Pages - Menu

Selasa, 16 Desember 2014

Gadis Malaysia di Pesawat Yemenia


Gambar pesawat Yemenia dari wikimedia.

Angin dingin Kota Sana’a mengelus kulit lembut saya. Jarum jam menunjukkan pukul 18.45 KSA ketika rombongan kami satu per satu keluar dari ruang tunggu menuju bus yang sudah disiapkan. Di lapangan landas pacu, seekor “burung besi” telah menanti dengan suara mesinnya yang merderu-deru.

Hari itu (Sabtu, 6 Desember 2014), saya dan 24 mahasiswa Universitas Al-Ahgaff akan melakukan perjalanan panjang menuju Tanah Air tercinta. Setelah 5 tahun lamanya belajar di Negara Yaman, kini tibalah waktunya untuk pulang ke kampung halaman.

Wajah mereka tampak semringah. Entah apa yang ada di pikiran mereka waktu itu. Yang jelas, mereka sangat gembira. Bahkan saking gembiranya, ada yang bergurau dengan berkata, “Coba cubit lengan saya! Jangan-jangan ini hanya mimpi.” Ha-ha-ha, saya tertawa dalam hati.

Tak sampai 10 menit bus yang mengantarkan kami tiba di sisi pesawat Yemenia. Kami bergegas naik ke kabin dengan menenteng barang bawaan masing-masing. Seorang pramugari menyambut di pintu masuk dengan senyuman manis yang mengembang di wajahnya. Beberapa di antaranya tampak sibuk melayani penumpang yang kebingungan mencari tempat duduk. Saya mendapat kursi dengan nomor 17K yang berada di samping jendela, tempat favorit bagi semua orang karena bisa melihat pemandangan di luar.

Setelah meletakkan tas ransel di tempat yang disediakan, saya pun langsung duduk merebahkan badan dan memandangi seisi ruangan. Di lorong sebelah, seorang teman tampak sedang berbicara dengan salah satu pramugari asal Indonesia. Entah apa yang ia bicarakan. Mungkin ia ingin mengikuti jejak Narji—pelawak bermuka pas-pasan itu—yang sukses menggaet pramugari cantik sebagai istri setelah sebelumnya berkenalan di dalam pesawat.

Hizam! Hizam!” Suara pramugari mengejutkan saya. Rupanya ia sedang mengingatkan para penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman, pertanda pesawat akan segera lepas landas.

Usai saya memakai sabuk pengaman, ternyata pesawat tidak langsung terbang. Saya mulai dihinggapi rasa bosan dan tidak nyaman, apalagi kursi yang saya duduki tidak ergonomis. Dan untuk menghilangkan rasa jenuh itu, saya mengambil ponsel dan perangkat dengar (headset) di saku lalu menyalakan pemutar musik.

Beberapa hari sebelumnya saya sengaja menyalin fail-fail MP3 ke dalam ponsel untuk menemani perjalanan saya. Dan di antara lagu-lagu itu, yang paling saya sukai dan selalu saya putar ulang adalah “Gadis Malaysia” yang dinyanyikan oleh Yus Yunus, penyanyi dangdut legendaris dari Madura. Dulu, sebelum mengenal dunia internet, saya sering kirim SMS ke penyiar radio untuk request lagu tersebut. Berikut ini lirik lengkapnya.

Kamis, 04 Desember 2014

Walimah Safar

Suasana saat acara. Foto: Rizki Ardiansyah (Wahyu).
Setelah menunggu selama dua bulan lebih dan nyaris frustrasi, akhirnya teman-teman Angkatan 15 Universitas Al-Ahgaff yang lulus tahun ini bisa pulang dengan lega setelah tiket yang ditunggu-tunggu selama ini keluar juga. Dan sebagai ungkapan rasa syukur, mereka menggelar acara walimah safar pada hari Rabu (3/12) selepas salat Isya di sutuh sakan dakhili (atap asrama).

Acara perpisahan yang diisi dengan pembacaan maulid dan selawat nabi itu berlangsung meriah. Sekitar 150 mahasiswa dari berbagai tingkatan diundang dalam acara tersebut. Meski cuaca malam itu sangat dingin dan angin berembus cukup kencang, mereka tampak antusias menghadirinya.

Dalam sambutannya sebagai wakil panitia, Syaiful Arif meminta maaf—dengan bahasa Arab—kepada seluruh hadirin karena telah merampas waktu belajar dan ibadahnya. “Sengaja saya menyampaikan dalam bahasa Arab karena yang hadir di sini dari berbagai negara, seperti Arab, Afrika, dan Pakistan,” kata pria yang akrab disapa ‘Paul’ itu.

“Tapi saya tidak akan lama-lama; sebentar lagi Ustaz Hamzah Iklil akan memberi sambutan dalam bahasa Indonesia. Karena bagaimanapun, kita yang akan berdakwah di tanah air harus membiasakan diri berbahasa Indonesia,” lanjutnya sedikit berkelakar.

Usai Syaiful Arif memberi sambutan, Hamzah pun tampil. Ia menyatakan perasaan yang dialami kawan-kawannya saat ini. “Kami gembira karena sebentar lagi ketemu dengan orang-orang tercinta. Tapi di saat yang bersamaan kami juga sedih karena harus pergi meninggalkan Tarim yang penuh dengan orang-orang saleh,” ujar pria berkacamata yang murah senyum ini.

“Saya berharap, setelah sampai Indonesia nanti masih ada tawashul (kontak) di antara kita. Karena bagaimanapun, kita ini masih satu almamater,” tuturnya.

Jika tidak ada halangan, musafirin itu akan meninggalkan Tarim menuju Seiyun pada Kamis siang. Dari Bandara Seiyun, mereka langsung bertolak menuju Sana’a (ibu kota Yaman) dan transit di sana selama dua hari. Penerbangan berikutnya terjadwal hari Sabtu, 6 Desember 2014 pukul 19.20 KSA dan, jika sesuai jadwal, mereka akan tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada hari Minggu, 7 Desember 2014 pukul 13.00 WIB.

Senin, 01 Desember 2014

Semua Akan (P)indah pada Waktunya

Antrean mahasiswa Al-Ahgaff di depan pintu gerbang
seusai salat Jumat. Foto: Adnan Widodo.
Meski sudah pernah saya jelaskan panjang lebar, masih saja ada yang bertanya kapan saya pulang ke Indonesia. Barangkali mereka belum membaca penjelasan ini dengan saksama. Mungkin juga mereka masa bodoh dan tak mau tahu tentang hal itu. Hmm ... ya, sudahlah.

“Ahli Tarim masih menginginkan kau tinggal di sini,” kata Muhammad Subli, teman sekamar saya dari Sulawesi, menghibur.

Boleh jadi omongan anak Bugis itu ada benarnya juga; saya masih harus menetap dulu di Tarim untuk beberapa hari ke depan. Banyak hal yang belum saya peroleh dari Bumi Para Wali yang penuh berkah ini—dan, bukan tidak mungkin, suatu hari nanti setelah sampai di Indonesia saya akan menyesal karenanya.

Tarim, seperti sudah diketahui banyak orang, adalah gudangnya ilmu sekaligus tempat bersemayam para ulama dan aulia. Lokasinya di Lembah Hadhramaut yang sunyi dan jauh dari hiruk-pikuk perkotaan membuat siapa pun yang menempatinya merasakan ketenangan yang tiada tara. Tak heran, karena suasananya yang kondusif itulah, Tarim menjadi destinasi favorit bagi para penuntut ilmu dari pelbagai negara.

Banyak orang memercayai bahwa mereka yang bisa berziarah ke Hadhramaut—khususnya Tarim—telah mendapat semacam panggilan mistis dari Tuhan. Di lain pihak, ada juga yang agak pesimis mengatakan, “Orang yang banyak dosa tidak berhak menginjakkan kakinya di bumi Tarim.” Untuk yang terakhir ini saya pribadi kurang setuju. Buktinya saya sendiri bisa datang ke tempat ini dan, barangkali, keterlambatan saya pulang ke Tanah Air akibat banyaknya dosa yang telah saya lakukan.

Minggu, 09 November 2014

Haul Imam Muhajir

Lokasi Haul Imam Muhajir di Husaisah, Hadhramaut.
Foto: Yuslan.
Senyampang masih di Hadhramaut, saya akan berusaha mengikuti setiap tradisi dan aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Salah satu tradisi yang sudah berlangsung secara turun-temurun adalah peringatan wafatnya Imam Muhajir yang diselenggarakan setiap tanggal 15 Muharam di distrik Husaisah, sebuah daerah tak berpenghuni berjarak sekitar 20 kilometer dari Tarim ke arah timur. Tahun ini, Haul Imam Muhajir bertepatan pada hari Jumat, 7 November 2014.

Jumat sore (7/11) sesudah salat Asar, saya berangkat ke Husaisah bersama rombongan bus Asosiasi Mahasiswa Indonesia (AMI) di Universitas Al-Ahgaff. Ada 5 bus yang disediakan oleh panitia; satu berukuran besar dan selebihnya berukuran sedang. Selain rombongan itu, banyak juga yang berboncengan mengendarai sepeda motor. Saya dan seorang kawan rencananya pengin ikut konvoi bersama mereka, namun karena motornya sedang mogok, terpaksa saya ikut serta dalam rombongan bus itu.

Rombongan saya sampai di Husaisah sekitar pukul 17.30 KSA. Suasana sudah sangat ramai ketika saya tiba di sana. Bahkan bus yang saya tumpangi tidak bisa mendekat dan harus parkir agak jauh dari lokasi acara.

Begitu memasuki pintu gerbang, kami langsung disambut dengan tarian tradisional khas Yaman. Berbeda dengan budaya tari di Indonesia yang identik dengan perempuan cantik, di sini semua personelnya laki-laki yang sudah berumur. Penampilan mereka juga sangat kasual dan unik: mengenakan sarung, berserban merah, dan membawa tongkat melengkung sambil meneriakkan yel-yel yang saya sendiri tidak tahu apa artinya. Saudara kembar saya, Lutfi Ahsanuddin, menolak ketika saya ajak menyaksikan pertunjukan tersebut lebih dekat. “Kita ziarah dulu ke makam,” katanya.

Saya pun langsung menuju ke makam Imam Muhajir yang sudah penuh sesak oleh para peziarah. Untuk bisa masuk ke dalam, mau tidak mau saya harus mengantre sampai mereka keluar. Meski demikian, saya cukup beruntung karena di waktu yang bersamaan Habib Umar bin Hafidz juga berziarah. Jadi, saya “hanya” mengamini saja doa-doa yang beliau bacakan.

Acara berziarah selesai sesaat sebelum matahari terbenam.

Selepas salat Magrib, acara dilanjutkan dengan pembacan selawat dan puji-pujian kepada Rasulullah. Lalu dilanjutkan dengan ceramah-ceramah yang kemudian ditutup dengan akad nikah, doa, dan salat Isya berjemaah.

Sabtu, 25 Oktober 2014

Gengsi Dong


Sumber gambar: Ganool.com

Sekalipun sudah berpuluh-puluh kali menonton film, sekali pun saya belum pernah membuat resensi. Oleh karenanya, perkenankan saya kali ini untuk (latihan) menulis ringkasan tentang film yang belum lama ini saya tonton: Gengsi Dong.

Mungkin sebagian besar dari Anda sudah pernah menontonnya, bahkan berkali-kali, karena film ini memang sering diputar ulang, terutama saat hari Lebaran. Ya, Gengsi Dong adalah film drama komedi tahun 80-an yang dibintangi oleh tiga pelawak legendaris—Dono, Kasino, dan Indro—serta penyanyi dangdut kawakan, Camelia Malik.

Film ini mengisahkan tiga orang mahasiswa yang sedang kuliah di ibu kota Jakarta. Mereka adalah Slamet (Dono), anak juragan tembakau paling kaya dari Solo, Jawa Tengah; Sanwani (Kasino), orang Betawi asli anak pengusaha bengkel mobil; dan Paijo (Indro), anak pengusaha minyak yang kaya raya. Dari latar belakang yang beragam itulah, mereka berteman dan bertemu dengan Rita (Camelia Malik), gadis paling cantik sekaligus putri seorang dosen yang mengajar di kampus tempat mereka kuliah.

Ketiganya selalu menjaga gengsi dan berlomba-lomba untuk menarik perhatian Rita.

Sanwani, misalnya, selalu mengibul bahwa dirinya tinggal di perumahan elite di daerah Menteng. Ia juga sering pergi ke kampus membawa mobil dari bengkel yang belum selesai didempul. Sementara Slamet, setelah dikompori teman-temannya karena tak punya mobil, akhirnya meminta kiriman uang dari kampung untuk membeli mobil. Berbekal uang Rp2 juta kiriman dari ayahnya, ia hanya mampu membeli mobil reyot—sebenarnya lebih tepat disebut opelet—yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampak norak.

Hari-hari kuliah mereka jalani dengan ceria dan penuh tawa. Sesekali mereka mencuri kesempatan untuk kencan berdua dengan Rita dan merumrumnya melalui alunan lagu dangdut. Dan meski Rita tampak sangat akrab dengan ketiganya, sebenarnya tidak ada satu pun dari mereka yang ia taksir. Sebaliknya, masing-masing dari mereka bertiga justru merasa dirinyalah yang paling pantas dan berhak untuk menjadi kekasih Rita.

Puncaknya saat mereka diundang dalam acara ulang tahun Rita yang ke-20. Pada akhir acara, bapak Rita naik ke pentas dan menunjuk pria lain untuk menjadi calon suami bagi anaknya. Tentu saja, mereka bertiga kecewa berat. Bahkan Slamet yang sebelumnya tampil sangat percara diri sampai pingsan melihat kenyataan pahit itu.

Selain menghibur penonton melalui dialog dan adegan-adegan lucu, konon Gengsi Dong—dan film-film Warkop DKI yang lain—juga sarat muatan sindiran terhadap penguasa. Misalnya perkataan Sanwani saat memperkenalkan Paijo sebagai anak pengusaha minyak yang “hartanya banyak disimpan di luar negeri” atau pembelaannya kepada Slamet saat diejek Paijo “orang kaya kelakuannya memang begitu, kayak uang bapaknya halal saja.” Dan masih banyak lagi....

Meski Gengsi Dong merupakan film zaman baheula, setidaknya saya cukup terhibur dan menikmatinya—seperti sedang bernostalgia.

Pernahkah Anda menonton film ini? Bagaimana kesannya? Menarikkah?

Selasa, 07 Oktober 2014

Iktirad

Gambar kartun di atas diambil dari sini.
Hari Jumat lalu saya membagikan sebuah tautan di salah satu grup Facebook yang saya ikuti. Tautan tersebut berisi kritik atas keputusan pemerintah Arab Saudi yang menetapkan awal bulan Zulhijah 1435 jatuh pada hari Kamis (25 September) berdasarkan penyaksian sejumlah saksi yang mengaku melihat hilal. Alasan saya simpel: sehari sebelumnya (Rabu, 24 September) setelah matahari terbenam, posisi hilal di Mekah masih sangat rendah sehingga sangat sulit untuk dilihat, sekalipun menggunakan alat bantu optik.

Beragam komentar pun bermunculan. Banyak yang mendukung dan tertarik. Tak sedikit yang hanya menyimak diam saja. Ada pula yang terlihat “kaget” dan memberi respons tidak setuju.

Terus terang saya senang sekali jika ada yang mengkritik atau mengoreksi tulisan-tulisan di blog ini, baik dari segi isi, tata bahasa, maupun ejaan kalimatnya. Dengan catatan, tentu saja, kritik tersebut disampaikan dengan bahasa yang jelas, tidak berbelit-belit, dan disertai dalil ilmiah (jika diperlukan) sebagai pendukung gagasannya. Bukan asal bicara serampangan yang terkesan memaksakan pemahamannya sendiri dan membuat orang lain kesulitan menanggapinya.

Salah seorang penghuni grup Facebook itu—yang belakangan saya ketahui sebagai mahasiswa pascasarjana di Universitas Al-Ahgaff—berkomentar begini, “Yang menulis di blog sangat tidak beretika, sangat tidak tahu ilmu falak. Hari Jumat ini memang Arafah.”

Minggu, 05 Oktober 2014

Mari Berselawat!

Sumber gambar: Halaman Facebook AMI Al-Ahgaff.
Kebanyakan pelajar Indonesia di Yaman—saya tidak mengatakan semuanya—kurang bisa membedakan antara transliterasi dan kata serapan dari bahasa Arab. Transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Sedangkan kata serapan adalah kata yang diambil dari bahasa asing, lalu ejaan dan pelafalannya disesuakan dengan yang berlaku di Indonesia. Sekadar informasi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat (2008) terbitan Pusat Bahasa telah menyerap 20 bahasa asing dan 70 bahasa daerah.

Beberapa hari yang lalu, sebuah pengumuman bertuliskan “Al-Ahgaff Bershalawat...!” terpampang sangat jelas di dalam asrama mahasiswa Universitas Al-Ahgaff, Yaman. Pengumuman itu berisi ajakan melakukan selawat berjemaah di selasar kampus yang akan dihadiri oleh salah seorang ulama setempat. Tidak ada masalah dengan acara itu, masalahnya hanya pada judul pengumuman itu sendiri.

Saya tidak bermaksud mengomentari penggunaan tanda elipsis yang tidak perlu pada judul tersebut, tetapi secara khusus akan membahas gugus konsonan /sh/ yang digunakan dalam kata bershalawat pada judul pengumuman itu. Selain kata shalawat, kita kerap menjumpai (dalam bahasa tulis) gugus konsonan /sh/ yang digunakan dalam kata seperti shalat, mushala, shubuh, shadaqah, shaf, dan lain-lain sebagai kata dari serapan bahasa Arab yang seolah-olah bergugus konsonan /sh/.

Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi III (2008) disebutkan bahwa konsonan bernada desis (frikatif) /s/ gugus konsonannya adalah /sl/, /sr/, /sw/, /sp/, /sm/, /sn/, /sk/, /st/, /sf/ seperti pada kata slogan, sriwijaya, swalayan, spora, smokel, snobisme, skala, status, sferoid.

Adapun gugus konsonan /sh/ pada contoh-contoh yang saya sebutkan di atas tidak ada satu pun yang tercantum sebagai lema dalam KBBI. Konsonan itu berasal dari huruf sad yang, mungkin, dianggap sama dengan huruf kha yang mempunyai konsonan /kh/ dalam bahasa Indonesia, sehingga terjadilah penulisan kata serapan bahasa Arab tersebut yang sesungguhnya menyalahi kaidah paramasastra.

Jadi, jika ingin mematuhi kaidah penggunaan bahasa yang baik dan benar seharusnya ditulis salat, subuh, musala, sedekah, dan berselawat.

Kesalahpahaman atau ketidakhirauan terhadap penggunaan tata bahasa, ejaan, dan penulisan unsur serapan dari bahasa asing tampaknya sudah mengakar kuat dalam diri masyarakat Indonesia. Sehingga, untuk mewujudkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar serta bangga berbahasa Indonesia masih berupa jalan yang sangat panjang.

Rabu, 24 September 2014

Kapan Pulang?

Suatu sore di lembah Hadhramaut, Yaman.
Foto: Abdullah Reza Aljufri.
Entah sudah berapa kali pertanyaan itu mampir di telinga saya. Baik dari kawan lama, kerabat, anak tetangga, maupun teman-teman “Santri Garuda” di Universitas Al-Afgaff, Hadhramaut, Yaman. Pertanyaan basa-basi semacam itu, yang sering saya dengar setahun terakhir ini, belakangan membuat saya kurang nyaman dan nyaris frustrasi karena mengarah ke pertanyaan lain.

Yang lain sudah pada pulang, kenapa kamu belum?

Beberapa teman satu angkatan memang sudah pulang ke Tanah Air, malahan di antara mereka—seperti Faqih Ahmad dan Saifullah Sya’ir—sudah asyik berlebaran di rumah bersama keluarga. Ada juga yang sedang dalam proses kepulangan; ada juga yang belum bisa memastikan waktu mudik secara tepat.

Saya pikir siapa pun pengin cepat-cepat pulang ke Indonesia, terutama mereka yang sudah bertahun-tahun tinggal di Yaman. Apalagi jika melihat kondisi politik dalam negeri saat ini yang masih belum stabil; berbagai aksi unjuk rasa dan serangan kelompok separatis, misalnya, masih berlangsung di beberapa tempat. Bahkan kawan saya yang pulang belum lama ini terpaksa singgah berhari-hari di ibu kota Sana’a karena jalan menuju bandara ditutup oleh para demonstran.

Ada beberapa alasan mengapa kami masih tetap di sini, setidaknya untuk beberapa minggu ke depan. Sebagian besar karena ingin menunaikan ibadah haji terlebih dahulu, mumpung masih di Negara Yaman—mengingat sulitnya berangkat haji dari Indonesia yang harus menunggu selama 7 sampai 10 tahun. Di samping itu, sebagian yang lain juga masih menjalani ujian remedi (daur tsani) serta belum menuntaskan hafalan Alquran 10 juz sebagai syarat pengambilan ijazah.

Selain tiga faktor tersebut, faktor ekonomi—seperti yang dipermasalahkan pasangan yang ingin segera menikah—juga menjadi kendala utama. Sekadar informasi, semua mahasiswa Al-Ahgaff asal Indonesia mempunyai simpanan uang sebesar $500 yang dititipkan kepada pihak kuliah untuk dibelikan tiket pesawat. Sayangnya, dana tersebut belum bisa cair dalam waktu dekat ini dan, kabarnya, baru bisa diambil setelah liburan Iduladha nanti. Walhasil, mereka yang nekat pulang lebih awal terpaksa harus membeli tiket dengan uangnya sendiri. Tentu saja tidak semua mahasiswa punya duit sebanyak itu.

Sampai tulisan ini diterbitkan, saya sendiri belum bisa memastikan waktu kepulangan secara tepat. Bukan karena saya betah tinggal lama-lama di sini, tetapi karena pelbagai alasan yang telah saya sebutkan itu.

Semoga penjelasan di atas bisa dipahami dan jika masih ada yang penasaran perlu dipertanyakan lagi, silakan tulis di kolom komentar.

Selasa, 16 September 2014

Nomenklatur Hari (Minggu)

Gambar diambil dari sini.
Alkisah, seorang ustaz di sebuah pesantren melarang murid-muridnya mengucapkan kata Minggu, alih-alih Ahad, untuk menyatakan nama hari pertama dalam jangka waktu satu pekan. Tidak diketahui secara pasti apa motif di balik pelarangan tersebut. Tapi seperti yang bisa kita duga, barangkali hal itu karena Ahad dirasa lebih islami ketimbang Minggu yang terkesan formal. Mungkin juga ada alasan lain yang saya tidak tahu.

Merasa penasaran dengan asal usul dua kata tersebut, saya pun melakukan studi kecil-kecilan dengan bantuan mesin penelusur Google dan saya menemukan beberapa penjelasan menarik di sana, baik dari segi etimologi maupun sosiolinguistik.

Ahad diserap langsung dari bahasa Arab dengan menghilangkan partikel al-. Dalam bahasa Arab, ahad berarti satu dan karena itulah ia kemudian dijadikan sebagai hari pertama dalam jangka satu pekan (KBBI). Meskipun begitu, ada juga negara-negara Islam yang menjadikan Ahad sebagai hari kedua setelah Sabtu.

Penamaan hari Ahad—dan juga hari-hari yang lain—sebenarnya sudah dikenal oleh bangsa Arab sebelum Islam datang. Setelah Islam diturunkan, kata Ahad menjadi sangat populer berkat Sahabat Bilal bin Rabah, seorang budak berkulit hitam sekaligus muazin di masa Rasulullah.

Dikisahkan dalam buku-buku tarikh, Bilal pernah disiksa majikannya dengan cara ditindih batu besar lantaran keteguhan hatinya memeluk agama Islam; ia dibiarkan terkapar di bawah terik matahari yang panas menyengat. Dalam kondisinya yang memilukan seperti itu, yang terucap dari mulutnya hanyalah “Ahad... Ahad... Ahad....” Tentu bukan nama hari yang Bilal maksud, melainkan Zat Yang Maha Esa: Allah.

Mungkin karena faktor inilah, Ahad mendapat perlakuan istimewa di kalangan sebagian umat Islam yang kurang puas dengan Minggu.

Sedangkan Minggu, menurut beberapa artikel yang saya baca diambil dari bahasa Portugis, Domingo. Dalam bahasa Melayu yang lebih awal, kata ini dieja menjadi Dominggu. Baru sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kata ini dieja sebagai MingguVersi lain mengatakan bahwa kata Minggu berasal dari Domingo, nama seorang pastor yang dahulu pernah menyebarkan ajaran Nasrani di bumi Nusantara.

Lebih jauh lagi, Domingo dalam bahasa Portugis tersebut konon diserap dari bahasa Latin dominus yang berarti Tuhan. Ini berdasarkan kepercayaan orang-orang Nasrani bahwa pada hari itu YesusTuhan menurut mereka; Nabi Isa menurut kita—telah dibangkitkan.

Terlepas dari benar-tidaknya penjelasan di atas, mari kita berpikir secara arif dan logis. Apakah mereka yang konsisten mengucapkan Ahad—tanpa adanya impuls atau kesadaran dari dalam hati—keislamannya menjadi lebih baik? Dan sebaliknya, mereka yang senantiasa melafalkan Minggu apakah berarti keislamannya patut diragukan?

Bahwa kini tampaknya kata Minggu lebih populer dan menjadi satu-satunya nama hari yang bukan berasal dari kata bahasa Arab, kiranya adalah sekadar pilihan penutur bahasa. Tidak perlu terlalu dipersoalkan karena moto negara kita adalah Bhinneka Tunggal Ika, toh?

Selasa, 09 September 2014

Ditahan Imbang di Laga Perpisahan

Skuat Angkatan 15 berpose sebelum bertanding.
Foto: Tajuddin Mu'zi.
Hari-hari menjelang kepulangan ke Tanah Air rasanya sayang sekali jika dilewatkan tanpa diisi dengan sebuah aktivitas, sekalipun itu sekadar hiburan atau main-main. Oleh karena itu, pada Minggu sore (7/9) lalu teman-teman Angkatan 15 Universitas Al-Ahgaff mengadakan pertandingan sepak bola persahabatan melawan tim Angkatan 19 yang baru datang dari Kota Mukalla.

Sebagai kampiun dalam kejuaraan antarkelas selama dua tahun terakhir, Angkatan 15 tentu ingin menunjukkan kedigdayaannya dan berambisi mengakhiri pertandingan kali ini dengan hasil manis, apalagi tim yang dihadapinya masih minim pengalaman. Tak hanya kemenangan yang ditarget, mereka juga ingin mencetak gol sebanyak mungkin.

Akan tetapi, hasil akhir di lapangan sering kali di luar jangkauan nalar manusia. Alih-alih memenangi pertandingan, Angkatan 15 justru ditahan imbang 1-1.

Pertandingan dimulai ketika wasit asal Jawa Timur, Fathurrahman, meniup peluit panjang. Angkatan 15 langsung mengambil kendali permainan sejak menit-menit pertama. Sementara Angkatan 19 lebih banyak menunggu dan mengandalkan serangan balik.

Belum genap 5 menit pertandingan berjalan, gelandang serang Angkatan 15 Suryono dijatuhkan oleh pemain lawan. Tendangan bebas diambil sendiri oleh pemain asal Purwodadi tersebut. Tanpa diduga, bola hasil tendangannya langsung meluncur ke gawang dan tak mampu dihalau oleh kiper. Skor 1-0 untuk keunggulan Angkatan 15 bertahan sampai turun minum.

Pada babak kedua Angkatan 15 melakukan pergantian beberapa pemain sekaligus: Ahmad Muhlisin, Iskandar, dan Muhammad masuk menggantikan Taufiq, Ahmad Najib, dan Musyaffa. Sementara Angkatan 19 memasukkan sejumlah pemain penyerang untuk mencoba mengejar ketinggalannya.

Hingga pertengahan babak kedua, Angkatan 15 masih mendominasi jalannya pertandingan. Kolaborasi apik antara Suryono, Musthofa, dan Saifullah berkali-kali menghasilkan peluang emas. Sayangnya, serangan yang mereka bangun selalu kandas di tangan kiper lawan yang bermain sangat gemilang.

Petaka bagi Angkatan 15 terjadi pada menit-menit terakhir. Berawal dari lemparan ke dalam dari sisi kiri, Yuslan melakukan tendangan melambung yang menukik tepat di pojok gawang. Saiful Badri yang sebelumnya melakukan beberapa aksi penyelamatan kali ini tak mampu mengjangkau bola yang melintas tepat di atasnya. Walhasil, bola masuk ke gawang dan skor 1-1 bertahan hingga pertandingan usai.

Senin, 01 September 2014

Fenomena Seleksi Alam di Universitas Al-Ahgaff (Angkatan 15 sebagai Contoh)



Fenomena Seleksi Alam di kampus Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Ahgaff Tarim Hadhramaut Yaman
Gedung Fakultas Syariat dan Hukum Universitas Al-Ahgaff
di Kota Tarim, Provinsi Hadhramaut, Republik Yaman.
Dalam kajian Ilmu Pengetahuan Alam tentang biologi, ada sebuah teori yang dikenal dengan sebutan natural selections (seleksi alam). Teori ini merupakan bagian dari teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Robert Darwin, seorang ahli biologi kelahiran Inggris yang hidup di awal abad 19 Masehi. Meskipun pada akhirnya, teori ini terbukti gagal secara ilmiah dan telah resmi dihapus dari kurikulum pendidikan nasional.

Konsep dari teori ini adalah, bahwa setiap makhluk hidup, baik hewan maupun tumbuhan, yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya lama kelamaan akan binasa dan mengalami kepunahan. Yang tersisa hanyalah mereka yang mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Dan sesama makhluk hidup akan saling bersaing untuk mempertahankan hidupnya: yang kuat akan tetap bertahan, sedangkan yang lemah akan tersingkirkan.

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa alam seolah-olah melakukan seleksi terhadap makhluk hidup yang ada di dalamnya. Sebagai contoh, seekor ikan betina mampu memproduksi butiran telur hingga mencapai jumlah ratusan bahkan ribuan. Adalah fakta bahwa jumlah sebanyak itu, secara alamiah tidak akan pernah menetas semua. Seandainya itu benar-benar terjadi, maka air laut yang begitu luas akan penuh sesak dijejali oleh ikan-ikan.

Untuk menanggulangi overpopulasi seperti itu, alam, melalui kekuatannya yang tak terduga, menyeleksi ikan mana saja yang harus dimusnahkan dan ikan mana yang berhak untuk terus hidup. Dimulai ketika masih dalam wujud telur atau embrio. Butiran-butiran telur itu akan mengalami benturan antara satu dengan yang lainnya, sehingga yang lemah akan pecah dan yang kuat akan tetap utuh. Boleh jadi, sebagaian telur itu musnah karena dimakan oleh induknya sendiri.

Tidak berhenti sampai di situ. Setelah telur-telur itu menetas, ancaman datang dari predator lain. Anak ikan yang tidak mewaspadai bahaya di sekitarnya juga terancam dimangsa ikan yang lebih besar. Begitu juga, ketidakmampuannya membaca gejala perubahan alam di sekitarnya, seperti pasang surut air laut, akan membuat nyawanya terancam.

Jika diperhatikan dengan saksama, ada kemiripan antara hikayat ikan (fenomena alam) di atas dan realitas kehidupan yang terjadi di kampus Fakultas Syariat dan Hukum Universitas Al-Ahgaff, Hadhramaut, Republik Yaman. Walaupun sudah ada penyaringan ekstra ketat ketika masih di Indonesia, kenyataannya para mahasiswa yang tidak mampu beradaptasi dengan keadaan lingkungan (dalam arti kata yang seluas-luasnya) di Hadhramaut dan kalah dalam kompetisi belajar, dengan sendirinya akan tersisihkan. Masih untung jika hanya mengulang satu-dua tahun. Banyak juga dari mereka yang, karena pelbagai macam alasan, secara otomatis langsung tersingkir dari lingkungan kampus.

Jumat, 22 Agustus 2014

Momen Perpisahan di Kolam Renang

Mahasiswa Indonesia di Universitas AL-Ahgaff, Yaman.
Mungkinkah momen seperti ini akan terulang kembali?
Selasa pagi, 19 Agustus lalu, untuk kesekian kalinya saya bersama teman-teman seangkatan mengadakan acara kumpul bareng di kolam renang. Kegiatan seperti ini sebenarnya sudah menjadi rutinitas tiap liburan semester semenjak kedatangan kami di Tarim empat tahun silam.

Sayangnya, pertemuan kemarin mungkin akan menjadi yang terakhir kalinya karena, seperti yang pernah saya ceritakan, sebagian besar dari kami sudah menyelesaikan tahapan belajar di kampus Fakultas Syariat dan Hukum Universitas Al-Ahgaff dan dalam waktu dekat ini akan pulang ke Tanah Air.

Kota Tarim, meski dikenal sebagai daerah yang panas dan kering, memiliki kompleks pemandian umum amat luas yang bernama Masbah Mahsun. Di dalamnya terdapat banyak sekali kolam renang yang satu unitnya bisa menampung sekitar 100 orang. Lokasinya yang berada di tengah-tengah perkebunan menambah kesan sejuk sekaligus menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelajar di sini. Saking sejuknya, saya selalu teringat ladang-ladang di kampung halaman setiap kali memasuki areal Masbah Mahsun yang menyatu dengan alam ini.

Pagi itu saya datang bersama Ahmad Najib dengan mengendarai sepeda motor. Suasana masih sepi ketika saya tiba di Masbah Mahsun, hanya ada beberapa orang yang sebagiannya sudah mencebur ke kolam. Melihat pemandangan seperti itu, saya pun tak sabar dan...

Sabtu, 16 Agustus 2014

Salat Istisqa di Tarim

Salah satu sudut di lembah Hadhramaut, Yaman.
Kota Tarim di lembah Hadhramaut, Republik Yaman, sejak dahulu dikenal sebagai daerah yang beriklim panas, kering, dan mempunyai curah hujan yang sangat kecil. Dalam satu tahun, hujan turun cuma empat atau lima kali, selebihnya hanya pasir dan debu yang bertebaran di mana-mana.

Meskipun begitu, bukan berarti negeri asal usul Wali Songo itu kekurangan air bersih. Berkat doa dari Sahabat Abu Bakar, sampai sekarang Tarim memiliki sumber mata air yang berlimpah-ruah. Pepohonan dan sayur-sayuran tumbuh sangat subur di sana seperti di daerah-daerah tropis. Para pelajar Indonesia, yang sudah terbiasa berlebih-lebihan dalam menggunakan air, juga tak pernah mengeluh tentang keberadaan air selama mereka belajar di Tarim.

Mungkin karena itulah penduduk Tarim merasa tidak perlu berdoa meminta hujan  karena cadangan air dalam tanah mereka konon merupakan salah satu yang terbesar di dunia.

Ternyata dugaan saya keliru.

Pagi tadi (16/8) ratusan atau bahkan ribuan warga Tarim memadati trotoar di depan Zanbal untuk melaksanakan salat Istisqa berjemaah. Ini merupakan fenomena yang sangat langka. Selama lima tahun tinggal di Yaman, baru kali ini saya melihat penduduk Tarim melakukan salat Istisqa.

Kata istisqa dalam bahasa Arab berarti meminta siraman air hujan. Akan tetapi, dalam kajian ilmu fikih, pelaksanaan salat istisqa bukan semata-mata bertujuan meminta turunnya air dari langit—ada sebab-sebab lain mengapa salat Istisqa mesti dilakukan, seperti berubahnya rasa air menjadi payau, menyusutnya sungai dan danau, berkurangnya sumber mata air, dan lain-lain.

Saya tidak tahu persis apa motif mereka melaksanakan salat Istisqa pagi tadi. Tapi dari doa yang dipanjatkan, sepertinya mereka meminta “jatah” hujan musiman yang, jika melihat tahun-tahun sebelumnya, mestinya sudah turun saat bulan Ramadan lalu.

Apa pun alasannya, semoga hujan yang dinanti-nanti segera turun dengan membawa rahmat dan keberkahan bagi kita semua. Amin.