Semenjak saya dan teman-teman penghuni
kamar masjid Sahal dipindah ke sakan dakhili pada bulan puasa tahun lalu, ada
kebiasaan kurang baik yang mulai saya tinggalkan, yaitu tidur pagi. Di samping
itu saya juga terbiasa bangun pagi saat azan subuh berkumandang. Hal itu
disebabkan, kamar yang saya tempati saat ini ditempati oleh orang-orang 'tua' yang
selalu bangun sebelum fajar.dan saat azan subuh mereka selalu membangunkan seluruh
anggota kamar.
Awalnya memang terasa berat,
namun setelah sekian lama akhirnya menjadi terbiasa dan terasa ringan. Walaupun
bisa bangun saat fajar, kadang masih harus menunggu teman-teman yang lain
bangun untuk bisa salat berjamaah. Kelamaan menunggu membuat bosan dan akhirnya
saya putuskan untuk mencari masjid terdekat, yaitu masjid Bir.
Masjid Bir terletak di sebelah
tenggara dari sakan dakhili. Kira-kira berjarak 150 meter atau bisa ditempuh
dengan jalan kaki selama 10 menit. Dari luar, bangunan bercat putih ini tidak
tampak seperti masjid, karena masjid ini tidak mempunyai selasar sebagaimana
masjid-masjid di Tarim pada umumnya. Dari dalam, juga tampak biasa saja, tidak ada
ornamen maupun kaligrafi yang menghiasi dinding masjid yang terletak di jalan
Sittin ini. Walaupun begitu, tempat ini menjadi destinasi favorit saya untuk
menghabiskan waktu pagi sembari menghafal Al-Qur'an.
Singkat cerita, seperti biasanya
saya datang pagi itu lalu salat sunat kemudian duduk di bagian tengah sambil bersandar
di salah satu pilar utama. Seorang lelaki paruh baya datang dari pintu samping
dan melakukan salat sunat dua rakaat. Setelah itu, ia membaringkan tubuhnya
menghadap ke kiblat beberapa saat lamanya. Awalnya saya mengira, orang itu
masih mengantuk lalu mebiarkan dirinya tertidur sambil menunggu iqamat.
Anehnya, jika posisi tidurnya
seperti itu, bukannya dapat membatalkan wudlu?! Kecuali jika mengikuti mazhab
Hanafiyah. Berbeda jika posisinya tidurnya duduk bersandar seperti yang biasa saya
lakukan. Sebenarnya jiwa akademis saya tertantang untuk menanyakannya secara
langsung, tetapi perasangka baik (husnu zhon) yang tiba-tiba muncul
menghalanginya. Akhirnya saya urungkan saja niatan itu. Toh hanya spekulasi,
tidak ada bukti nyata apakah orang itu benar-benar tidur.
Selang beberapa hari setelah
peristiwa itu, saya membaca kitab Fathul Mu'in yang ditulis oleh seorang ulama
fikih terkenal dari India, Syekh Zainuddin bin Abdil Aziz Al-Malîbâriy. Dalam
kitab itu ada keterangan yang menganjurkan persis seperti yang dilakukan lelaki
di masjid itu. "Seusai salat sunah dua rakaat fajar (qabliyah subuh),
seseorang dianjurkan untuk berbaring menghadap kiblat sambil berdoa, karena
kanjeng nabi juga melakukan hal demikian". [Lihat: Fathul Mu'in, Bab
Salat]
Informasi seperti ini mestinya
sudah saya ketahui sedari dulu, tepatnya ketika duduk di kelas dua aliyah, di
mana mata pelajaran yang ditekuni waktu itu adalah fikih bab ubudiyah dengan kitab
Fathul Mu'in sebagai bacaan wajibnya. Namun kenyataan berkata lain. Apakah hal
itu karena lemahnya daya ingatan saya atau waktu itu saya yang kurang begitu memperhatikan
sehingga maklumat seperti ini luput dari ingatan. Untungnya saya tidak jadi
menanyakan lelaki di masjid Bir itu. Fenomena 'kecil' seperti ini, bagi saya, merupakan
pengalaman yang sangat berharga dan sulit untuk dilupakan.
Dengan demikian, benar apa yang
dikatakan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Bahwa ilmu (pengetahuan)
yang diperoleh melalui proses interaksi sosial akan memberi kesan tersendiri bagi
yang bersangkutan. Menurut Ibnu Khaldun, proses transmisi ilmu (baca: kognisi) dibagi menjadi
dua.
Pertama, melalui proses belajar mengajar,
diskusi atau musyawarah, sebagaimana yang sering kita terapkan sehari-hari di
ruangan kelas atau kuliah. Kedua, melalui simulasi atau meniru secara langsung
apa (tindakan atau ucapan) yang diperagakan oleh guru. Namun, perolehan ilmu
dari yang disebut terakhir jauh lebih kukuh dan menyentuh dalam pribadi
seseorang dari pada proses yang pertama.
Oleh karena itu, seorang penuntut
ilmu sangat dianjurkan untuk melanglang buana dari satu tempat ke tampat yang
lain demi tergapainya cita-cita. Dengan melakukan banyak perjalanan, ia akan
bertemu dengan banyak guru. Dari banyaknya guru akan diperoleh pengalaman yang
banyak dan beraneka ragam. Pengalaman itulah yang tidak dimiliki oleh mereka
yang hanya mendekam di dalam rumah atau kampung halamannya. [Muqaddimah Ibnu
Khaldun, hlm 605 dengan sedikit perubahan dan penambahan redaksi]
Namun itu semua kembali pada niat
dan semangat belajar individu masing-masing. Bukan berarti dengan melakukan
banyak rihlah ilmiah, orang tersebut akan secara "otomatis" menjadi pandai.
Boleh jadi, lulusan dari timur tengah (misalnya) masih kalah dibanding
santri-santri senior di pondok pesantren tradisional. Hal itu disebabkan
santri-santri itu sangat gigih dan mempunyai tekad yang kuat dalam belajar,
sementara mahasiswa tadi hanya menghabiskan waktunya di negara orang dengan
bermain-main. Ia hanya cukup mempelajari kitab-kitab yang dijadikan muqarrar
saja, itu pun dilakukan hanya ketika waktu ujian tiba.
Kesuksesan seseorang dalam
menuntut ilmu tidak ditentukan atas dasar di mana ia belajar atau dengan siapa
ia berguru. Tapi lebih pada keseriusan dan kerja keras dalam belajar. Meskipun
dua hal tersebut juga mempunyai andil yang signifikan disamping aspek-aspek
spiritual lainnya seperti doa dan barokah.
Saat liburan panjang seperti
sekarang ini, saya menyadari, betapa berat rasanya membuka kembali lembaran kitab-kitab
untuk sekadar me-review pelajaran yang telah lalu atau mencari wawasan
baru. Namun setidaknya, melalui tulisan ini saya dapat menyampaikan bahwa ilmu
(pengetahuan) tidak hanya diperoleh dari celah-celah kertas itu, tapi bisa juga
dari lingkungan di sekitar kita, entah kita menyadarinya atau tidak. Apalagi
saat bulan puasa nanti, banyak tradisi dan ritual keagamaan yang dilakukan oleh
ulama-ulama Tarim yang bisa dijadikan serana untuk meningkatkan keilmuan kita. Tinggal
bagaimana kita dapat meresponsnya secara positif.
Selamat menunaikan ibadah puasa.
Sumber foto
: Wikipedia
terima kasih banyak buat infonya
BalasHapus