke Yaman.

Menanggapi situasi seperti ini, Rektor Universitas Al-Ahgaff Habib Abdullah Baharun memberi kebebasan kepada seluruh mahasiswanya. “Man shaddaqa kalami sayantadhir wa man yakhaf falyadzhab,” katanya. Maksudnya, bagi siapa yang percaya dengan perkataan beliau (bahwa keadaan sebenarnya aman-aman saja), maka akan memilih untuk tetap bertahan. Sementara yang merasa khawatir—karena desakan dari keluarga, misalnya—dipersilakan untuk pergi meninggalkan Yaman dan pihak kampus akan memberi dispensasi.


Di akhir acara, sebagai bentuk solidaritas antara sesama civitas akademika, para alumni bersepakat membuat petisi berisi (1) jaminan keamanan selama proses evakuasi dari Yaman ke Tanah Air dan (2) permintaan agar mereka yang dievakuasi mendapat jaminan kembali belajar ke Yaman setelah kondisinya dinilai aman. Mengingat Universitas Al-Ahgaff merupakan salah satu perguruan tinggi di Yaman yang berpaham moderat, toleran, dan antikekerasan—sesuai dengan kebudayaan orang Timur seperti Indonesia.

Dan mereka yang dievakuasi, dengan demikian, adalah aset intelektual negara sekaligus penerus generasi masa depan bangsa yang eksistensinya mesti dipertahankan.

Jumat, 03 April 2015

Menyongsong Gerhana Bulan Total (4 April 2015)

Foto Gerhana Bulan dipinjam dari sini.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada 10 Maret 2015 lalu menerbitkan artikel pendek berisi pemberitahuan tentang adanya Gerhana Bulan Total yang akan terjadi di bulan ini, tepatnya pada hari Sabtu, 4 April 2015 antara pukul 17.00 WIB dan 22.00 WIB.

Peristiwa alam ini dapat diamati dari seluruh wilayah Indonesia. Dan untuk kawasan ujung timur seperti Papua, seluruh proses Gerhana Bulan bisa disaksikan mulai dari awal sampai akhir. Hal ini mengingat Bulan sudah terbit sebelum fase gerhana mulai terjadi. Sementara untuk daerah lainnya seperti Kalimantan, Bali, Jawa, dan Sumatera akan mengamati Bulan dalam fase Gerhana Sebagian saat Bulan terbit.

Para pengamat dan pakar astronomi di Tanah Air tampaknya tak mau ketinggalan menyambut momen istimewa ini. Mereka juga “berlomba-lomba” menguji keakuratan hasil hisab mereka dengan memublikasikannya di media daring seperti blog dan status Facebook. Lebih dari itu, mereka secara serentak juga akan mengadakan “nonton bareng” fenomena alam yang hanya terjadi minimal 6 bulan sekali ini.

Di alun-alun Kota Bandung, misalnya, Observatorium Bosscha berencana menggelar acara Observasi Gerhana Bulan secara gratis dan terbuka untuk umum. Sementara Jogja Astro Club akan mengadakan acara serupa di alun-alun utara Kota Yogyakarta dan komunitas Kafe Astronomi di alun-alun selatan. Sayangnya, acara-acara semacam itu kebanyakan lebih berorientasi pada aspek edukasi daripada religiositas.

Yang agak janggal dari sebagian artikel mereka adalah adanya ajakan untuk mengumandangkan takbiran bersama. Padahal, sependek pengetahuan saya, tidak ada anjuran khusus membaca takbir saat terjadi gerhana. Memang tidak ada salahnya dengan membaca takbir, tetapi waktu dan situasi juga mesti diperhatikan. Takbiran biasanya identik dengan suasana bahagia atau hari kemenangan seperti Lebaran. Sementara gerhana adalah waktu untuk muhasabah dan mengingat akan dosa-dosa yang telah, atau sedang, kita lakukan.

Terlepas dari itu semua, kita sebagai seorang muslim seyogianya bisa memanfaatkan momentum ini dengan baik sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh agama. Misalnya memperbanyak baca istigfar, sedekah, puasa, introspeksi diri ... dan—ini yang paling utama—salat Khusuf beserta dua khotbah sesudahnya.

Amalan lain yang sunah dilakukan saat terjadi Gerhana Bulan adalah mandi. Memang, konon, mandi di malam hari itu tidak baik untuk kesehatan badan. Tetapi jika mandi tersebut—termasuk di malam-malam bulan Ramadan—adalah perkara yang disunahkan, maka dugaan seperti itu sebaiknya diabaikan saja. Karena bagaimanapun, Islam tidak mungkin menganjurkan suatu hal yang menimbulkan mudarat bagi pemeluknya sendiri.

Akhir kata, semoga kita bisa mengambil hikmah dari semua fenomena alam yang ada di sekitar kita, termasuk Gerhana Bulan Total besok malam. Selamat menikmati dua keindahan alam sekaligus: senja di ufuk barat dan gerhana di ufuk timur.

Kamis, 26 Maret 2015

Teks Obrolan “Temu Kangen” di Ponpes Fadllul Wahid

Perpustakaan Pondok Pesantren Fadllul Wahid.
Pondok Pesantren Fadllul Wahid merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Pulau Jawa yang luar biasa dan penuh dengan berkah. Luar biasa karena meskipun sistem pembelajaran di pesantren ini masih memakai metode klasik dan konvensional, tetapi para santrinya mampu bersaing dengan pelajar-pelajar lain dari seluruh Indonesia.

Saya dapat menyimpulkan demikian karena, selama lima tahun kuliah di Yaman, saya memiliki banyak teman yang tersebar di seantero pelosok Nusantara. Mulai dari Aceh di ujung barat Indonesia, sampai Papua di kawasan timur Indonesia. Mereka datang dari lembaga pendidikan yang beragam dan, tentu saja, dengan kecakapan intelektual yang berbeda-beda pula.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Negara Yaman (1 Oktober 2009), rombongan mahasiswa Indonesia yang berangkat bersama saya berjumlah 138 orang. Dari jumlah itu, yang mampu menyelesaikan studinya dalam rentang waktu normal—maksudnya 5 tahun—hanya sekitar 70 orang. Selebihnya, yaitu separuh dari jumlah keseluruhan, bisa dibilang gagal. Atau dengan ungkapan berbeda, mereka kalah bersaing dengan yang lain. (baca: Fenomena Seleksi Alam di Universitas Al-Ahgaff)

Sementara itu, kami semua yang berasal dari pesantren ini—saya, Ahmad Wahid, Suryono, dan Ubaidillah—termasuk 70 orang yang lulus pada tahun ini. Artinya, kami mampu bersaing dengan mereka yang berasal dari pesantren-pesantren lain yang jauh lebih bergengsi seperti Lirboyo, Kediri, Jawa Timur; Al-Hikmah, Brebes, Jawa Tengah; Darul Habib, Sukabumi, Jawa Barat; Al-Kautsar Al-Akbar, Medan, Sumatera Utara; Darussalam, Martapura, Kalimantan Selatan; Madrasah Al-Khairat, Palu, Sulawesi Tengah; dan sebagainya.

Kamis, 19 Maret 2015

Nyaris Pingsan di Alun-Alun Tulungagung

Taman alun-alun Tulungagung, Jawa Timur. Foto dari sini.
Minggu pagi (15 Mar) lalu, saya berencana cuci mata menyegarkan pikiran dengan jalan-jalan ke alun-alun Tulungagung, Jawa Timur, yang berfungsi sekaligus sebagai taman kota. Udara pagi itu masih sejuk ketika saya tiba di lokasi. Meskipun begitu, suasananya sudah sangat ramai. Banyak muda mudi bercelana pendek melakukan joging bersama keluarga atau teman-temannya. Para pedagang kaki lima juga sudah hadir dan membuka lapaknya dengan tertib.

Di salah satu sudut alun-alun, terdapat sebuah jongko yang menjajakan aneka menu sarapan dan minuman hangat. Saya pun tertarik dan langsung masuk untuk memesan secangkir kopi. Sambil memandangi orang-orang bertubuh seksi yang sedang lari pagi, saya menyeruput kopi dan menyantap beberapa kudapan yang tersaji di atas meja.

Sekitar dua puluh menit kemudian, saya merasa sudah cukup. Lalu saya mengulurkan selembar uang kepada pemilik warung. Tapi entah mengapa, ketika hendak berdiri, tiba-tiba perut saya terasa mual dan ingin muntah. Tubuh saya pun lemas dan pandangan mata menjadi agak buram. Bahkan uang kembalian dari pemilik warung tidak terlihat dengan jelas dan saya terima begitu saja tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Pikiran saya waktu itu hanya satu: keluar dari warung secepat mungkin. Saya tidak mau jika membuat pengunjung warung kesal karena saya—meski tanpa sengaja—melakukan hal yang tidak senonoh di hadapan mereka. Kalaupun harus muntah, biarlah di luar saja. Sekalipun di luar juga banyak orang.

Namun, baru beberapa langkah meninggalkan tempat duduk, mendadak tenaga saya menurun drastis. Saya berjalan terhuyung-huyung di atas trotoar dan nyaris roboh. Sementara tangan saya masih menggenggam lembaran uang Rp95 ribu. Untunglah tidak sampai jatuh pingsan. Dan payahnya lagi, saya sama sekali tidak bisa melihat sekitar karena semuanya mendadak hitam seperti jelaga. Seorang ibu yang duduk di depan warung tampak heran melihat keadaan saya. “Kenapa, Mas? Pusing? Ini saya punya balsam...” suaranya putus ditelan kegelapan.

Secara refleks, saya duduk mencangkung di pinggir jalan. Seperti orang frustrasi yang sedang patah hati karena baru saja diputus pacar. Sementara sayup-sayup suara manusia yang lalu-lalang seolah mengejek kesendirian saya.

Setelah beberapa menit bertahan dengan keadaan seperti itu, perlahan tenaga saya mulai pulih. Saya pun berusaha bangkit. Dengan sisa tenaga yang menempel di badan, saya berjalan menuju Masjid Agung Al-Munawwar. Di serambi masjid itu, saya langsung merebahkan badan, memejamkan mata, serta memasukkan kedua tangan ke saku celana agar uang dan ponsel saya tetap aman. Saya pun tertidur pulas.

Senin, 16 Februari 2015

Kondisi di Yaman dan Pemberitaan Pers


Kota Lama Sana'a, Yaman. Foto: Wikipedia
Assalamualaikum. Semoga kita selalu mendapat perlindungan dan rahmat dari Allah SWT. Mohon perhatiannya sedikit menyangkut kondisi di Yaman secara umum dan Hadhramaut secara khusus.

Kawan-kawan di Ahgaff, mohon jangan menyebarkan berita yang meresahkan keluarga dan masyarakat di Indonesia. Jika berkenan, berikan penjelasan yang menyejukkan kecemasan mereka yang selama ini diberitakan di media televisi maupun media cetak.

Menurut berita yang kami dapat, bahwa kondisi Yaman sekarang ini secara umum lebih aman dan kondusif dibanding dengan kondisi sebelumnya. Adapun kekosong pemerintahan dan penguasaan [Syiah] Zaidiyah di Ibu Kota Sana'a itu tidak berpengaruh besar kepada kondisi Yaman sebab masa-masa krisis sudah lewat. Hanya saja, media memang membuat berita seolah-olah tidak aman dan tidak kondusif. Kabar juga menyebutkan, bahwa yang merasa tidak aman dan nyaman adalah mereka yang memiliki kepentingan, terlibat langsung dan menjadi target man. Sedangkan mereka yang tidak terlibat dan tidak ada kepentingan apa-apa, ya, adem ayem saja.

Yaman sudah pernah mengalami kekosongan Presiden dan Perdana Menteri selama berbulan-bulan, tapi tidak berpengaruh terhadap stabilitas keamanan bagi rakyatnya (al-hikmah yamaniyah).

Adapun pemberitaan yang menyebutkan aliran Syiah al-Hautsi yang menguasai dan mengudeta pemerintahan adalah perang media antara mereka yang punya kepentingan, makanya kita tidak usah ikut-ikutan. Ketahuilah bahwa al-Hautsi bermazhab Zaidiyah yang merupakan salah satu mazhab ahlusunah waljamaah yang mengikuti Mazhab Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin, pencetus mazhab fikih pertama dalam sejarah Islam, seperti dikatakan al-Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatiri dalam kitabnya, Syarh al-Yaqut an-Nafis. Sedangkan Sunni, sebagai lawannya, seperti yang diberitakan juga bukan Sunni seperti yang di Indonesia, melainkan Sunni Salafi. Jadi, pelajar dan mahasiswa di Hadhramaut yang mayoritas penduduknya adalah ahlusunah waljamaah (seperti di Indonesia) bermazhab Syafii tetap aman tidak ikut-ikutan dalam pertikaian mereka.

Dan, sebenarnya Yaman adalah satu-satunya negara yang bermazhab Zaidiyah dari dulu hingga sekarang. Itu terbukti dengan kanun Yaman yang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi. Sedangkan kondisi di Hadhramaut secara khusus relatif aman, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dahulu saja, saat perang antara Yaman Utara dan Yaman Selatan (sebelum bersatu), kondisi Hadhramaut tetap kondusif. Meski demikian, kita tetap waspada dan berdoa semoga tetap stabil dan kondusif.

Jika ada sesuatu menyangkut keamanan dan stabilitas keamanan kita, pihak Ahgaff pasti akan memberitahukannya kepada kita. Jadi selama Ahgaff tidak menginstruksikan apa-apa, kita tetap belajar seperti biasa dan tidak ada apa apa.

Tentang imbauan pemerintah kita dan permintaan Komisi I DPR Ahmad Zainuddin dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Minggu (15/2), tentang evakuasi warga Negara Indonesia (WNI) di Yaman, itu sebagai langkah wajar. Karena memang Yaman luput dari perhatian pemerintah, terutama yang berada di Hadhramaut. Toh kemarin-kemarin banyak yang sudah dievakuasi—dan itu adalah mereka yang berada di luar Hadhramaut yang lembaga pendidikannya punya kepentingan dan terlibat langsung (dengan Ibu Kota Sana'a).

Kami menyayangkan, kenapa pemerintah memberitakan Yaman secara umum, dan tidak secara terperinci. Padahal, dari dulu hingga sekarang, WNI yang di Hadhramaut tidak ada masalah keamanan (dan semoga seterusnya), sehingga seolah-olah keadaan Yaman secara umum, termasuk Hadhramaut, tidak aman. Padahal kenyataannya sampai sekarang aman-aman saja.

Dan jika pemerintah sungguh-sungguh mengurus kita di Hadhramaut, kita tunggu saja apa yang akan dilakukan dan menjadi keputusannya. Mohon maaf jika ada salah kata. Semoga kita dilindungi Allah SWT dan diberi kemudahan dalam menuntut ilmu. Amin. Wassalam.


* Tulisan ini disalin-rekatkan dari kiriman seorang ustaz di salah satu grup Facebook mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Ahgaff, Yaman.

Jumat, 13 Februari 2015

Sang Pencinta Kopi

Ahmad Syakir Al-Habsyi.
Demi memenuhi permintaan seorang teman dan menyenangkan hatinya, saya bersedia meluangkan waktu untuk menulis catatan singkat ini. Padahal, kalian tahu, saya paling enggan melakukan suatu hal dengan sukarela dan tidak ada untungnya bagi saya sendiri.

Permintaannya sederhana: membuat tulisan atau profil singkat tentang dirinya lalu memublikasikannya di blog ini. Mungkin, ia ingin populer di jagat maya seperti artis-artis sinetron papan atas di Indonesia.

Saya kenal dengannya sudah cukup lama, tepatnya lima tahun yang lalu saat kami menjalani tahun pertama kuliah di Universitas Al-Ahgaff, Yaman. Sejak saat itu, setiap kali bertemu, kami selalu bergurau dan mengobrol tentang apa saja. Mulai dari yang enggak begitu penting seperti kenikmatan cita rasa kopi, sampai yang sangat krusial seperti batasan-batasan materi kuliah yang akan diujikan. Sesekali kami juga membahas tentang asmara dan perjodohan.

Usianya setahun setengah lebih tua daripada saya. Meski mukanya manis dan berkulit putih, ia pencinta kopi hitam yang pahit. Dan kenangan paling mengesankan bersamanya adalah saat duduk-duduk minum kopi sambil tertawa lepas.

Pernah suatu ketika saya berkunjung ke kamar asramanya untuk suatu keperluan. Seperti biasa, ia langsung menawari kopi dan menyuruh saya memasak air. Takaran gula dan kopinya juga saya sendiri yang disuruh mengira-ngira, sesuai selera saya. Tetapi ketika kopi sudah jadi dan ia ikut minum, ia selalu protes dan mengomel, “ini kopinya kurang”, “ini terlalu manis”, “ini airnya kebanyakan”. Lo, kan tadi dia sendiri yang menyuruh saya mengira-ngira?

Akan tetapi, ada hikmah yang saya peroleh dari kecintaannya pada kopi hitam yang pahit itu.

Saya—yang memiliki kulit agak gelap seperti kopi—menjadi yakin bahwa di dunia ini pasti ada perempuan manis berkulit putih yang (akan) mencintai saya dengan setulus hati, he-he-he (maaf agak lebay). Kalian boleh saja tidak setuju, tapi ketidaksetujuan kalian tidak akan mengurangi optimisme saya tersebut. Percayalah.

Jika kalian ingin tahu teman saya yang antik itu, ia adalah Ahmad Syakir Al-Habsyi dari Palembang, Sumatera Selatan.

Minggu, 25 Januari 2015

Tulisan tentang Saya di Grup Facebook



Logo Facebook diambil dari sini.

Tanpa disadari, ternyata banyak orang yang memperhatikan aktivitas kita di dunia maya. Pun sebaliknya, tingkah laku kita sehari-hari di alam nyata ternyata ada juga yang mengamati dan bahkan dijadikannya bahan obrolan di dunia tanwujud: internet.

Adalah Mahmudin Hasibuan, teman saya dari Sumatera Utara yang sangat agresif di dunia maya, tapi sebenarnya lemah gemulai jika di dunia nyata. Beberapa waktu yang lalu ia membuat tulisan panjang tentang diri saya di grup Facebook milik teman-teman satu angkatan di Universitas Al-Ahgaff. Sebelumnya, melalui pesan pendek (SMS), ia meminta izin akan menjadikan saya sebagai trending topic di grup tersebut.

Mungkin bagi Anda tulisan itu terkesan provokatif, tapi tidak demikian bagi semua penghuni grup itu. Dan semampang tidak ada catatan “sebatas hiburan” di bagian bawah, Anda pasti puyeng menyimpulkan maksud dari tulisan itu—antara menyanjung, menyindir, mengkritik, menghina ... ah, bukankah saling “menghina” dan “dihina” sesama teman itu sudah biasa?

Baiklah, sepertinya Anda penasaran seperti apa tulisan orang Batak itu. Saya akan mengutipnya di sini secara verbatim tanpa perbaikan ejaan sedikit pun. Silakan ganti pronomina dia dengan saya.

Jumat, 02 Januari 2015

Karena Blog Ini Mulai Dikenal



Sumber gambar: teknoup.com

Sebenarnya saya ingin memakai kata terkenal, sebagai pengganti kata dikenal, pada judul kalimat di atas. Tetapi karena yang pertama memberi kesan “tinggi” dan, sebagai orang Indonesia, saya dituntut untuk mewakili sikap rendah hati dalam berbahasa, maka niat itu saya urungkan. Jika tidak, mungkin Anda langsung mengecap saya “angkuh” hanya karena membaca judul tersebut. Betul, kan? Ayo, mengaku saja!

Beberapa orang di dunia nyata yang telah membaca tulisan-tulisan enggak penting di blog ini mulai memberikan respons. Komentar mereka tidak ditulis di kolom komentar sebagaimana yang lazim dilakukan para blogger, melainkan disampaikan langsung kepada saya. Tanggapan mereka pun beragam. Ada yang mendukung dan menganjurkan untuk terus menulis—apa pun topik bahasannya. Ada juga yang malah minta secara khusus dibuatkan semacam biografi, puisi, cerita terkait dirinya, dan lain sebagainya.

Selain itu, ada juga komentar yang agak serius (biasanya datang dari golongan santri/kaum intelektual). “Menulislah sesuatu yang lebih ilmiah supaya bisa dimanfaatkan banyak orang,” kata mereka menyarankan.

Sebagai narablog amatir, saya tidak pernah menyangka jika tulisan di blog ini akan mendapat reaksi dari pembaca seperti itu. Meskipun demikian, dalam hati kecil saya juga berharap apa yang saya publikasikan selama ini bisa memberi manfaat kepada para pembaca. Saya juga menyadari bahwa menulis hal-hal yang tidak penting akan membuang-buang banyak waktu. Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah hanya tulisan berkategori ilmiah saja—khususnya tentang hukum agama—yang bisa memberi manfaat kepada orang lain?