Pages - Menu

Senin, 16 Februari 2015

Kondisi di Yaman dan Pemberitaan Pers


Kota Lama Sana'a, Yaman. Foto: Wikipedia
Assalamualaikum. Semoga kita selalu mendapat perlindungan dan rahmat dari Allah SWT. Mohon perhatiannya sedikit menyangkut kondisi di Yaman secara umum dan Hadhramaut secara khusus.

Kawan-kawan di Ahgaff, mohon jangan menyebarkan berita yang meresahkan keluarga dan masyarakat di Indonesia. Jika berkenan, berikan penjelasan yang menyejukkan kecemasan mereka yang selama ini diberitakan di media televisi maupun media cetak.

Menurut berita yang kami dapat, bahwa kondisi Yaman sekarang ini secara umum lebih aman dan kondusif dibanding dengan kondisi sebelumnya. Adapun kekosong pemerintahan dan penguasaan [Syiah] Zaidiyah di Ibu Kota Sana'a itu tidak berpengaruh besar kepada kondisi Yaman sebab masa-masa krisis sudah lewat. Hanya saja, media memang membuat berita seolah-olah tidak aman dan tidak kondusif. Kabar juga menyebutkan, bahwa yang merasa tidak aman dan nyaman adalah mereka yang memiliki kepentingan, terlibat langsung dan menjadi target man. Sedangkan mereka yang tidak terlibat dan tidak ada kepentingan apa-apa, ya, adem ayem saja.

Yaman sudah pernah mengalami kekosongan Presiden dan Perdana Menteri selama berbulan-bulan, tapi tidak berpengaruh terhadap stabilitas keamanan bagi rakyatnya (al-hikmah yamaniyah).

Adapun pemberitaan yang menyebutkan aliran Syiah al-Hautsi yang menguasai dan mengudeta pemerintahan adalah perang media antara mereka yang punya kepentingan, makanya kita tidak usah ikut-ikutan. Ketahuilah bahwa al-Hautsi bermazhab Zaidiyah yang merupakan salah satu mazhab ahlusunah waljamaah yang mengikuti Mazhab Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin, pencetus mazhab fikih pertama dalam sejarah Islam, seperti dikatakan al-Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatiri dalam kitabnya, Syarh al-Yaqut an-Nafis. Sedangkan Sunni, sebagai lawannya, seperti yang diberitakan juga bukan Sunni seperti yang di Indonesia, melainkan Sunni Salafi. Jadi, pelajar dan mahasiswa di Hadhramaut yang mayoritas penduduknya adalah ahlusunah waljamaah (seperti di Indonesia) bermazhab Syafii tetap aman tidak ikut-ikutan dalam pertikaian mereka.

Dan, sebenarnya Yaman adalah satu-satunya negara yang bermazhab Zaidiyah dari dulu hingga sekarang. Itu terbukti dengan kanun Yaman yang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi. Sedangkan kondisi di Hadhramaut secara khusus relatif aman, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dahulu saja, saat perang antara Yaman Utara dan Yaman Selatan (sebelum bersatu), kondisi Hadhramaut tetap kondusif. Meski demikian, kita tetap waspada dan berdoa semoga tetap stabil dan kondusif.

Jika ada sesuatu menyangkut keamanan dan stabilitas keamanan kita, pihak Ahgaff pasti akan memberitahukannya kepada kita. Jadi selama Ahgaff tidak menginstruksikan apa-apa, kita tetap belajar seperti biasa dan tidak ada apa apa.

Tentang imbauan pemerintah kita dan permintaan Komisi I DPR Ahmad Zainuddin dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Minggu (15/2), tentang evakuasi warga Negara Indonesia (WNI) di Yaman, itu sebagai langkah wajar. Karena memang Yaman luput dari perhatian pemerintah, terutama yang berada di Hadhramaut. Toh kemarin-kemarin banyak yang sudah dievakuasi—dan itu adalah mereka yang berada di luar Hadhramaut yang lembaga pendidikannya punya kepentingan dan terlibat langsung (dengan Ibu Kota Sana'a).

Kami menyayangkan, kenapa pemerintah memberitakan Yaman secara umum, dan tidak secara terperinci. Padahal, dari dulu hingga sekarang, WNI yang di Hadhramaut tidak ada masalah keamanan (dan semoga seterusnya), sehingga seolah-olah keadaan Yaman secara umum, termasuk Hadhramaut, tidak aman. Padahal kenyataannya sampai sekarang aman-aman saja.

Dan jika pemerintah sungguh-sungguh mengurus kita di Hadhramaut, kita tunggu saja apa yang akan dilakukan dan menjadi keputusannya. Mohon maaf jika ada salah kata. Semoga kita dilindungi Allah SWT dan diberi kemudahan dalam menuntut ilmu. Amin. Wassalam.


* Tulisan ini disalin-rekatkan dari kiriman seorang ustaz di salah satu grup Facebook mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Ahgaff, Yaman.

Jumat, 13 Februari 2015

Sang Pencinta Kopi

Ahmad Syakir Al-Habsyi.
Demi memenuhi permintaan seorang teman dan menyenangkan hatinya, saya bersedia meluangkan waktu untuk menulis catatan singkat ini. Padahal, kalian tahu, saya paling enggan melakukan suatu hal dengan sukarela dan tidak ada untungnya bagi saya sendiri.

Permintaannya sederhana: membuat tulisan atau profil singkat tentang dirinya lalu memublikasikannya di blog ini. Mungkin, ia ingin populer di jagat maya seperti artis-artis sinetron papan atas di Indonesia.

Saya kenal dengannya sudah cukup lama, tepatnya lima tahun yang lalu saat kami menjalani tahun pertama kuliah di Universitas Al-Ahgaff, Yaman. Sejak saat itu, setiap kali bertemu, kami selalu bergurau dan mengobrol tentang apa saja. Mulai dari yang enggak begitu penting seperti kenikmatan cita rasa kopi, sampai yang sangat krusial seperti batasan-batasan materi kuliah yang akan diujikan. Sesekali kami juga membahas tentang asmara dan perjodohan.

Usianya setahun setengah lebih tua daripada saya. Meski mukanya manis dan berkulit putih, ia pencinta kopi hitam yang pahit. Dan kenangan paling mengesankan bersamanya adalah saat duduk-duduk minum kopi sambil tertawa lepas.

Pernah suatu ketika saya berkunjung ke kamar asramanya untuk suatu keperluan. Seperti biasa, ia langsung menawari kopi dan menyuruh saya memasak air. Takaran gula dan kopinya juga saya sendiri yang disuruh mengira-ngira, sesuai selera saya. Tetapi ketika kopi sudah jadi dan ia ikut minum, ia selalu protes dan mengomel, “ini kopinya kurang”, “ini terlalu manis”, “ini airnya kebanyakan”. Lo, kan tadi dia sendiri yang menyuruh saya mengira-ngira?

Akan tetapi, ada hikmah yang saya peroleh dari kecintaannya pada kopi hitam yang pahit itu.

Saya—yang memiliki kulit agak gelap seperti kopi—menjadi yakin bahwa di dunia ini pasti ada perempuan manis berkulit putih yang (akan) mencintai saya dengan setulus hati, he-he-he (maaf agak lebay). Kalian boleh saja tidak setuju, tapi ketidaksetujuan kalian tidak akan mengurangi optimisme saya tersebut. Percayalah.

Jika kalian ingin tahu teman saya yang antik itu, ia adalah Ahmad Syakir Al-Habsyi dari Palembang, Sumatera Selatan.