Pages - Menu

Senin, 22 Juli 2013

Wanita Haid Masuk Masjid


Dulu saya mengira, fikih adalah sekumpulan hukum-hukum agama yang bersifat konstan dan tidak bisa diganggu gugat. Namun, setelah mempelajari fikih komparatif (perbandingan antar mazhab) selama tiga semester, saya baru menyadari bahwa fikih ternyata adalah kumpulan pendapat para ulama mengenai suatu permasalahan yang kebenarannya masih relatif. Di antara permasalahan itu adalah wanita haid yang memasuki masjid dan berdiam di dalam dengan memakai pembalut. Apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak? Menanggapi masalah ini, para fuqaha saling berbeda pendapat, di antaranya;
·  Malikiyah: wanita tersebut tidak boleh memasuki masjid baik itu sekadar numpang lewat atau berdiam di dalamnya.
·  Syafi'iyah dan Hanabilah; kalau cuma lewat boleh, asal tidak khawatir sampai mengotori masjid, tapi jika menetap di dalamnya maka tidak boleh, walaupun memakai pembalut (tidak khawatir mengotori).
·  Zhahiriyah: mutlak boleh.

Dalil pendukung
Mereka yang melarang wanita haid masuk masjid berpedoman pada hadits, "Lâ uhillu al-masjida li hâ'idlin wa lâ junubin" (aku tidak menghalalkan masjid bagi orang haid dan junub) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Hadits ini dinilai lemah oleh para ahli hadits. Imam Baihaqi misalnya, mengatakan hadits ini kurang kuat. Dan Imam Bukhari juga condong mengatakan dla'if. Sementara Abu Dawud tidak berkomentar apapun mengenai hadits yang diriwayatkannya ini.
Selain hadits di atas, mereka juga menganalogikan wanita haid dengan orang junub. Orang yang sedang junub tidak diperbolehkan memasuki masjid kecuali hanya sekadar lewat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'ân, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi." [QS. An-Nisâ':43]
Imam Syafi'i berkata dalam kitab Al-Umm, "Sebagian ulama menafsiri ayat ini sebagai larangan untuk mendekati tempat-tempat salat (masjid) dalam keadaan junub". Dari penafsiran inilah, para pengikut mazhab Syafi'i dan Hanbali menarik kesimpulan bahwa orang junub tidak diperbolehkan masuk masjid kecuali hanya sekadar lewat. Lalu mereka mengqiyaskannya pada wanita haid.
Sementara itu, Ibnu Hazm yang membolehkan wanita haid masuk masjid secara mutlak, membantah konklusi tersebut. "Pernyataan seperti itu keliru. Bagaimana mungkin, Allah mengecoh kita dengan berkata 'lâ taqrabû as-Shalâh' sedangkan yang dihendaki adalah jangan mendekati tempat-tempat salat?!" katanya menyanggah. "Wanita yang sedang haid dan nifas boleh menikah dan memasuki masjid, begitu juga orang junub. Karena tidak ada dalil sahih yang melarang hal tersebut." [Al-Muhalla, juz 1 hlm 400].
Adapun sebab terjadinya perbedaan pendapat antara mazhab Syafi'i dan Zhahiri, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Rusyd, adalah pemahaman ayat dalam surat An-Nisa' di atas yang masih fluktuatif. Apakah di sana ada estimasi kata yang dibuang (secara majaz).atau tidak ada sama sekali? Bagi yang mengatakan ada, berpendapat bahwa perempuan yang sedang haid haram masuk masjid. Karena ayat "lâ taqrabu as-shalâh" mempunyai arti, jangan mendekati "tempat" shalat (masjid). Sedangkan yang mengatakan tidak, berarti membolehkan wanita masuk masjid dalam keadaan haid. [Bidâyah al-Mujtahid, juz 1 hlm 48]
Wallâhu a'lam

Sumber foto :Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!