Gambar kartun di atas diambil dari sini. |
Hari Jumat lalu saya membagikan sebuah tautan di salah satu grup Facebook yang saya ikuti. Tautan tersebut berisi kritik atas keputusan pemerintah Arab Saudi yang menetapkan awal bulan Zulhijah 1435 jatuh pada hari Kamis (25 September) berdasarkan penyaksian sejumlah saksi yang mengaku melihat hilal. Alasan saya simpel: sehari sebelumnya (Rabu, 24 September) setelah matahari terbenam, posisi hilal di Mekah masih sangat rendah sehingga sangat sulit untuk dilihat, sekalipun menggunakan alat bantu optik.
Beragam komentar pun bermunculan. Banyak yang mendukung dan tertarik. Tak sedikit yang hanya menyimak diam saja. Ada pula yang terlihat “kaget” dan memberi respons tidak setuju.
Terus terang saya senang sekali jika ada yang mengkritik atau mengoreksi tulisan-tulisan di blog ini, baik dari segi isi, tata bahasa, maupun ejaan kalimatnya. Dengan catatan, tentu saja, kritik tersebut disampaikan dengan bahasa yang jelas, tidak berbelit-belit, dan disertai dalil ilmiah (jika diperlukan) sebagai pendukung gagasannya. Bukan asal bicara serampangan yang terkesan memaksakan pemahamannya sendiri dan membuat orang lain kesulitan menanggapinya.
Salah seorang penghuni grup Facebook itu—yang belakangan saya ketahui sebagai mahasiswa pascasarjana di Universitas Al-Ahgaff—berkomentar begini, “Yang menulis di blog sangat tidak beretika, sangat tidak tahu ilmu falak. Hari Jumat ini memang Arafah.”
Siapa pun yang membaca komentar itu, pasti tidak langsung paham apa yang dikehendaki si komentator, karena ia hanya mengutarakan ketidaksetujuannya tanpa mengemukakan alasan yang jelas. Mestinya jika hendak mengkritik ia langsung saja menyebutkan poin masalahnya, tidak sekadar bicara “pokoknya begini” yang terkesan memonopoli kebenaran.
Selain asal tulis komentar tanpa analisis yang memadai, yang bersangkutan ternyata tidak membaca tulisan tersebut dengan saksama. Hal itu terlihat jelas dari komentar setelahnya yang berbunyi, “Kalau begitu kenapa nyalahin Saudi?”
“Sama sekali saya tidak menyalahkan Arab Saudi. Saya sekadar mengkritik keputusannya tersebut,” jawab saya ala kadarnya.
Kurang puas dengan jawaban saya, ia pun kembali bertanya, “Antum [Anda] orang mana kok mengkritisi Arab Saudi?”
Pertanyaan yang terakhir ini sengaja tidak saya jawab karena terkesan mengada-ada. Apa salahnya mengkritik keputusan negara orang? Beberapa waktu yang lalu, misalnya, para pengguna media sosial beramai-ramai mengkritik otoritas kerajaan Arab Saudi yang berencana memindahkan makam Rasulullah dari kompleks Masjid Nabawi ke pemakaman umum Baqi’. Dan itu wajar-wajar saja, bukan?
Tentang keputusan Arab Saudi yang dianggap kontroversial itu, sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di kalangan para pegiat ilmu falak. Mereka tidak kaget dan bahkan bisa memprediksi jika akhirnya Arab Saudi memutuskan demikian. “Untuk mengetahui kejanggalan keputusan Arab Saudi tentang awal bulan, setidaknya harus mengikuti informasinya secara kontinu selama 10—15 tahun,” kata Pak Mutoha Arkanuddin, pakar astronomi dari Jogja Astro Club Observatory.
Entah mengapa saya jadi teringat perkataan KH Mustofa Bisri dalam sebuah ceramah. Beliau mengatakan, ciri-ciri orang yang kurang ilmu (informasi) adalah mudah kaget. Selain mudah kaget, ia juga mudah menyalahkan orang lain yang tak sederap dengannya.
Yang saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin mahasiswa pascasarjana pola pikirnya seperti itu?
Kebanyakan kalau komentar nggak menggunakan hati dan pikiran tapi pakai emosi :p
BalasHapusYa, begitulah jadinya...
Hapusharus nunggu selama 10-15 tahun ya,,lama banget itu,,,
BalasHapusAtau setidaknya membaca rekapitulasi keputusan Arab Saudi tentang penetapan awal bulan selama itu.
HapusKalau saya sih selalu ikut keputusan Pemerintah Republik Indonesia terus. Baik penetapan jadual IDUL FITRIE maupun IDUL ADHA, saya selalu ikut pemerintah
BalasHapusSaya juga begitu, Kang Asep. Apa pun keputusan pemerintah, saya akan mengikutinya, demi menjaga persatuan umat.
HapusKritik dengan santun dan jelas. Meski yang kita sampaikan benar, tapi kalau cara penyampaiannya tidak baik, orang akan melihat/mengingat keburukannya saja. Jadi, isi dan kemasan harus sama-sama bagus, kira-kira begitu. *tarik jambul*
BalasHapusYa, ya, ya. Wah, tumben banget nih pagi-pagi sudah mampir ke sini.
HapusDunia memang penuh dengan berbagai karakter orang mas, santai aja, berbagai kritikan bahkan jika ada hujatan yaa wajar, yg penting nulis jalan teruss..toh pasti ada yg sependapat dg sampean .... *maap sok bijak hahaa...
BalasHapusBenar, Pak Anton, yang penting jalan terus.
HapusKalau ingin berkomentar bersebrangan, memang sebaiknya mengutarakan argumennya yah, Mas. gak lantas menyanggah begitu saja. sabar saja menghadapinya, Mas, hhehe.
BalasHapusTerima kasih, Mas Richo.
Hapuswah, ikut prihatin, Mas, orang-orang seperti itu memang banyak bertebaran di sosmed. Hampir sama terjadi di fanpage-fanpage portal berita online. Ketika sebuah berita di-share di halamannya, banyak diserbu komentar-komentar yang kalau dicermati ada yang keluar dari konteks berita, kentara betul tanda belum baca isinya, hanya baca judul dan penggalan beritanya saja. Gampangnya bikin akun palsu membuat orang merasa tenang mem-bully orang lain. Lagu lama itu menurutku, Mas Bad. ^_^
BalasHapusOh, itu sudah lagu lama, ya? Saya jarang ikut-ikutan berkomentar di media sosial.
HapusOrang yang terlihat dewasa belum tentu hati dan pikirannya dewasa, meski dia sdh berkuliah di pascasarjana ato bahkan lebih tinggi, bisa jadi ia tidak pernah berpikir secara logika dan rasional. Mungkin juga ia tidak mau membuka diri bagaimana menjadi pribadi yang berwawasan luas, sehingga hanya ego dan emosionallah yang dikedepankan, sungguh ironi.
BalasHapus*menyimak sambil mengangguk-angguk*
Hapus*Ikutan menyimak sambil mengangguk-angguk*
Hapushehehe, nicepost, :)
Setuju banget Mas. Itulah sebabnya saya selalu berpikir ribuan kali setiap mau posting atau berkomentar mengenai topik yang kontroversi. Merasa belum punya ilmu yang cukup untuk menganalisis dan mengevaluasi. Kalaupun menjumpai tulisan yang kontroversial, tidak sesuai pendapat saya selama ini, biasanya saya hanya ikut membaca saja, tidak berani berkomentar apalagi menghujat. Yang sabar saja Mas, orang-orang seperti itu biasanya miskin referensi, bahkan baru baca judul saja mereka sudah berani menyalahkan ide penulis. Good sharing :)
BalasHapusTerima kasih, Mbak Sofia.
Hapuswah ilmu dan ceritanya tentang iktirad perlu banyak memiliki referensi terlebih dahulu agar komentarku melencengnya ngga terlalu jauh.
BalasHapussementara itu menyimak sambil mencamkan dalam hati
wah mas Lutfi ini emng berilmu yang manfaat dah jadi banyak tahu perkembangan Islam di Arab keren" mas...
BalasHapusrata-rata orang jaman sekarang itu taklid buta dengan kebenaran mas.. mana mau mereka jalan yang lama yang harus berjuang dulu. sekarang orang pada ogah ah,,,, penting instan dan nyaman buat atiii... bagaimana pendapat antum Luthfi?
BalasHapuskalo gak taklid, terus ijtihad sendiri gitu?
HapusAhamad Syauqi : ya ngga juga kok..yg ana maksud itu ygngga punya pendirian dalam agama. jadi cuma sekedar ikutan-ikutan gitu kok..
Hapusorang bisa saja tinggi ilmu, tapi tidak berarti berilmu untuk kendalikan nafsunya. karenanya, orang yang tinggi ilmu kebanyakan mencap hanya dirinya yang benar
BalasHapuskalau saya sih... jujur gak ngerti dan ngikut aja >.<
semoga tetap sabar dan terus menulis mak menghadapi orang2 dgn berbagai karaktek di dunia maya khususnya :)
BalasHapus