Pages - Menu

Senin, 24 Februari 2014

Pak sebagai Sapaan



Muhammad Lutfi Hakim | Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Ahgaff Yaman
Di depan perpustakaan kampus Fakultas Syariat dan
Hukum Universitas Al-Ahgaff. Foto: Sulaeman/Pakistan

Sebagai orang Jawa yang hidup dengan tradisi unggah-ungguh yang sangat kuat, saya sudah dilatih dan terbiasa untuk memanggil saudara atau kerabat yang lebih tua dengan kata sapaan sebelum menyebut nama aslinya. Atau jika ingin meringkas, maka cukup hanya dengan kata sapaannya saja.

Mas, kakang, mbak, dan mbakyu adalah beberapa contoh kata sapaan untuk memanggil kakak kandung atau saudara senenek (sepupu) kita. Sedangkan untuk saudara ibu atau bapak, ada kata paman, bibi, uak, tante, dan lain sebagainya. Akan tetapi, untuk yang terakhir, saya lebih nyaman menyebut pakde—kependekan dari bapak gede—untuk menyapa kakak laki-laki ibu atau bapak. Begitu juga dengan paklik—kependekan dari bapak cilik—untuk menyapa adik laki-laki ibu atau bapak. Atau jika terpaksa harus meringkas lagi, maka cukup dengan 'de' atau 'lik' saja.

Ketentuan di atas tidak hanya untuk kerabat dan sanak saudara, tetapi juga berlaku pada orang-orang di sekitar kita, misalnya, para tetangga dan anak-anaknya. Lebih dari itu, orang-orang yang tidak/belum kita kenal sama sekali.

Biasanya saya mengategorikan mereka—terutama yang belum kenal—berdasarkan perkiraan umur. Untuk yang berumur belasan tahun hingga 30-an, saya memanggilnya mas/kang. Tiga puluh sampai 40 tahun, saya panggil paklik. Di atasnya lagi, 40 sampai 50 saya panggil pakde. Di atas 50 tahun, kadang masih saya panggil pakde, namun tak jarang juga berubah jadi mbah. Semua itu bukan ketentuan pasti, tetapi hanya perkiraan dan sangat mungkin ketika saya berumur 40 tahun kelak, pedoman di atas akan berubah.

Selanjutnya, sebagai imbas dari semua itu, saya juga mendapat perlakuan yang sama. Adik-adik saya, baik kandung maupun sepupu, memanggil saya dengan sebutan mas. Orang asing yang kebetulan ketemu di jalan juga menyapa demikian. Bahkan mereka yang jelas-jelas lebih tua dari saya kadang kala tetap memanggil mas—sekadar untuk menghormati.

Selain sapaan mas, kadang saya juga mendengar kata-kata lain yang bersinonim seperti cak, kak, kang, atau bang, tergantung dari mana asal usul orang yang memanggil tersebut. Misalnya panggilan cak saya peroleh dari arek Jawa Timur, kang dari orang Sunda, dan  bang dari etnis Melayu yang tinggal di Sumatera dan Kalimantan.

Interaksi verbal semacam itulah yang selama ini saya alami dan praktikkan dengan orang-orang di dunia nyata. Lantas bagaimana dengan orang-orang di dunia tanwujud internet?

Senin, 17 Februari 2014

Istilah Sebelum Masehi

Piramida di Mesir. Sumber: Wikipedia.

Mari kita artikan istilah di sini sebagai kata atau frasa yang digunakan oleh komunitas tertentu sebagai sarana komunikasi yang efisien di antara mereka. Komunitas sendiri saya artikan sebagai sekelompok orang yang mempunyai aktifitas atau minat di bidang yang sama, baik dalam hal keilmuan, kemasyarakatan, profesi, karier, dan lain sebagainya.


Guru saya pernah berkata, "Istilah jangan diartikan secara tekstual, tetapi harus dipahami sebagaimana ia dibentuk." Beliau mencontohkan, dalam ilmu gramatika Arab ada istilah fa'il—secara tekstual berarti pelaku—yang didefinisikan sebagai isim marfu' yang jatuh setelah fiil mabni ma'lum (verba/kata kerja). Seumpama ada kalimat dalam bahasa Arab berbunyi Mâ Dlaraba Zaidun (Zaid tidak memukul), maka mereka yang belajar ilmu nahu secara intensif akan dengan mudah mengetahui di mana fa'il. Sementara itu, siapa pun yang mengartikan fai'l sebagai "pelaku" tentu akan menyimpulkan bahwa kalimat tersebut tidak mempunyai fa'il.

Berhubungan dengan istilah, saya mempunyai pengalaman buruk yang sebenarnya tidak ingin saya ceritakan. Akan tetapi, karena hal ini berkaitan erat dengan kejujuran intelektual, maka sebagai seorang akademisi pelajar, saya bersedia untuk berbagi kisah.

Dua tahun yang lalu, ketika saya mengadakan diklat hisab falak di Universitas Al-Ahgaff, Yaman, saya membagikan makalah yang ditulis oleh Mohammad Shawkat Odeh, seorang astronom asal Jordania sekaligus pendiri organisasi nirlaba ICOP (Islamic Crescent's Observation Project). Makalah itu membahas tentang cara mengonversi (hitungan) tanggal Masehi ke Hijriyah atau sebaliknya dengan berpedoman pada Julian Day.

Pada halaman pertama, Odeh langsung memberi pengertian Julian Day (disingkat menjadi JD) sebagai banyaknya hari yang telah dilalui sejak hari Senin tanggal 1 Januari tahun 4712 SM (sebelum Masehi) pada pertengahan hari atau pukul 12:00 GMT (Greenwich Mean Time).

Sebagai contoh, lanjut Odeh, tanggal 1 Januari 2002 itu sama dengan 2452276 JD. Yakni, jumlah hari yang terhitung sejak 1 Januari 4712 SM hingga 1 Januari 2002 adalah dua juta empat ratus lima puluh dua ribu dua ratus tujuh puluh enam.

Tak puas dengan "hasil instan" seperti itu, saya pun melakukan perhitungan sendiri secara manual dan hasilnya ternyata berbeda. Saya coba hitung ulang lagi dengan bantuan kalkulator dan perangkat lunak Microsoft Excel, ternyata hasilnya tidak berubah. Hasil yang disampaikan Odeh lebih banyak dari hasil perhitungan saya—selisih satu tahun. Oleh karena itu, di kolom catatan kaki (footnote) saya tulis: "Mungkin yang dikehendaki adalah tanggal 1 Januari 2003, bukan 1 Januari 2002." Berikut detail perhitungannya.

Rabu, 12 Februari 2014

Giveaway | Blog Walking



Sumber ilustrasi: Winterwing.

Semenjak saya mulai belajar menulis di blog dan bergabung dengan komunitas Warung Blogger pada pertengahan Oktober tahun lalu, banyak pengalaman baru yang saya peroleh, baik yang berhubungan langsung dengan.dunia per-blogger-an itu sendiri (seperti teknik-teknik SEO, cara utak-atik kode HTML dan CSS, kiat meningkatkan jumlah pengunjung dan lain sebagainya) atau informasi menarik lainnya yang tak bisa saya sebutkan satu per satu. Selain maklumat gratis, saya juga pernah mendapat hadiah berupa kiriman pulsa dari salah seorang sahabat narablog yang sedang mengadakan kuis (giveaway). Karena secara kebetulan, ternyata nama saya yang keluar dalam undian itu. Padahal kami hanya kenal melalui internet dan hingga sekarang belum pernah bertatap muka.


Nah, sebagai ungkapan rasa terima kasih, kali ini saya ingin coba-coba mengadakan giveaway sederhana dengan hadiah berupa pulsa prabayar Telkomsel senilai Rp20.000 untuk 4 orang (masing-masing mendapat 5.000) yang pemenangnya ditentukan melalui undian. Kemungkinan, hadiah akan ditambah apabila pesertanya membeludak—dan tentunya jika saya dapat tambahan rezeki. He-he-he….

Judul yang saya pilih adalah Blog Walking. Seperti yang telah diketahui, blog walking adalah aktifitas mengunjungi sebuah blog lalu meninggalkan komentar atau jejak di sana. Dengan begitu, para pelaku blog walking telah menjalin silaturahmi dengan pemilik blog yang mereka kunjungi.

Selain menambah wawasan dan memperluas jaringan pertemanan, blog walking juga diyakini dapat meningkatkan jumlah visitasi sebuah blog. Hal itu juga yang saya rasakan ketika tiba-tiba ada orang yang berkomentar di blog ini setelah sebelumya saya (pernah) berkunjung ke blognya. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya usia teman, saya malah bingung: blog mana saja yang pernah saya kunjungi? Blog mana saja yang isinya sesuai dengan minat saya? Atau, siapa sebenarnya pemilik blog itu?

Untuk menjawab kebingungan tersebut, saya meminta teman-teman blogger untuk berkomentar di postingan ini dengan format seperti berikut: [nama asli], [profil & alamat singkat], [sekilas tentang isi blog], [url blog]. Contoh: Agus Budi Mulyono, 21 tahun, mahasiswa Fakultas Teknik di Universitas Diponegoro. Tinggal di Pedurungan, Semarang, Jawa Tengah. Blogku berisi tentang catatan perjalanan, resep masakan dan resensi buku. http://abimulyono.blogspot.com.

Oh, ya. Sertakan juga akun Twitter kalian karena pemberitahuan pemenangnya nanti akan saya mention melalui @luuthfie dan +Muhammad Lutfi Hakim. Giveaway ini dimulai dari saat entri ini diterbitkan dan ditutup pada tanggal 10 Maret 2014. Pemberitahuan para pemenang dan pengiriman pulsa—insya Allah—dua hari sesudah itu. Terima kasih.

Jumat, 07 Februari 2014

Angka Arab



Angka Arab kuno yang didesain oleh Al-Khawarizmi.
(Sumber gambar: alargam.com)
Suatu hari, seorang kawan peserta Diklat Hisab Falak di Universitas Al-Ahgaff Yaman bertanya melalui pesan pendek, "Bagaimana cara mengubah angka [jadwal waktu salat] dalam Microsoft Excel menjadi angka Arab?" Saya tertegun sejenak mendengar pertanyaan itu, sebelum akhirnya saya jawab dengan lugas, melalui pesan pendek juga.

Sekilas, tidak ada yang salah pada pertanyaan di atas. Saya juga memaklumi ketidaktahuan kawan saya itu tentang cara mengonversikan angka, karena program pengolah angka tersebut memang jarang sekali digunakan. Namun, disadari atau tidak, ternyata selama ini ada yang salah kaprah terkait pemahaman mengenai frasa "angka Arab". Sebagian besar orang tidak mengetahui bahwa yang mereka tulis atau lihat setiap hari adalah angka Arab. Ya, simbol-simbol dalam kurung berikut (1234567890) adalah angka Arab, bukan angka Latin, Eropa, apalagi Romawi. Lalu dari mana kita bisa tahu kalau itu adalah angka Arab?

Pertama-tama mari kita buka "kitab suci" para pakar linguistik tanah air: Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pada subentri angka Arab, terdapat penjelasan sebagai berikut: angka yang berasal dari ejaan Arab yang sekarang menjadi angka internasional (1, 2, 3, dst); angka biasa.

Kurang puas dengan keterangan dalam KBBI? Mari kita periksa aplikasi pengolah kata paling populer di dunia saat ini: Microsoft Office Word. Pada pengaturan nomor (klik File> Options> Advanced> Numerial), kita akan disuguhi empat pilihan: (1) Arabic; angka biasa, (2) Hindi; angka yang biasa dipakai dalam tulisan abjad Arab, (3) Context; sesuai konteks tulisan, dan (4) System; sesuai dengan sistem operasi komputer.

Masih penasaran juga? Mari kita berselancar di dunia maya dan bertanya kepada mesin pencari Google dengan kata kunci "Angka Arab". Urutan pertama ada Ensiklopedi Bebas Wikipedia. Di sana, sebenarnya sudah diulas lumayan panjang dan cukup untuk meyakinkan kita bahwa angka yang kita gunakan selama ini adalah angka Arab. Dan karena itulah, pada awalnya saya merasa tidak perlu untuk menulis artikel ini. Akan tetapi, karena ada hal unik—setidaknya menurut saya sendiri—yang tidak/belum diungkap oleh Wikipedia, baik yang versi Indonesia, Arab maupun Inggris, akhirnya saya tertarik untuk menuliskannya.

Hal unik yang saya maksud itu sebenarnya tidak perlu dijelaskan melalui tulisan, tetapi harus dilihat (perhatikan lagi gambar di atas dengan saksama). Untuk menentukan nilai (bilangan) suatu angka, Muhammad bin Musa al-Khawârizmi—perancang pertama kali angka Arab—berpedoman pada sudut-sudut. Angka satu mempunyai satu sudut, angka dua mempunyai dua sudut, dan begitu seterusnya hingga sembilan.

Sementara itu, bilangan nol dilambangkan dengan lingkaran yang berarti tak ada sudut alias kosong. Tetapi selain kosong, ia juga menunjukkan nilai sepuluh. Adapun angka-angka yang diletakkan di sampingnya adalah sebagai indikator kelipatan sepuluh (10 = 1 X 10, 20 = 2 X 10, 30 = 3 X 10 dan seterusnya). Saat ini, angka Arab adalah simbol representasi angka yang paling umum digunakan di dunia.

Kamis, 06 Februari 2014

Kalah Selisih Gol, PPJJ Juara Dua



Paguyuban Pelajar Jawa Tengah dan Jogjakarta
Tarim – Kompetisi sepak bola antardaerah paling bergengsi di kampus Universitas Al-Ahgaff tahun ini berakhir sudah dengan keluarnya Jawa Timur sebagai juara. Pada laga pemungkas AMI Super League 2013/14 sore tadi, Kamis, 6 Februari 2014, tim PPJJ (Paguyuban Pelajar Jawa Tengah dan Jogjakarta) ditahan imbang 1-1 oleh Astabar (Asosiasi Mahasiswa Jakarta dan Jawa Barat).
Pertandingan yang dipimpin oleh wasit asal Burkinafaso, Abdullah Bailam itu berjalan cukup menegangkan. Baik PPJJ maupun Astabar, keduanya sama-sama mencari kemenangan. Untuk menjadi juara, PPJJ sebenarnya hanya butuh menang dengan skor berapa pun, sementara Astabar harus menang dengan gol lebih dari empat.
Babak pertama berjalan cukup berimbang. Kedua tim saling melancarkan serangannya. PPJJ yang bermain lebih agresif unggul lebih dulu melalui sontekan kaki Paidi memanfaatkan umpan silang dari Faqih Ahmad. Skor 1-0 bertahan hingga turun minum.
Di awal babak kedua, PPJJ belum melakukan pergantian pemain. Sementara Astabar memasukkan Afif Nukman untuk memperkuat barisan tengah. Pergantian tersebut ternyata membuahkan hasil. Melalui sebuah serangan dari sektor kiri pertahanan PPJJ, Afif Nukman berhasil lolos dari hadangan Affa Billah dan mengirimkan umpan kepada Mustofa yang berdiri tanpa kawalan. Ia pun dengan mudah memasukkan bola ke gawang PPJJ yang dikawal oleh Lutfi Ahsanuddin.
Kedudukan imbang 1-1 memaksa PPJJ melakukan pergantian pemain di lini depan untuk menambah daya gedor. Ahmad Mansur dan Mbah Mukhlisin masuk menggantikan Musyaffa' dan Paidi. Namun sayang, tampaknya dewi fortuna kali ini tidak memihak kepada PPJJ. Berkali-kali serangan yang mereka bangun selalu kandas. Tembakan-tembakan akurat yang biasanya diperlihatkan oleh Suryono juga masih jauh dari mistar gawang. Hingga wasit meniup peluit panjang, skor 1-1 tidak berubah.
Dari hasil pertandingan ini, PPJJ menambah koleksi poinnya menjadi sepuluh. Sama seperti Jawa Timur yang sehari sebelumnya menang telak 4-0 atas Madura. Jawa Timur berhak menjadi juara karena lebih unggul dari segi selisih gol. Seandainya sistem yang dipakai dalam kompetisi ini adalah head to head (pertemuan kedua tim) seperti liga sepak bola di Spanyol, maka PPJJ-lah yang menjadi juara, karena pertemuan kedua tim dua bulan yang lalu dimenangi oleh PPJJ.

Skuat PPJJ 2013/14
Kiper: Lutfi Ahsanuddin, Abid.
Belakang: Muhammad Lutfi Hakim, Affa Billah, Mu'affa, Musyaffa'.
Tengah: Faqih Ahmad, Ahmad Mansur, Suryono, Muhammad Ali Basya, Fatih Labib.
Depan: Ahmad Mukhlisin, Paidi, Akhmad Shofi Lutfi, Wicaksono.

Senin, 03 Februari 2014

PPJJ Kembali Raih Pucuk Klasemen


Logo PPJJ Yaman | Dok.Pribadi

Tarim – Kekalahan 1-3 dari Sumatera Rabu pekan lalu tentu sangat menyedihkan. Namun untungnya, anak-anak PPJJ (Paguyuban Pelajar Jawa Tengah dan Jogjakarta di Yaman).tidak larut dalam kegundahan itu. Terbukti, dalam lanjutan kompetisi AMI Super League 2013/14 sore tadi, Minggu, 2 Februari 2013, mereka bisa bermain lepas dan kembali menunjukkan dirinya sebagai tim yang laik menjadi juara. Mengahadapi Madura United, PPJJ berhasil menang dengan skor tipis 1-0.
Bermain dengan sejumlah pilar utamanya, PPJJ langsung menerapkan formasi menyerang dengan menempatkan tiga gelandang dan dua striker. Meskipun begitu, PPJJ masih belum bisa menemukan permainan aslinya. Tak ada peluang emas yang tercipta di babak pertama. Sebaliknya, Madura United malah sering mengancam gawang Lutfi Ahsanuddin akibat ketidaksigapan pemain belakang PPJJ dalam menghalau bola. Babak pertama berakhir dengan skor kacamata.
Memasuki babak kedua, PPJJ melakukan pergantian dua pemain sekaligus. Ahmad Mansur dan Wicaksono masuk menggantikan Akhmad Shofi Lutfi dan Muhammad Ali Basya alias Alba. Karena minimnya jam terbang yang dimilikinya, Wicaksono tidak bisa beradaptasi dengan baik. Ia pun akhirnya digantikan oleh Mbah Mukhlisin.
Gol yang ditunggu-tunggu publik Jawa Tengah dan Jogjakarta akhirnya tercipta pada pertengahan babak kedua. Bermula dari sebuah tendangan penjuru oleh Ahmad Mansur, Muhammad Lutfi Hakim yang lepas dari kawalan M. Taufiq Abdul Hamid berhasil menyundul bola dan mengarahkannya tepat di pojok kanan gawang Madura. Ini merupakan gol keempat bek kelahiran Purwodadi itu semenjak memperkuat tim sepak bola PPJJ tiga tahun yang lalu. Skor 1-0 untuk kemenangan PPJJ bertahan hingga wasit Wafda Muhammad meniup peluit panjang.
Hasil ini menambah jumlah poin PPJJ menjadi 9 sekaligus mengukuhkannya di puncak klasemen sementara setelah sebelumnya direbut oleh Sumatera. Sementara Sumatera, meski belum pernah kalah, berada di urutan kedua dengan perolehan 8 poin. Posisi ketiga dan keempat ditempati oleh Astabar dan Jawa Timur yang masing-masing mengoleksi 7 poin.

Sabtu, 01 Februari 2014

Silaturahmi



Silaturahmi sama dengan silaturahim
Ilustrasi gambar diambil dari sini.

Di sela-sela pembacaan profil singkat para calon ketua PPJJ (Paguyuban Pelajar Jawa Tengah dan Jogjakarta di Yaman) Kamis kemarin, Ahmad Jauharuddin Ali, seorang warga PPJJ asal Jepara yang kebetulan duduk di samping saya bertanya, "Menurutmu mana yang benar: silaturahmi atau silaturahim?" Seketika itu juga saya jawab, "Keduanya sama-sama benar."
"Salah," katanya menyahut. "kata rahim [ha' dikasrah] dalam bahasa Arab berarti kerabat/sanak saudara, sementara rahmi [ha' disukun] artinya adalah rahim/tempat janin. Jadi, penggunaan kata silaturahmi itu tidak benar."
Obrolan kami tidak berlanjut karena memang situasinya kurang tepat. Dan karena tidak ada kesempatan bagi saya untuk berargumen lebih lanjut, saya putuskan untuk menuliskannya di sini saja.
Silaturahmi termasuk dalam kategori kata majemuk atau kadang juga disebut gabungan kata. Ia berasal dari dua kata: silah dan rahm. Keduanya bersumber dari bahasa Arab. Yang pertama berarti menyambung, sementara yang kedua akan saya jelaskan nanti di alinea berikutnya.
Bagi para pegiat bahasa Indonesia yang taat asas terhadap Pedoman Umum EYD, pasti akan menggunakan kata silaturahmi, baik dalam ranah bahasa lisan maupun tulisan—terlepas dari benar-tidaknya proses penyerapan kata itu. Sebab, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanya mencantumkan lema silaturahmi sebagai kata benda yang mengandung arti: tali persahabatan (persaudaraan). Sementara lema silaturahim—masih menurut KBBI—adalah bentuk yang tidak baku. Dan sebagai penutur bahasa Indonesia, seyogianya kita patuh pada aturan yang berlaku. Ini kalau kita berbicara dalam konteks paramasastra. Lalu bagaimana menurut pandangan etimologi?
Dalam kamus Al-Mu'jam al-Wasith—sebuah kamus ekabasaha modern yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Arab Pemerintah Republik Mesir—disebutkan bahwa, entri rahim, rahmi, dan rihmi, ketiganya mempunyai makna: (1) tempat pembentukan janin atau kantung di dalam perut, (2) kerabat beserta penyebabnya. Ketiganya merupakan kata yang bersinonim. Artinya, kedudukan tiap kata bisa ditempati oleh yang lainnya.
Dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata silaturahmi itu sudah tepat menurut tata bahasa dan etimologi. Sementara silaturahim (dan izinkan saya menambahkan satu lagi: silaturihmi) juga bisa kita pakai—tentunya untuk konteks nonformal yang tidak mengharuskan penggunaan kata sesuai dengan EYD.
Menanggapi pernyataan dikotomis teman saya di atas, saya hanya dapat menduga. Mungkin ia (dan mereka yang sependapat dengannya) berpedoman pada Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir yang disusun oleh KH Ahmad Warson Munawwir dari Krapyak, Yogyakarta. Sebagai kamus bilingual, kamus setebal 1591 halaman itu masih tergolong kecil dan "kurang lengkap" jika dibandingkan dengan luasnya kosakata bahasa Arab. Banyak kata-kata muradif dan arkais dalam bahasa Arab yang belum tertampung di sana. Hal itu wajar, karena penyusunan kamus itu hanya untuk menjembatani dua bahasa yang berseberangan. Sedangkan untuk mengetahui asal usul kata serapan lebih jauh, menurut saya, kita harus merujuk pada kamus-kamus bahasa asal (ekabahasa).
Bagaimana menurut pendapat sampean? Silaturahmi atau silaturahim?