Pages - Menu

Sabtu, 24 Agustus 2013

Standar Regulasi Akademik di Universitas Al-Ahgaff



Regulasi Akademik di Universitas Al-Ahgaff Yaman
Selalu muncul suatu kebingungan manakala petugas dari qism tasjil (bagian Tata Usaha/Registrasi) mengeluarkan pengumuman yang memuat tentang data-data numerik, baik terkait indisipliner para mahasiswa maupun nilai-nilai ujian. Kebingungan itu, tidak hanya dialami oleh para mahasiswa yang masih baru, tapi juga mereka yang sudah bertahun-tahun belajar di Universitas Al-Ahgaff. "Kenapa saya tidak bisa ikut ujian akhir semester, padahal baru absen kuliah beberapa kali saja?" "Teman saya rosib (gagal) dalam empat mata pelajaran sekaligus, tapi masih bisa mengikuti daur tsani (ujian remedi). Sedangkan saya cuma rosib tiga pelajaran kok langsung istinhaj (mengulang selama setahun)" kata beberapa teman yang pernah saya dengar.
Ketidaktahuan mereka tentang hal ini disebabkan minimnya informasi mengenai peraturan akademis yang diterapkan di Universitas Al-Ahgaff. Kebanyakan dari mereka hanya mengetahuinya melalui komunikasi verbal dengan kakak kelas yang belum jelas dari mana sumber aslinya. Dari beberapa teman yang saya tanya, rata-rata memberikan jawaban yang berbeda menurut versinya sendiri berdasarkan pengalaman empiris masing-masing.
Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini, saya akan berbagi informasi mengenai hal tersebut untuk menambah wawasan kita bersama. Maklumat ini saya himpun dari dua sumber terpercaya; (1) situs resmi Universitas Al-Ahgaff dan (2) rumus-rumus yang tertulis dalam salinan digital (file) yang berisi nilai-nilai mahasiswa Universitas Al-Ahgaff Duf'ah 15 (Angkatan Lima Belas). File berjenis Excel tersebut saya peroleh dari salah satu petugas di bagian Tata Usaha beberapa bulan yang lalu.

Kamis, 15 Agustus 2013

Enam Hari Setelah Lebaran



Sumber foto: Wikipedia
Satu mangkuk Indomie, empat potong roti bakhomri, bakwan, dan segelas teh susu, sebenarnya bukan porsi yang lazim bagi saya. Namun, itulah menu yang saya santap pagi tadi seusai salat Subuh di warung depan gerbang kampus Universitas Al-Ahgaff, Tarim, Yaman.

Selapan (35 hari) sebelumnya, saya tidak dapat menikmati saat-saat seperti itu dengan makan dan minum. Dua puluh sembilan hari menjalani puasa Ramadan ditambah puasa 6 hari pada bulan Syawal tentu bukan waktu yang sebentar. Maklum saja, jika saya dan sebagian teman yang menyerbu warung pagi tadi melampiaskan nafsu makannya dengan memborong dan melahap berbagai jenis makanan yang ada di sana.

Meskipun puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya sunah, penduduk Tarim dan sekitarnya menganggap puasa ini seolah-olah wajib. Hal itu dapat dilihat dari tidak adanya warung, kedai, apalagi toko yang membuka pintunya pada hari-hari tersebut. Warung-warung itu hanya buka setelah azan Magrib hingga pertengahan malam

Tidak hanya golongan habaib dan ulama saja, mereka yang berprofesi sebagai petani, pedagang, penjaga kebun, juga melakukan tradisi puasa ini.

Jika di tanah air kita akan mudah menjumpai aneka ragam makanan yang dihidangkan untuk menyambut datangnya bulan Syawal, maka di sini sangat sulit mendapatkannya, walaupun hanya sekadar mencari pengganjal perut untuk menu sarapan pagi atau makan siang.

Imbasnya, pelajar Indonesia yang tidak terbiasa dengan hal itu, terpaksa ikut menjalankan puasa Syawal selama enam hari pula. Karena pihak kampus hanya memberi jatah makan dua kali, yaitu waktu sahur dan berbuka. Selebihnya, jika ada yang tidak berpuasa, maka konsekuensinya ia harus mencari makan sendiri. Sempat terlintas dalam benak saya seperti ini, Dalam kitab-kitab fikih dijelaskan bahwa seseorang dianjurkan untuk berpuasa bilamana dalam sehari itu ia tidak menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Saya sadar, pemikiran seperti itu cukup ironis.

Sementara itu, lain ladang lain pula belalangnya. Beda daerah, beda pula tradisi masyarakat yang berlaku di dalamnya. Tiga tahun yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi kediaman salah satu mufti terkenal Syekh Yasir Ba Abbad di kota Syihr (daerah pesisir Provinsi Hadlramaut). Di daerah yang dijuluki bintu Tarim (anak perempuan Tarim) itu, suasana tidak kalah sepi dengan induk”-nya. Namun di sana tidak ada puasa 6 hari di bulan Syawal, begitu juga di Kota Mukalla, ibu kota Hadlramaut, yang menjadi tempat kampus Universitas Al-Ahgaff jenjang pertama dan strata dua (S-2).

Hari ini adalah tanggal 7 bulan Syawal, yang berarti aktivitas penduduk Kota Tarim mulai berjalan seperti sedia kala. Warung-warung yang rutin buka saat fajar juga sudah buka seperti biasa. Di lingkungan kampus Al-Ahgaff, tampak teman-teman yang akan menjalani ujian susulan juga sudah mulai belajar lagi. Dapur Abu Na'im, yang selapan terakhir sunyi seperti gudang senjata juga sudah mengepul di pagi hari.

Selamat menjalankan aktivitas anda masing-masing. Khususnya teman-teman yang ikut ujian remedi, semoga berhasil dan jangan pernah patah semangat.

Rabu, 07 Agustus 2013

“Fobia” Tim Rukyat Nahdlatul Ulama

Observasi hilal di Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang.
(Dok. Pribadi)
Salah satu kekhawatiran warga NU menjelang Lebaran kali ini adalah, jika pada waktu magrib nanti semua regu pemburu hilal yang diterjunkan oleh Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama tidak berhasil melihat hilal di berbagai titik strategis yang mereka jadikan sebagai tempat observasi.

Secara prosedural organisasi, untuk menentukan hari raya Idul Fitri, PBNU akan menggenapkan bilangan puasa menjadi 30 hari. Sebagaimana kesimpulan yang tertuang dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada tanggal 21 Oktober 1983 lalu.

Bunyi lengkap dari keputusan itu sebagai berikut, "Penetapan pemerintah tentang awal Ramadhan dan awal Syawal dengan menggunakan dasar hisab, tidak wajib diikuti. Sebab menurut jumhur salaf bahwa terbit awal Ramadhan dan awal Syawal itu hanya bi al-ru'yah au itmâmi al-adadi tsalâtsîna yauman." [Lihat dasar pengambilan keputusan ini di kitab Bughyah al-Mustarsyidîn dan Al-Durr al-Mantsûr fî Itsbât al-Syuhûr]

Sementara dalam sidang isbat yang akan digelar petang ini, Kementerian Agama Republik Indonesia kemungkinan besar akan memutuskan 1 Syawal 1434 H jatuh pada hari Kamis, 8 Agustus 2013. Karena posisi hilal saat matahari terbenam nanti, secara perhitungan astronomis, sudah melebihi batas imkanur rukyah 2 derajatstandar yang dipakai Kemenag hingga saat ini.

Implikasi dari kebijakan kriteria imkanur rukyah tersebut, jika tidak ada yang melapor berhasil melihat hilal (padahal kondisinya sudah memungkinkan), maka pemerintah akan menggunakan dasar hisab untuk menentukan kapan mulai Lebaran. Dan sebaliknya, jika posisi hilal dinyatakan berada pada kisaran 0°2° (di atas ufuk namun masih terlalu rendah), maka pesaksian seorang perukyat selalu ditolak. Seperti kasus penolakan rukyah di Cakung, Jakarta Timur, awal bulan ini.

Ketika Muhammadiyah memulai puasa lebih dulu karena menggunakan dasar hisab, maka dalam memulai Lebaran kali ini bisa jadi terbalik, ada potensi perbedaan antara pemerintah dan NU. Seperti yang terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu ketika pemerintah dan Muhammadiyah seragam dalam memulai Lebaran, sedangkan NU berbeda sendiri.

Pemerintah, yang selama ini dituding tidak mampu menyatukan segala bentuk perbedaan pendapat di Indonesia, sebenarnya sudah mengambil sikap yang sangat bijaksana. Yaitu mengadakan sidang isbat dengan menggunakan dasar rukyah, dan jika laporan rukyah yang diterima bertentangan dengan hasil hisab qath'i (akurasi tinggi), maka rukyah tersebut ditolak. Tampak jelas sekali bagaimana upaya pemerintah menjembatani dua kubu yang saling berseberangan ini.

Di sinilah sikap kita sebagai warga nahdhiyyin sedang diuji. Apakah kita akan senantiasa taat kepada ulil amri sebagai manifestasi pesan Alquran setelah taat kepada Allah dan rasul-Nya, atau justru kita malah terbelenggu dalam aturan sebuah organisasi.

Sebagai seorang muslim, kita tentu mengharapkan pahala. Dalam hal ini (jika kekhawatiran itu benar-benar terjadi), apabila kita ngoyo mempertahankan pendapat dan tampil beda dengan pemerintah apakah mendapatkan pahala? Bukankah yang demikian justru menjadikan ribut dan masuk kategori fitnah? Pertanyaan yang mungkin masih mengganjal adalah, jika kita mengikuti keputusan pemerintah yang berlebaran besok, apakah tidak melanggar keputusan Munas di atas?!

Jawabannya adalah tidak. Ada tiga alasan untuk melandasi jawaban ini; Pertama, pemerintah juga menggunakan dasar rukyat, tidak hanya dengan dasar hisab. Kedua, Munas tidak membahas rukyah yang bertentangan dengan hisab. Ketiga, Munas hanya mengatakan, bila pemerintah tidak menggunakan dasar  rukyah, namun menggunakan dasar hisab, tidak wajib diikuti. Yang demikian ini tidak bisa dikatakan melarang mengikuti, bukan?

Karena rukyah merupakan masalah yang tidak sama (menimbulkan rasa percaya dan tidak), maka dibutuhkan isbat (penetapan) demi persatuan umat. Dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh pemerintaah. Maksudnya, penentuan awal Ramadan dan awal Syawal adalah hak prerogatif sekaligus kewajiban pemerintah, bukan hak dan kewajiban ulama atau ormas, apalagi individu.

Menanggapi pertanyaan teman-teman di kampus Al-Ahgaff dua hari terakhir ini, Kapan di Yaman mulai Lebaran? Kamis atau Jumat?”, maka jawaban saya sederhana saja, Jika di Indonesia besok (Kamis) sudah mulai Lebaran, apalagi di negara-negara Arab! Karena jika daerah sebelah timur sudah berhasil melihat hilal, apalagi daerah-daerah di sebelah barat!

Selamat hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H. Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.

Jumat, 02 Agustus 2013

Pesona Tarim di Bulan Ramadan

Acara buka bersama di Darul Musthofa, Tarim,
Hadhramaut, Yaman. Foto: Ulin Nuha.
Selama empat tahun saya tinggal di Negara Yaman, mungkin inilah puncak musim panas bulan puasa yang pernah saya alami. Hal itu dapat dilihat dari jadwal salat Magrib pada awal Ramadan lalu, yaitu pukul enam lebih dua puluh empat menit. Sekadar perbandingan, berikut adalah waktu Magrib awal Ramadan tiga tahun sebelumnya: tahun 2012 (18.22), tahun 2011 (18.19) dan tahun 2010 (18.14). Itu artinya, puasa kali ini lebih panjang dan lama dari tahun-tahun sebelumnya karena waktu berbuka puasanya semakin mundur.

Tak mengherankan jika ada sebagian dari teman Indonesia yang mengeluh dan memilih menghabiskan waktunya seharian di dalam kamar sambil menyalakan pendingin ruangan sekaligus kipas angin. Walaupun sejatinya, kondisi di Tarim masih relatif normal jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang beriklim subtropis. Seorang pelajar di Negara Kanada, misalnya, menceritakan bahwa saat ini waktu Magrib di sana sekitar pukul 22.30 yang berarti umat muslim berbuka puasa ketika orang-orang di sekitarnya sedang terlelap tidur.

Tarim, kota terbesar di Provinsi Hadramaut, Yaman, memang terkenal sebagai daerah yang sangat panas. Letaknya yang jauh dari laut dan dikelilingi pegunungan batu membuat angin yang berembus di daerah ini terasa kering dan menyengat. Saking panasnya, bahkan pakaian yang dijemur bisa kering hanya dalam tempo setengah jam saja.

Kondisi udara yang tidak nyaman seperti itu, ditambah durasi puasa yang lebih panjang dari biasanya, tentu sangat melelahkan dan menguras stamina. Namun demikian, hal tersebut tidak mengurangi minat para pelajar atau wisatawan untuk menjalani ibadah puasa di kota berjuluk seribu wali ini. Ya, karena yang mereka cari bukanlah kenikmatan duniawi tapi kenyamanan dan kekhusyukan dalam beribadah. Dan untuk hal ibadah, Tarim adalah surga dunia bagi hamba-hamba Allah yang bertakwa dan selalu merindukan ketenteraman dalam ritual ibadah mereka. Seorang penyair Arab berkata, Seandainya para filsuf itu dapat merenungi keindahan kota ini, maka mereka akan berkata, Sesungguhnya surga dunia itu adalah Tarim.

Kala sore hari tiba, atau satu setengah jam menjelang buka puasa, aktivitas penduduk Tarim mulai tampak terlihat. Berbagai kedai teh dan  toko yang menjual aneka ragam makanan, sudah membuka pintunya lebar-lebar. Kondisi lalu lintas di jalanan pun terlihat sibuk. Semakin sore dan gelap, suasana bertambah ramai.

Setengah jam menjelang magrib, jalanan semakin riuh dan padat. Kadang kita harus menunggu beberapa saat untuk dapat menyeberangi jalan. Masjid-masjid yang menyediakan takjil gratis juga sudah mulai menyiapkan hidangan berbuka puasa.

Salah satu masjid favorit yang menyediakan takjil dan menjadi langganan teman-teman mahasiswa Al-Ahgaff adalah masjid Jamalul Lail. Masjid yang selesai dibangun pada tahun 2010 ini, oleh yang mewakafkannya memang diperuntukkan untuk mahasiswa Al-Ahgaff. Para pengurusnya pun juga dari mahasiswa Al-Ahgaff, mulai dari muazin, imam, dan tukang bersih-bersih. Letaknya yang tidak terlalu jauh (sekitar 200 meter ke arah barat daya dari asrama) membuatnya mudah untuk dijangkau, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai sepeda motor.