Pages - Menu

Rabu, 24 September 2014

Kapan Pulang?

Suatu sore di lembah Hadhramaut, Yaman.
Foto: Abdullah Reza Aljufri.
Entah sudah berapa kali pertanyaan itu mampir di telinga saya. Baik dari kawan lama, kerabat, anak tetangga, maupun teman-teman “Santri Garuda” di Universitas Al-Afgaff, Hadhramaut, Yaman. Pertanyaan basa-basi semacam itu, yang sering saya dengar setahun terakhir ini, belakangan membuat saya kurang nyaman dan nyaris frustrasi karena mengarah ke pertanyaan lain.

Yang lain sudah pada pulang, kenapa kamu belum?

Beberapa teman satu angkatan memang sudah pulang ke Tanah Air, malahan di antara mereka—seperti Faqih Ahmad dan Saifullah Sya’ir—sudah asyik berlebaran di rumah bersama keluarga. Ada juga yang sedang dalam proses kepulangan; ada juga yang belum bisa memastikan waktu mudik secara tepat.

Saya pikir siapa pun pengin cepat-cepat pulang ke Indonesia, terutama mereka yang sudah bertahun-tahun tinggal di Yaman. Apalagi jika melihat kondisi politik dalam negeri saat ini yang masih belum stabil; berbagai aksi unjuk rasa dan serangan kelompok separatis, misalnya, masih berlangsung di beberapa tempat. Bahkan kawan saya yang pulang belum lama ini terpaksa singgah berhari-hari di ibu kota Sana’a karena jalan menuju bandara ditutup oleh para demonstran.

Ada beberapa alasan mengapa kami masih tetap di sini, setidaknya untuk beberapa minggu ke depan. Sebagian besar karena ingin menunaikan ibadah haji terlebih dahulu, mumpung masih di Negara Yaman—mengingat sulitnya berangkat haji dari Indonesia yang harus menunggu selama 7 sampai 10 tahun. Di samping itu, sebagian yang lain juga masih menjalani ujian remedi (daur tsani) serta belum menuntaskan hafalan Alquran 10 juz sebagai syarat pengambilan ijazah.

Selain tiga faktor tersebut, faktor ekonomi—seperti yang dipermasalahkan pasangan yang ingin segera menikah—juga menjadi kendala utama. Sekadar informasi, semua mahasiswa Al-Ahgaff asal Indonesia mempunyai simpanan uang sebesar $500 yang dititipkan kepada pihak kuliah untuk dibelikan tiket pesawat. Sayangnya, dana tersebut belum bisa cair dalam waktu dekat ini dan, kabarnya, baru bisa diambil setelah liburan Iduladha nanti. Walhasil, mereka yang nekat pulang lebih awal terpaksa harus membeli tiket dengan uangnya sendiri. Tentu saja tidak semua mahasiswa punya duit sebanyak itu.

Sampai tulisan ini diterbitkan, saya sendiri belum bisa memastikan waktu kepulangan secara tepat. Bukan karena saya betah tinggal lama-lama di sini, tetapi karena pelbagai alasan yang telah saya sebutkan itu.

Semoga penjelasan di atas bisa dipahami dan jika masih ada yang penasaran perlu dipertanyakan lagi, silakan tulis di kolom komentar.

Selasa, 16 September 2014

Nomenklatur Hari (Minggu)

Gambar diambil dari sini.
Alkisah, seorang ustaz di sebuah pesantren melarang murid-muridnya mengucapkan kata Minggu, alih-alih Ahad, untuk menyatakan nama hari pertama dalam jangka waktu satu pekan. Tidak diketahui secara pasti apa motif di balik pelarangan tersebut. Tapi seperti yang bisa kita duga, barangkali hal itu karena Ahad dirasa lebih islami ketimbang Minggu yang terkesan formal. Mungkin juga ada alasan lain yang saya tidak tahu.

Merasa penasaran dengan asal usul dua kata tersebut, saya pun melakukan studi kecil-kecilan dengan bantuan mesin penelusur Google dan saya menemukan beberapa penjelasan menarik di sana, baik dari segi etimologi maupun sosiolinguistik.

Ahad diserap langsung dari bahasa Arab dengan menghilangkan partikel al-. Dalam bahasa Arab, ahad berarti satu dan karena itulah ia kemudian dijadikan sebagai hari pertama dalam jangka satu pekan (KBBI). Meskipun begitu, ada juga negara-negara Islam yang menjadikan Ahad sebagai hari kedua setelah Sabtu.

Penamaan hari Ahad—dan juga hari-hari yang lain—sebenarnya sudah dikenal oleh bangsa Arab sebelum Islam datang. Setelah Islam diturunkan, kata Ahad menjadi sangat populer berkat Sahabat Bilal bin Rabah, seorang budak berkulit hitam sekaligus muazin di masa Rasulullah.

Dikisahkan dalam buku-buku tarikh, Bilal pernah disiksa majikannya dengan cara ditindih batu besar lantaran keteguhan hatinya memeluk agama Islam; ia dibiarkan terkapar di bawah terik matahari yang panas menyengat. Dalam kondisinya yang memilukan seperti itu, yang terucap dari mulutnya hanyalah “Ahad... Ahad... Ahad....” Tentu bukan nama hari yang Bilal maksud, melainkan Zat Yang Maha Esa: Allah.

Mungkin karena faktor inilah, Ahad mendapat perlakuan istimewa di kalangan sebagian umat Islam yang kurang puas dengan Minggu.

Sedangkan Minggu, menurut beberapa artikel yang saya baca diambil dari bahasa Portugis, Domingo. Dalam bahasa Melayu yang lebih awal, kata ini dieja menjadi Dominggu. Baru sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kata ini dieja sebagai MingguVersi lain mengatakan bahwa kata Minggu berasal dari Domingo, nama seorang pastor yang dahulu pernah menyebarkan ajaran Nasrani di bumi Nusantara.

Lebih jauh lagi, Domingo dalam bahasa Portugis tersebut konon diserap dari bahasa Latin dominus yang berarti Tuhan. Ini berdasarkan kepercayaan orang-orang Nasrani bahwa pada hari itu YesusTuhan menurut mereka; Nabi Isa menurut kita—telah dibangkitkan.

Terlepas dari benar-tidaknya penjelasan di atas, mari kita berpikir secara arif dan logis. Apakah mereka yang konsisten mengucapkan Ahad—tanpa adanya impuls atau kesadaran dari dalam hati—keislamannya menjadi lebih baik? Dan sebaliknya, mereka yang senantiasa melafalkan Minggu apakah berarti keislamannya patut diragukan?

Bahwa kini tampaknya kata Minggu lebih populer dan menjadi satu-satunya nama hari yang bukan berasal dari kata bahasa Arab, kiranya adalah sekadar pilihan penutur bahasa. Tidak perlu terlalu dipersoalkan karena moto negara kita adalah Bhinneka Tunggal Ika, toh?

Selasa, 09 September 2014

Ditahan Imbang di Laga Perpisahan

Skuat Angkatan 15 berpose sebelum bertanding.
Foto: Tajuddin Mu'zi.
Hari-hari menjelang kepulangan ke Tanah Air rasanya sayang sekali jika dilewatkan tanpa diisi dengan sebuah aktivitas, sekalipun itu sekadar hiburan atau main-main. Oleh karena itu, pada Minggu sore (7/9) lalu teman-teman Angkatan 15 Universitas Al-Ahgaff mengadakan pertandingan sepak bola persahabatan melawan tim Angkatan 19 yang baru datang dari Kota Mukalla.

Sebagai kampiun dalam kejuaraan antarkelas selama dua tahun terakhir, Angkatan 15 tentu ingin menunjukkan kedigdayaannya dan berambisi mengakhiri pertandingan kali ini dengan hasil manis, apalagi tim yang dihadapinya masih minim pengalaman. Tak hanya kemenangan yang ditarget, mereka juga ingin mencetak gol sebanyak mungkin.

Akan tetapi, hasil akhir di lapangan sering kali di luar jangkauan nalar manusia. Alih-alih memenangi pertandingan, Angkatan 15 justru ditahan imbang 1-1.

Pertandingan dimulai ketika wasit asal Jawa Timur, Fathurrahman, meniup peluit panjang. Angkatan 15 langsung mengambil kendali permainan sejak menit-menit pertama. Sementara Angkatan 19 lebih banyak menunggu dan mengandalkan serangan balik.

Belum genap 5 menit pertandingan berjalan, gelandang serang Angkatan 15 Suryono dijatuhkan oleh pemain lawan. Tendangan bebas diambil sendiri oleh pemain asal Purwodadi tersebut. Tanpa diduga, bola hasil tendangannya langsung meluncur ke gawang dan tak mampu dihalau oleh kiper. Skor 1-0 untuk keunggulan Angkatan 15 bertahan sampai turun minum.

Pada babak kedua Angkatan 15 melakukan pergantian beberapa pemain sekaligus: Ahmad Muhlisin, Iskandar, dan Muhammad masuk menggantikan Taufiq, Ahmad Najib, dan Musyaffa. Sementara Angkatan 19 memasukkan sejumlah pemain penyerang untuk mencoba mengejar ketinggalannya.

Hingga pertengahan babak kedua, Angkatan 15 masih mendominasi jalannya pertandingan. Kolaborasi apik antara Suryono, Musthofa, dan Saifullah berkali-kali menghasilkan peluang emas. Sayangnya, serangan yang mereka bangun selalu kandas di tangan kiper lawan yang bermain sangat gemilang.

Petaka bagi Angkatan 15 terjadi pada menit-menit terakhir. Berawal dari lemparan ke dalam dari sisi kiri, Yuslan melakukan tendangan melambung yang menukik tepat di pojok gawang. Saiful Badri yang sebelumnya melakukan beberapa aksi penyelamatan kali ini tak mampu mengjangkau bola yang melintas tepat di atasnya. Walhasil, bola masuk ke gawang dan skor 1-1 bertahan hingga pertandingan usai.

Senin, 01 September 2014

Fenomena Seleksi Alam di Universitas Al-Ahgaff (Angkatan 15 sebagai Contoh)



Fenomena Seleksi Alam di kampus Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Ahgaff Tarim Hadhramaut Yaman
Gedung Fakultas Syariat dan Hukum Universitas Al-Ahgaff
di Kota Tarim, Provinsi Hadhramaut, Republik Yaman.
Dalam kajian Ilmu Pengetahuan Alam tentang biologi, ada sebuah teori yang dikenal dengan sebutan natural selections (seleksi alam). Teori ini merupakan bagian dari teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Robert Darwin, seorang ahli biologi kelahiran Inggris yang hidup di awal abad 19 Masehi. Meskipun pada akhirnya, teori ini terbukti gagal secara ilmiah dan telah resmi dihapus dari kurikulum pendidikan nasional.

Konsep dari teori ini adalah, bahwa setiap makhluk hidup, baik hewan maupun tumbuhan, yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya lama kelamaan akan binasa dan mengalami kepunahan. Yang tersisa hanyalah mereka yang mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Dan sesama makhluk hidup akan saling bersaing untuk mempertahankan hidupnya: yang kuat akan tetap bertahan, sedangkan yang lemah akan tersingkirkan.

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa alam seolah-olah melakukan seleksi terhadap makhluk hidup yang ada di dalamnya. Sebagai contoh, seekor ikan betina mampu memproduksi butiran telur hingga mencapai jumlah ratusan bahkan ribuan. Adalah fakta bahwa jumlah sebanyak itu, secara alamiah tidak akan pernah menetas semua. Seandainya itu benar-benar terjadi, maka air laut yang begitu luas akan penuh sesak dijejali oleh ikan-ikan.

Untuk menanggulangi overpopulasi seperti itu, alam, melalui kekuatannya yang tak terduga, menyeleksi ikan mana saja yang harus dimusnahkan dan ikan mana yang berhak untuk terus hidup. Dimulai ketika masih dalam wujud telur atau embrio. Butiran-butiran telur itu akan mengalami benturan antara satu dengan yang lainnya, sehingga yang lemah akan pecah dan yang kuat akan tetap utuh. Boleh jadi, sebagaian telur itu musnah karena dimakan oleh induknya sendiri.

Tidak berhenti sampai di situ. Setelah telur-telur itu menetas, ancaman datang dari predator lain. Anak ikan yang tidak mewaspadai bahaya di sekitarnya juga terancam dimangsa ikan yang lebih besar. Begitu juga, ketidakmampuannya membaca gejala perubahan alam di sekitarnya, seperti pasang surut air laut, akan membuat nyawanya terancam.

Jika diperhatikan dengan saksama, ada kemiripan antara hikayat ikan (fenomena alam) di atas dan realitas kehidupan yang terjadi di kampus Fakultas Syariat dan Hukum Universitas Al-Ahgaff, Hadhramaut, Republik Yaman. Walaupun sudah ada penyaringan ekstra ketat ketika masih di Indonesia, kenyataannya para mahasiswa yang tidak mampu beradaptasi dengan keadaan lingkungan (dalam arti kata yang seluas-luasnya) di Hadhramaut dan kalah dalam kompetisi belajar, dengan sendirinya akan tersisihkan. Masih untung jika hanya mengulang satu-dua tahun. Banyak juga dari mereka yang, karena pelbagai macam alasan, secara otomatis langsung tersingkir dari lingkungan kampus.