Dulu saya mengira, fikih adalah sekumpulan
hukum-hukum agama yang bersifat konstan dan tidak bisa diganggu gugat. Namun,
setelah mempelajari fikih komparatif (perbandingan antar mazhab) selama tiga
semester, saya baru menyadari bahwa fikih ternyata adalah kumpulan pendapat
para ulama mengenai suatu permasalahan yang kebenarannya masih relatif. Di
antara permasalahan itu adalah wanita haid yang memasuki masjid dan berdiam di
dalam dengan memakai pembalut. Apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak? Menanggapi
masalah ini, para fuqaha saling berbeda pendapat, di antaranya;
· Malikiyah: wanita
tersebut tidak boleh memasuki masjid baik itu sekadar numpang lewat atau
berdiam di dalamnya.
· Syafi'iyah
dan Hanabilah;
kalau cuma lewat boleh, asal tidak khawatir sampai mengotori masjid, tapi jika
menetap di dalamnya maka tidak boleh, walaupun memakai pembalut (tidak khawatir
mengotori).
· Zhahiriyah: mutlak boleh.
Dalil
pendukung
Mereka yang melarang wanita haid
masuk masjid berpedoman pada hadits, "Lâ uhillu al-masjida li hâ'idlin
wa lâ junubin" (aku tidak menghalalkan masjid bagi orang haid dan
junub) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Hadits ini dinilai lemah oleh para ahli
hadits. Imam Baihaqi misalnya, mengatakan hadits ini kurang kuat. Dan Imam
Bukhari juga condong mengatakan dla'if. Sementara Abu Dawud tidak berkomentar
apapun mengenai hadits yang diriwayatkannya ini.
Selain hadits di atas, mereka
juga menganalogikan wanita haid dengan orang junub. Orang yang sedang junub
tidak diperbolehkan memasuki masjid kecuali hanya sekadar lewat, sebagaimana
firman Allah dalam Al-Qur'ân, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi." [QS. An-Nisâ':43]
Imam Syafi'i berkata dalam kitab
Al-Umm, "Sebagian ulama menafsiri ayat ini sebagai larangan untuk
mendekati tempat-tempat salat (masjid) dalam keadaan junub". Dari
penafsiran inilah, para pengikut mazhab Syafi'i dan Hanbali menarik kesimpulan
bahwa orang junub tidak diperbolehkan masuk masjid kecuali hanya sekadar lewat.
Lalu mereka mengqiyaskannya pada wanita haid.
Sementara itu, Ibnu Hazm yang
membolehkan wanita haid masuk masjid secara mutlak, membantah konklusi
tersebut. "Pernyataan seperti itu keliru. Bagaimana mungkin, Allah
mengecoh kita dengan berkata 'lâ taqrabû as-Shalâh' sedangkan yang
dihendaki adalah jangan mendekati tempat-tempat salat?!" katanya
menyanggah. "Wanita yang sedang haid dan nifas boleh menikah dan memasuki
masjid, begitu juga orang junub. Karena tidak ada dalil sahih yang melarang hal
tersebut." [Al-Muhalla, juz 1 hlm 400].
Adapun sebab terjadinya perbedaan
pendapat antara mazhab Syafi'i dan Zhahiri, sebagaimana yang dikatakan Ibnu
Rusyd, adalah pemahaman ayat dalam surat An-Nisa' di atas yang masih fluktuatif.
Apakah di sana ada estimasi kata yang dibuang (secara majaz).atau tidak ada sama
sekali? Bagi yang mengatakan ada, berpendapat bahwa perempuan yang sedang haid
haram masuk masjid. Karena ayat "lâ taqrabu as-shalâh"
mempunyai arti, jangan mendekati "tempat" shalat (masjid). Sedangkan
yang mengatakan tidak, berarti membolehkan wanita masuk masjid dalam keadaan
haid. [Bidâyah al-Mujtahid, juz 1 hlm 48]
Wallâhu a'lam
Sumber foto :Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!