Pages - Menu

Selasa, 23 Juli 2013

Hipotesis Bulan Purnama untuk Menentukan Awal Bulan


Sumber gambar: Google Images.
Penentuan awal bulan Hijriah, baik itu Ramadan atau yang lainnya, adalah murni persoalan fikhiyah, karena hal tersebut berkaitan langsung dengan aktivitas ibadah kita, yaitu puasa dan Lebaran. Artinya, keputusan dan penetapannya harus sesuai dengan standar fikih atau dalil-dalil syar'i, entah itu Alquran atau Hadis. Namun demikian, walaupun didasarkan pada Alquran dan Hadis, sebenarnya fikih (dalam hal ini penetapan awal bulan) adalah hasil usaha manusia dalam upaya mencari hukum Tuhan yang kebenaran hasil ijtihadnya belum bisa dijamin seratus persen. Terbukti, setelah adanya putusan sidang isbat dari pemerintah, ulama fikih masih membahas kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi yang bisa dijadikan dasar untuk mencabut kembali putusan tersebut, seperti penarikan kembali seorang saksi dari pesaksiannya, tidak terlihatnya hilal pada malam kedua, dan gerhana bulan.

Adapun disiplin ilmu selain fikih, seperti hisab falak dan astronomi hanya bisa mengomentari dan tidak mempunyai otoritas penuh untuk menentukan kapan masuknya bulan baru. Walaupun kedua ilmu tersebut juga mempunyai andil yang signifikan dalam aktivitas rukyatulhilal di lapangan. Di Indonesia, hanya Muhammadiyah satu-satunya ormas yang menggunakan metode hisab (yang kemudian dikenal dengan kriteria wujudul hilal) dalam menentukan awal puasa dan Idul Fitri.

Sebut saja namanya Ade Nurul Badar. Teman saya dari Kuningan, Jawa Barat, ini kemarin sore sebelum berangkat ke masjid Jamalul Lail mendatangi saya dan memperlihatkan status Facebook temannya seperti berikut;

"Pemerintah sungguh menyesatkan ummat, sidang isbat buang-buang anggaran 9 miliar! Buktinya sekarang bulan purnama muncul sempurna menandakan puasa menurut Muhammadiyah benar pas 14 hari. Apakah kita akan terus menerus mengikuti pemerintah yang seperti ini? Yang puasa mulai tanggal 9 Juli, sah."

Pernyataan provokatif seperti itu tentu mengusik ketenangan umat yang sedang khusyuk menjalankan ibadah puasa. Apalagi mayoritas rakyat Indonesia mulai berpuasa pada 10 Juli 2013 lalu berdasarkan keputusan sidang isbat oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Pernyataan itu dengan jelas menggugat keputusan pemerintah dalam sidang tersebut sekaligus mendukung teori Muhammadiyah yang berpuasa sehari sebelumnya. Tidak hanya itu, sidang isbat dinilai menghambukan uang rakyat karena menelan biaya yang sangat besar. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah fase bulan tertentu (purnama) seperti itu dapat dijadikan acuan masuknya bulan baru? Benarkah pemerintah menggelontorkan dana hingga Rp9 miliar untuk rapat tahunan itu? Dan dari mana asal usul propaganda seperti ini?

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, pada Senin 8 Juli lalu, mengimbau agar pemerintah tidak usah menggelar sidang isbat. Karena di samping sudah mematok standar 2 derajat sebagai batas visibilitas hilal (imkanur rukyah),  pemerintah dinilai menghamburkan uang rakyat. “Seharusnya cukup nyatakan saja, karena kriteria tak terpenuhi maka tidak perlu rapat isbat yang katanya itu mahal sekali. Anggarannya sampai Rp9 miliar, itu dana rakyat, ujarnya seperti dilansir Voa-Islam.

Sehari kemudian, Menteri Agama Suryadharma Ali tampil dan membantah tudingan tersebut. Biaya Rp 9 miliar itu tidak benar. Kemarin biaya makan saja yang besar, enggak ada Rp 1 miliar, katanya di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, 9 Juli lalu. Ia juga meminta agar permasalahan sidang isbat tidak diperluas, apalagi diungkit-ungkit soal dana. Seandainya dana sidang isbat sebesar itu juga tidak jadi masalah lantaran menyangkut kepentingan masyarakat luas. (sumber: Kompas)

Dari dua alinea di atas, jelaslah bagi kita dari mana sebenarnya akar permasalahannya, tinggal bagaimana kita menyikapinya secara bijak. Pertanyaan yang masih tersisa, apakah fase bulan tertentu (purnama) seperti itu dapat dijadikan acuan masuknya bulan baru?

Dalam dunia astronomi, bulan purnama adalah kondisi sesaat (sebentar sekali) tatkala bulan menempati suatu garis bujur ekliptika yang tepat berselisih 180 derajat terhadap posisi garis bujur ekliptika yang ditempati Matahari dalam tata koordinat langit. Kondisi tersebut secara umum disebut situasi oposisi (saling berseberangan), sementara astronom muslim masa silam menjulukinya sebagai situasi istiqbal. Atau dengan ungkapan yang lebih sederhana, purnama adalah sesaat di mana cahaya bulan mencapai puncak paling terang. Dalam Ephemeris, untuk bulan ini terjadi pada tanggal 22 Juli pukul 18 GMT atau 23 Juli pukul 01.00 WIB.

Memang, jika kita hitung mundur ke belakang dari tanggal 9 Juli, maka tanggal 22 Juli adalah hari ke-14 Ramadan sebagaimana kalender milik Muhammadiyah. Dan malam harinya, ketika puncak purnama terjadi adalah hari ke-15 (karena pergantian bulan Qamariyah (Ramadan) dimulai saat matahari terbenam). Hipotesis bulan purnama inilah yang dijadikan justifikasi oleh sebagian orang atas keputusan Muhammadiyah dalam memulai puasa mendahului keputusan pemerintah.

Ada dua alasan untuk menjawab logika aneh mereka. Pertama, tidak ada dalil syar’i (hukum agama) yang mendukungnya, baik berdasarkan rukyat maupun hisab, semuanya mensyaratkan adanya hilal (bulan sabit pertama). Tidak ada satu pun dalil yang mengaitkannya dengan purnama. Kedua, secara ilmiah astronomi metode tersebut tidak berdasar, sebagaimana yang dikatakan Profesor Thomas Djamaluddin, peneliti bidang matahari dan lingkungan antariksa LAPAN.

Selain dua alasan tersebut, ada baiknya juga kita mengetahui pembagian jenis-jenis bulan. Menurut pandangan ahli falak internasional dari Yaman, Syekh Muhammad bin Ahmad As-Syâthiriy, bulan  (penanggalan) dibagi menjadi tiga jenis.

Pertama, syahr falaki (bulan astronomis) yang diawali ketika matahari-bulan berada dalam satu bujur yang sama (konjungsi) hingga fase konjungsi berikutnya. Adapun interval waktu antara keduanya adalah 29 hari, 12 jam, 44 menit dan 3 detik. Perbincangan mengenai bulan astronomis ini hanya beredar di kalangan para ahli saja, tidak sampai pada khalayak umum.

Kedua, syahr isthilahiy (kalender konvensional) yang beredar secara luas di pasaran. Kalender jenis ini hanya disusun untuk keperluan administrasi dan tidak ada sangkut pautnya dengan waktu ibadah seperti awal puasa.

Ketiga, syahr syar'i (kalender Islam) yang penentuan bulannya berdasarkan penggenapan bulan Sya'ban 30 hari atau melihat hilal. Dan sangat dimungkinkan terjadi selisih sehari atau dua hari antara kalender konvensional dan kalender Islam. [Lihat: kitab Syarh Al-Yâqût al-Nafîs bab Salat Gerhana dengan sedikit pengurangan dan penambahan redaksi].

Kembali pada definisi bulan purnama yang saya uraiakan di atas. Bahwa purnama adalah fenomena astronomis yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kalender konvensional maupun kalender Islam. Bulan purnama bisa terjadi pada tanggal 14, 15 atau bahkan 16 menurut berbagai macam kalender. Jadi, sangat lucu dan keliru apabila purnama dijadikan pedoman untuk menentukan kapan mulai puasa atau Lebaran. Bukankah tidak ada dikotomi antara keduanya?

Senin, 22 Juli 2013

Wanita Haid Masuk Masjid


Dulu saya mengira, fikih adalah sekumpulan hukum-hukum agama yang bersifat konstan dan tidak bisa diganggu gugat. Namun, setelah mempelajari fikih komparatif (perbandingan antar mazhab) selama tiga semester, saya baru menyadari bahwa fikih ternyata adalah kumpulan pendapat para ulama mengenai suatu permasalahan yang kebenarannya masih relatif. Di antara permasalahan itu adalah wanita haid yang memasuki masjid dan berdiam di dalam dengan memakai pembalut. Apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak? Menanggapi masalah ini, para fuqaha saling berbeda pendapat, di antaranya;
·  Malikiyah: wanita tersebut tidak boleh memasuki masjid baik itu sekadar numpang lewat atau berdiam di dalamnya.
·  Syafi'iyah dan Hanabilah; kalau cuma lewat boleh, asal tidak khawatir sampai mengotori masjid, tapi jika menetap di dalamnya maka tidak boleh, walaupun memakai pembalut (tidak khawatir mengotori).
·  Zhahiriyah: mutlak boleh.

Dalil pendukung
Mereka yang melarang wanita haid masuk masjid berpedoman pada hadits, "Lâ uhillu al-masjida li hâ'idlin wa lâ junubin" (aku tidak menghalalkan masjid bagi orang haid dan junub) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Hadits ini dinilai lemah oleh para ahli hadits. Imam Baihaqi misalnya, mengatakan hadits ini kurang kuat. Dan Imam Bukhari juga condong mengatakan dla'if. Sementara Abu Dawud tidak berkomentar apapun mengenai hadits yang diriwayatkannya ini.
Selain hadits di atas, mereka juga menganalogikan wanita haid dengan orang junub. Orang yang sedang junub tidak diperbolehkan memasuki masjid kecuali hanya sekadar lewat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'ân, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi." [QS. An-Nisâ':43]
Imam Syafi'i berkata dalam kitab Al-Umm, "Sebagian ulama menafsiri ayat ini sebagai larangan untuk mendekati tempat-tempat salat (masjid) dalam keadaan junub". Dari penafsiran inilah, para pengikut mazhab Syafi'i dan Hanbali menarik kesimpulan bahwa orang junub tidak diperbolehkan masuk masjid kecuali hanya sekadar lewat. Lalu mereka mengqiyaskannya pada wanita haid.
Sementara itu, Ibnu Hazm yang membolehkan wanita haid masuk masjid secara mutlak, membantah konklusi tersebut. "Pernyataan seperti itu keliru. Bagaimana mungkin, Allah mengecoh kita dengan berkata 'lâ taqrabû as-Shalâh' sedangkan yang dihendaki adalah jangan mendekati tempat-tempat salat?!" katanya menyanggah. "Wanita yang sedang haid dan nifas boleh menikah dan memasuki masjid, begitu juga orang junub. Karena tidak ada dalil sahih yang melarang hal tersebut." [Al-Muhalla, juz 1 hlm 400].
Adapun sebab terjadinya perbedaan pendapat antara mazhab Syafi'i dan Zhahiri, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Rusyd, adalah pemahaman ayat dalam surat An-Nisa' di atas yang masih fluktuatif. Apakah di sana ada estimasi kata yang dibuang (secara majaz).atau tidak ada sama sekali? Bagi yang mengatakan ada, berpendapat bahwa perempuan yang sedang haid haram masuk masjid. Karena ayat "lâ taqrabu as-shalâh" mempunyai arti, jangan mendekati "tempat" shalat (masjid). Sedangkan yang mengatakan tidak, berarti membolehkan wanita masuk masjid dalam keadaan haid. [Bidâyah al-Mujtahid, juz 1 hlm 48]
Wallâhu a'lam

Sumber foto :Republika

Minggu, 07 Juli 2013

Ada Ilmu di Sekitar Kita


Semenjak saya dan teman-teman penghuni kamar masjid Sahal dipindah ke sakan dakhili pada bulan puasa tahun lalu, ada kebiasaan kurang baik yang mulai saya tinggalkan, yaitu tidur pagi. Di samping itu saya juga terbiasa bangun pagi saat azan subuh berkumandang. Hal itu disebabkan, kamar yang saya tempati saat ini ditempati oleh orang-orang 'tua' yang selalu bangun sebelum fajar.dan saat azan subuh mereka selalu membangunkan seluruh anggota kamar.
Awalnya memang terasa berat, namun setelah sekian lama akhirnya menjadi terbiasa dan terasa ringan. Walaupun bisa bangun saat fajar, kadang masih harus menunggu teman-teman yang lain bangun untuk bisa salat berjamaah. Kelamaan menunggu membuat bosan dan akhirnya saya putuskan untuk mencari masjid terdekat, yaitu masjid Bir.
Masjid Bir terletak di sebelah tenggara dari sakan dakhili. Kira-kira berjarak 150 meter atau bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 10 menit. Dari luar, bangunan bercat putih ini tidak tampak seperti masjid, karena masjid ini tidak mempunyai selasar sebagaimana masjid-masjid di Tarim pada umumnya. Dari dalam, juga tampak biasa saja, tidak ada ornamen maupun kaligrafi yang menghiasi dinding masjid yang terletak di jalan Sittin ini. Walaupun begitu, tempat ini menjadi destinasi favorit saya untuk menghabiskan waktu pagi sembari menghafal Al-Qur'an.
Singkat cerita, seperti biasanya saya datang pagi itu lalu salat sunat kemudian duduk di bagian tengah sambil bersandar di salah satu pilar utama. Seorang lelaki paruh baya datang dari pintu samping dan melakukan salat sunat dua rakaat. Setelah itu, ia membaringkan tubuhnya menghadap ke kiblat beberapa saat lamanya. Awalnya saya mengira, orang itu masih mengantuk lalu mebiarkan dirinya tertidur sambil menunggu iqamat.
Anehnya, jika posisi tidurnya seperti itu, bukannya dapat membatalkan wudlu?! Kecuali jika mengikuti mazhab Hanafiyah. Berbeda jika posisinya tidurnya duduk bersandar seperti yang biasa saya lakukan. Sebenarnya jiwa akademis saya tertantang untuk menanyakannya secara langsung, tetapi perasangka baik (husnu zhon) yang tiba-tiba muncul menghalanginya. Akhirnya saya urungkan saja niatan itu. Toh hanya spekulasi, tidak ada bukti nyata apakah orang itu benar-benar tidur.
Selang beberapa hari setelah peristiwa itu, saya membaca kitab Fathul Mu'in yang ditulis oleh seorang ulama fikih terkenal dari India, Syekh Zainuddin bin Abdil Aziz Al-Malîbâriy. Dalam kitab itu ada keterangan yang menganjurkan persis seperti yang dilakukan lelaki di masjid itu. "Seusai salat sunah dua rakaat fajar (qabliyah subuh), seseorang dianjurkan untuk berbaring menghadap kiblat sambil berdoa, karena kanjeng nabi juga melakukan hal demikian". [Lihat: Fathul Mu'in, Bab Salat]
Informasi seperti ini mestinya sudah saya ketahui sedari dulu, tepatnya ketika duduk di kelas dua aliyah, di mana mata pelajaran yang ditekuni waktu itu adalah fikih bab ubudiyah dengan kitab Fathul Mu'in sebagai bacaan wajibnya. Namun kenyataan berkata lain. Apakah hal itu karena lemahnya daya ingatan saya atau waktu itu saya yang kurang begitu memperhatikan sehingga maklumat seperti ini luput dari ingatan. Untungnya saya tidak jadi menanyakan lelaki di masjid Bir itu. Fenomena 'kecil' seperti ini, bagi saya, merupakan pengalaman yang sangat berharga dan sulit untuk dilupakan.
Dengan demikian, benar apa yang dikatakan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Bahwa ilmu (pengetahuan) yang diperoleh melalui proses interaksi sosial akan memberi kesan tersendiri bagi yang bersangkutan. Menurut Ibnu Khaldun, proses transmisi ilmu (baca: kognisi) dibagi menjadi dua.