Pages - Menu

Minggu, 31 Maret 2013

Pondok Pesantren Fadllul Wahid



Terletak di area pesawahan lebih persisnya tanah yang tinggi (angkruk, jawa) desa Bandungsari yang jauh dari kota ± 5 km arah barat kecamatan Ngaringan, 32 km arah timur dari kota kabupaten Grobogan. Pesantren ini berada agak jauh dari perkampungan karena memang asal mulanya bekas pesawahan yang cukup luas (7 hektar).
Secara sosial dan kultur masyarakat sekitar berasal dari masyayih, santri, pelajar dan petani. Heterogenitas juga dilihat dari beragamnya agama (Islam dan Kristen) yang dipeluk masyarakat sekitar pesantren. Tidak lebih dari radius 2 km terdapat 1 buah gereja dan beberapa masjid serta musholla yang berjejer-jejer. Namun demikian, bagi pemeluk Kristen jumlahnya sangat minim hanya segolongan saja. Meskipun demikian, kerukunan dan toleransi antar umat beragama terbina sangat baik sehingga tidak ada perselisihan yang berarti. Taraf ekonomi masyarakat sekitar didominasi oleh kalangan 65 % petani, 20 % pedagang, 10 % wiraswasta, dan 5 % buruh.
Organisasi Kelembagaan
Organisasi kelembagaan di pondok pesantren Fadhlul Wahid bernama yayasan "MA'ATHYH" yang mana yayasan ini dibidang sosial. Maksud dan tujuan yayasan "MA'ATHYH" tersebut adalah melaksanakan kewajiban fardlu kifayah dengan menitikberatkan pada Pengayoman Dan Perawatan Kepada Orang Lupa Ingatan (Gila) Yang Terlantar (tidak diketahui keluarganya) dan bukan bermaksud untuk penyembuhan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang yayasan "MA'ATHYH" akan dibahas pada bab berikutnya.
Kegiatan Pendidikan
Pendidikan yang diselenggarakan adalah pengajian kitab-kitab salaf mulai pagi (baik pelajaran Al-Qur'an maupun kitab kuning) sampai malam (jam musyawaroh). Kurikulum yang diterapkan adalah murni kurikulum pesantren yang mengacu pada pemahaman kitab-kitab salafiyyah. System pendidikan/pengajian kitab kuning (sorogan, setoran makna, dll) yang mengarah pada pendalaman materi dan wawasan ilmu agama/'ulumuddin dengan pendekatan metode efektif-efesien dan pengajaran klasikal (salafiyyah) serta bahtsul masa'il (baik bahtsul masa'il sughro, wustho, maupun kubro). Pada dimensi pragmatis diajarkan computer (yang diharuskan pada tingkatan kelas Funun) yang mengacu pada santri untuk bisa mentahrij hadis-hadis (mulai dari riwayat hadis, biografi para shohabat, mencari ibaroh-ibaroh kitab kuning, dan lain sebagainya). Kegiatan ekstra yang tersedia meliputi beladiri PORSIGAL, sepakbola, computer, berkebun.
Sarana Dan Prasarana
Aset, sarana dan prasarana yang dimiliki yaitu : 1 buah aula, 1 unit gedung madarasah ashshochu, 1 unit gedung TK Al-Kuttab, 1 unit gedung pesantren putra, 1 unit gedung pesantren putri, 1 ruang perpustakaan dan ruang computer. Sarana olahraga yang dimiliki adalah sepakbola.
Sumber Dana
Dana pondok pesantren bersumber utama dari iuran syahriyyah dari santri setiap bulan dan penjualan kitab-kitab atau hasil karya para santri sendiri seperti makalah-makalah, hasil musyawarah, dan lain-lain. Disamping itu juga sumbangan dari wali santri, santri thoriqoh dan lembaga-lembaga lain yang tidak mengikat.
Demikian sekelumit profil pondok pesantren Fadhlul Wahid desa Bandungsari kecamatan Ngaringan kabupaten Grobogan propinsi Jawa Tengah dipaparkan, Semoga ada manfaatnya bagi pondok pesantren pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Kamis, 21 Maret 2013

Sensitivitas Cahaya Fajar


Beberapa hari yang lalu, saya mendapat pesan singkat (SMS) dari salah seorang teman lama yang dulu satu almamater  dengan saya. Tidak seperti biasanya, teman yang satu ini jarang sekali menyapa, walau hanya sekadar kirim kabar. Akhirnya saya sambut baik dengan mengirim pesan balasan kepadanya. Pesan berikutnya yang dikirim berupa keluhan tentang maraknya virus wahabisme yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.

Salah satu di antaranya, kelompok radikal itu menggugat Departemen Agama RI yang memakai pedoman -20° dalam menentukan awal waktu Subuh. Teman saya juga minta tolong untuk dijelaskan dengan rinci mengenai hal ini dan mengapa ada perbedaan mendapat. Bukankah semua fukaha sepakat bahwa waktu Subuh dimulai saat munculnya fajar sidik? Lalu apakah dianggap sah penggunaan teleskop sebagai media untuk mengamati munculnya cahaya tersebut? Dan apa bedanya rukyah fajar dengan rukyatulhilal?

Sebelumnya saya jelaskan bahwa, bumi yang kita injak ini pada dasarnya berbentuk bulat. Lintasan matahari yang mengelilingi bumi sehari-semalam juga diibaratkan sebuah lingkaran. Berjarak 90 derajat (seperempat bumi) dari tempat yang kita injak ke arah timur/barat dinamakan ufuk hakiki. Dari titik lintasan matahari yang berhadapan dengan ufuk hakiki itulah muncul istilah sudut ketinggian matahari. Artinya, sudut -20° adalah posisi matahari berada dua puluh derajat di bawah ufuk hakiki.

Semua ahli hukum Islam sepakat bahwa waktu Subuh dimulai saat fajar sidik menyingsing. Fajar sidik adalah cahaya yang membentang luas secara horizontal di kaki langit sebelah timur. Cahaya ini, menurut astronom, merupakan hasil pembiasan cahaya matahari dari debu-debu yang bertebaran di angkasa. Dalam Alquran, cahaya fajar diilustrasikan sebagai "benang putih"--suatu benda yang sangat "sensitif", apalagi jika berada di tengah kegelapan malam.

Selanjutnya, para astronom melakukan observasi lapangan secara terus menerus untuk mengetahui sudut ketinggian matahari saat awal munculnya cahaya tersebut. Dari hasil pengamatan itu, mereka saling beda pendapat. Hal itu wajar karena perbedaan tempat, waktu, dan temperatur udara di mana mereka berada sangat memengaruhi pandangan mata.

Di Semenanjung Arabia, misalnya, standar yang digunakan adalah -19°; Afrika, Syiria dan Malaysia memakai -19.5°; sementara dataran Eropa, Pakistan ,dan India memakai -18°. Bahkan di Kanada dan Komunitas Muslim Amerika Utara--pada musim tertentu-- memakai standar -15°. Di Indonesia sendiri (dalam hal ini diwakili oleh Depag RI), standar yang digunakan adalah -20°. Perbedaan itu semua belum memasukkan daerah ekstrem di lingkar kutub utara/selatan.

Sebagian ahli hisab mengkritik pedoman yang dipakai Depag tersebut, karena waktu Subuh yang dihasilkan dinilai masih malam. Tentunya Depag sendiri tidak serampangan dalam hal ini. Bisa jadi, penetapan sudut -20° dikarenakan kondisi geografis Indonesia yang beriklim tropis sehingga tingkat kelembaban udaranya sangat tinggi. Ditambah dengan kepekaan mata seseorang jika melihat suatu benda dari gelap menuju terang.

Langkah bijaksana dilakukan oleh Lembaga Hisab Falak (LHF) PP Fadllul Wahid, Bandungsari, Grobogan, yang dibimbing oleh H. Ilya Asyhari Nawawi. Dalam membuat jadwal sehari-hari mereka menggunakan sudut -19° untuk waktu Subuh dan khusus untuk bulan Ramadan memakai -20° sebagai bentuk kehati-hatian dalam melakukan ibadah puasa. Sebab, jika waktu Subuhnya lebih awal tentu waktu imsaknya juga ikut.

Menanggapi pertanyaan teman saya selanjutnya: bolehkan mengamati fajar shodiq dengan bantuan alat teleskop? Mestinya, untuk melihat (cahaya) fajar sidik tidak memerlukan bantuan teleskop seperti halnya rukyatulhilal. Karena obyek yang akan dilihat tidak membutuhkan pembibikan atau data perhitungan (hisab) dan mereka (astronom) melakukan pengamatan terhadap cahaya itu sekadar untuk mengetahui berapa besar sudut mataharinya, bukan menetapkan awal waktu Subuh.

Berbeda dengan aktivitas rukyatulhilal, di mana obyek (hilal) yang dicari sangat sulit untuk dilihat dan hasilnya langsung dijadikan penetapan awal bulan qamariyah.

Dalam literatur kitab fikih klasik dijelaskan, seorang yang mempunyai pandangan tajam, hasil pengamatannya bisa diterima. Sedangkan jika melihatnya melalui perantara alat semacam cermin tidak dianggap sah.

Dari keterangan itu bisa dianalogikan, jika penggunaan teleskop hanya sekadar untuk membidik dan memperjelas obyek yang dilihat maka bisa diterima, namun jika teleskop tersebut sampai memberikan efek pantulan, maka tidak sah.

Wallâhu A'lam

Minggu, 03 Maret 2013

Analisis Motif Tidak Diwajibkannya Zakat Pegawai dan Pekerja


Akhir-akhir ini banyak orang yang membahas masalah pegawai dan profesi-profesi lain yang penghasilannya relatif lebih besar dari petani yang telah terbebani zakat.
Menurut hemat kami, motif wajib dan tidaknya zakat bagi pekerja, termasuk juga pegawai (dalam mazhab Syafi'i) dapat ditinjau melalui benar dan tidaknya masalah tersebut dikategorikan sebagai tijarah. Bertolak dari hal ini, tentu lebih relevan apabila masalah ini kita telaah melalui tijarah.
Tijarah adalah penukaran mal (harta) baik berbentuk fisik (ain) atau jasa (manfaat) yang dimiliki seseorang dengan tujuan akan ditukar kembali (dijual atau disewakan). Tujuan tersebut didasari oleh keinginan untuk mengembangkan harta atau mencari keuntungan.
Selanjutnya, awal penukaran yang kemudian dapat menghasilkan harta dagangan biasanya disebut kulak. Kemudian hasil dari kulak tersebut kemungkinan langsung dijual kembali dengan tanpa diproses oleh, atau melalui proses olah terlebih dahulu seperti pabrik, warung dan lain-lain.
Proses kulak harus ada tukar atau ganti. Artinya harta (baik ain atau manfaat) yang dimiliki ditukar dengan harta milik orang lain. Dari sini dapat dimengerti bahwa penghasilan atau kepemilikan barang yang tidak melalui proses tukar tidak dapat disebut kulak, seperti hasil sawah, hasil pencarian ikan, warisan hibah dan lain-lain. Dengan demikian, hasil penangkapan ikan dari laut (misalnya) tidak wajib dizakati. Namun bukan berarti setiap bentuk tukar menukar dapat disebut kulak, karena banyak orang yang menukar hartanya tapi tidak ada tujuan akan dijual kembali, misalnya akan digunakan untuk keperluan sendiri. Dan hal tersebut secara istilah, lazim kita sebut dengan pembelian biasa bukan kulak.
Jika ada seseorang yang bentuk usahanya menyewakan bus dan selanjutnya bus akan disewakan kembali, maka usaha menyewa bus tersebut disebut kulak. Sedangkan menyewakannya kembali adalah sama seperti menjual barang. Hal ini sama juga seperti mengontrak rumah yang akan dikontrakkan kembali, atau mengontrak tenaga kerja untuk dikontrakkan kembali. Begitu juga orang yang mempunyai bus, hotel dan lain-lain yang kemudian disewakan, ini semua disebut kulak apabila hasilnya tidak langsung dimanfaatkan sendiri, namun akan dijual (ditukar kembali) dengan tujuan ingin mendapat keuntungan. Sebaliknya, hal ini tidak disebut kulak jika hasilnya langsung dimanfaatkan sendiri. Artinya, hasilnya tidak dikembangkan lagi melalui penjualan (tukar).

Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah orang yang mempunyai manfaat, baik keterampilan atau kemampuan fisik. Dengan begitu tenaga kerja tidak berbeda jauh dengan orang yang mempunyai hotel, rumah, bus dan lain-lain. Artinya, jika saat melakukan transaksi atau kontrak ada niat kulak, yang berarti modalnya akan dikembangkan lagi menjadi harta dagangan, maka hal tersebut juga dikategorikan sebagai tijarah. Begitu juga sebaliknya.
Selanjutnya menurut persepsi kami, hampir tidak ada pekerja yang wajib zakat, sebab hampir bisa dipastikan jarang sekali atau bahkan tidak ada pekerja yang mempunyai niat kulak dengan tenaganya.
                                                                      
Pegawai Negeri
Status pegawai negeri adalah sama dengan pekerja biasa, begitu juga dalam status hukumnya. Akan tetapi terdapat beberapa problema (isykal) apabila pegawai negeri dianggap sebagai ajir (pekerja), tentunya sebagai ajir yang mu'ayyan (bukan fi dzimmah).konsekwensi hukumnya, pegawai negeri tidak boleh menerima job (pekerjaan) lain meskipun tidak mengganggu pekerjaannya, dan dia juga tidak dapat menerima bayaran dari hasil pekerjaan lain tersebut.
Dengan demikian, lebih relevannya apabila pegawai negeri distatuskan sama dengan al-junud al-murshidah lil qital yang mendapat bayaran dari bagian harta fai', termasuk juga anak yatim, dzawil qurba dan lain-lain, yang cara pendapatan harta semua itu tidak melalui ijaroh. Artinya tidak sekadar tukar menukar, sebab faktanya pegawai negeri tetap mendapat bayaran meskipun absen kerja.
Apabila kita dapat menerima uraian di atas, tentu kita dapat memberi kesimpulan hukum bahwa pegawai negeri tidak wajib zakat.

* Disadur dari buku Fikih Kemasyarakatan.

Sumber foto :  Google Images