Pages - Menu

Selasa, 16 Desember 2014

Gadis Malaysia di Pesawat Yemenia


Gambar pesawat Yemenia dari wikimedia.

Angin dingin Kota Sana’a mengelus kulit lembut saya. Jarum jam menunjukkan pukul 18.45 KSA ketika rombongan kami satu per satu keluar dari ruang tunggu menuju bus yang sudah disiapkan. Di lapangan landas pacu, seekor “burung besi” telah menanti dengan suara mesinnya yang merderu-deru.

Hari itu (Sabtu, 6 Desember 2014), saya dan 24 mahasiswa Universitas Al-Ahgaff akan melakukan perjalanan panjang menuju Tanah Air tercinta. Setelah 5 tahun lamanya belajar di Negara Yaman, kini tibalah waktunya untuk pulang ke kampung halaman.

Wajah mereka tampak semringah. Entah apa yang ada di pikiran mereka waktu itu. Yang jelas, mereka sangat gembira. Bahkan saking gembiranya, ada yang bergurau dengan berkata, “Coba cubit lengan saya! Jangan-jangan ini hanya mimpi.” Ha-ha-ha, saya tertawa dalam hati.

Tak sampai 10 menit bus yang mengantarkan kami tiba di sisi pesawat Yemenia. Kami bergegas naik ke kabin dengan menenteng barang bawaan masing-masing. Seorang pramugari menyambut di pintu masuk dengan senyuman manis yang mengembang di wajahnya. Beberapa di antaranya tampak sibuk melayani penumpang yang kebingungan mencari tempat duduk. Saya mendapat kursi dengan nomor 17K yang berada di samping jendela, tempat favorit bagi semua orang karena bisa melihat pemandangan di luar.

Setelah meletakkan tas ransel di tempat yang disediakan, saya pun langsung duduk merebahkan badan dan memandangi seisi ruangan. Di lorong sebelah, seorang teman tampak sedang berbicara dengan salah satu pramugari asal Indonesia. Entah apa yang ia bicarakan. Mungkin ia ingin mengikuti jejak Narji—pelawak bermuka pas-pasan itu—yang sukses menggaet pramugari cantik sebagai istri setelah sebelumnya berkenalan di dalam pesawat.

Hizam! Hizam!” Suara pramugari mengejutkan saya. Rupanya ia sedang mengingatkan para penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman, pertanda pesawat akan segera lepas landas.

Usai saya memakai sabuk pengaman, ternyata pesawat tidak langsung terbang. Saya mulai dihinggapi rasa bosan dan tidak nyaman, apalagi kursi yang saya duduki tidak ergonomis. Dan untuk menghilangkan rasa jenuh itu, saya mengambil ponsel dan perangkat dengar (headset) di saku lalu menyalakan pemutar musik.

Beberapa hari sebelumnya saya sengaja menyalin fail-fail MP3 ke dalam ponsel untuk menemani perjalanan saya. Dan di antara lagu-lagu itu, yang paling saya sukai dan selalu saya putar ulang adalah “Gadis Malaysia” yang dinyanyikan oleh Yus Yunus, penyanyi dangdut legendaris dari Madura. Dulu, sebelum mengenal dunia internet, saya sering kirim SMS ke penyiar radio untuk request lagu tersebut. Berikut ini lirik lengkapnya.

Kamis, 04 Desember 2014

Walimah Safar

Suasana saat acara. Foto: Rizki Ardiansyah (Wahyu).
Setelah menunggu selama dua bulan lebih dan nyaris frustrasi, akhirnya teman-teman Angkatan 15 Universitas Al-Ahgaff yang lulus tahun ini bisa pulang dengan lega setelah tiket yang ditunggu-tunggu selama ini keluar juga. Dan sebagai ungkapan rasa syukur, mereka menggelar acara walimah safar pada hari Rabu (3/12) selepas salat Isya di sutuh sakan dakhili (atap asrama).

Acara perpisahan yang diisi dengan pembacaan maulid dan selawat nabi itu berlangsung meriah. Sekitar 150 mahasiswa dari berbagai tingkatan diundang dalam acara tersebut. Meski cuaca malam itu sangat dingin dan angin berembus cukup kencang, mereka tampak antusias menghadirinya.

Dalam sambutannya sebagai wakil panitia, Syaiful Arif meminta maaf—dengan bahasa Arab—kepada seluruh hadirin karena telah merampas waktu belajar dan ibadahnya. “Sengaja saya menyampaikan dalam bahasa Arab karena yang hadir di sini dari berbagai negara, seperti Arab, Afrika, dan Pakistan,” kata pria yang akrab disapa ‘Paul’ itu.

“Tapi saya tidak akan lama-lama; sebentar lagi Ustaz Hamzah Iklil akan memberi sambutan dalam bahasa Indonesia. Karena bagaimanapun, kita yang akan berdakwah di tanah air harus membiasakan diri berbahasa Indonesia,” lanjutnya sedikit berkelakar.

Usai Syaiful Arif memberi sambutan, Hamzah pun tampil. Ia menyatakan perasaan yang dialami kawan-kawannya saat ini. “Kami gembira karena sebentar lagi ketemu dengan orang-orang tercinta. Tapi di saat yang bersamaan kami juga sedih karena harus pergi meninggalkan Tarim yang penuh dengan orang-orang saleh,” ujar pria berkacamata yang murah senyum ini.

“Saya berharap, setelah sampai Indonesia nanti masih ada tawashul (kontak) di antara kita. Karena bagaimanapun, kita ini masih satu almamater,” tuturnya.

Jika tidak ada halangan, musafirin itu akan meninggalkan Tarim menuju Seiyun pada Kamis siang. Dari Bandara Seiyun, mereka langsung bertolak menuju Sana’a (ibu kota Yaman) dan transit di sana selama dua hari. Penerbangan berikutnya terjadwal hari Sabtu, 6 Desember 2014 pukul 19.20 KSA dan, jika sesuai jadwal, mereka akan tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada hari Minggu, 7 Desember 2014 pukul 13.00 WIB.

Senin, 01 Desember 2014

Semua Akan (P)indah pada Waktunya

Antrean mahasiswa Al-Ahgaff di depan pintu gerbang
seusai salat Jumat. Foto: Adnan Widodo.
Meski sudah pernah saya jelaskan panjang lebar, masih saja ada yang bertanya kapan saya pulang ke Indonesia. Barangkali mereka belum membaca penjelasan ini dengan saksama. Mungkin juga mereka masa bodoh dan tak mau tahu tentang hal itu. Hmm ... ya, sudahlah.

“Ahli Tarim masih menginginkan kau tinggal di sini,” kata Muhammad Subli, teman sekamar saya dari Sulawesi, menghibur.

Boleh jadi omongan anak Bugis itu ada benarnya juga; saya masih harus menetap dulu di Tarim untuk beberapa hari ke depan. Banyak hal yang belum saya peroleh dari Bumi Para Wali yang penuh berkah ini—dan, bukan tidak mungkin, suatu hari nanti setelah sampai di Indonesia saya akan menyesal karenanya.

Tarim, seperti sudah diketahui banyak orang, adalah gudangnya ilmu sekaligus tempat bersemayam para ulama dan aulia. Lokasinya di Lembah Hadhramaut yang sunyi dan jauh dari hiruk-pikuk perkotaan membuat siapa pun yang menempatinya merasakan ketenangan yang tiada tara. Tak heran, karena suasananya yang kondusif itulah, Tarim menjadi destinasi favorit bagi para penuntut ilmu dari pelbagai negara.

Banyak orang memercayai bahwa mereka yang bisa berziarah ke Hadhramaut—khususnya Tarim—telah mendapat semacam panggilan mistis dari Tuhan. Di lain pihak, ada juga yang agak pesimis mengatakan, “Orang yang banyak dosa tidak berhak menginjakkan kakinya di bumi Tarim.” Untuk yang terakhir ini saya pribadi kurang setuju. Buktinya saya sendiri bisa datang ke tempat ini dan, barangkali, keterlambatan saya pulang ke Tanah Air akibat banyaknya dosa yang telah saya lakukan.