Jarang sekali saya mendapat
pertanyaan yang berkaitan tentang Ilmu Nahwu dan lebih jarang lagi jika yang
bertanya adalah seorang santri putri. Dia adalah teman baik saya di dunia maya.
Walaupun kami tidak pernah bertatap muka, saya mengetahui latar belakang
keluarganya. Disamping pernah singgah di rumahnya, saya juga akrab dengan
kakak-kakaknya ketika masih di pondok dulu.
Pertanyaan yang disampaikan
adalah, "Laisa merupakan kalimah fi'il yang infleksibel, ia tidak
mempunyai bentuk mudlari', masdar dan sebagainya. Ketika kemasukan dlamir rafa'
mutaharrik kenapa lamnya dibaca fathah? Bukankah ain fi'ilnya berupa huruf ya'
sehingga mestinya lamnya dibaca kasroh bukan fathah?!"
Waktu itu, saya sedang menghadiri
acara Maulid Nabi di kolam renang yang diadakan oleh Paguyuban Pelajar Jawa
Tengah dan Jogja (PPJJ). Sebuah komunitas yang beranggotakan para pelajar dari Jateng
dan Jogja di tiga lembaga pendidikan, Universitas Al-Ahgaff, Rubath Tarim dan
Darul Musthofa.
Untungnya saya membawa serta
komputer jinjing yang baru saya beli dari seorang teman beberap bulan yang lalu.
Seketika itu saya langsung membuka software Maktabah Shamilah. Sebuah program
komputer berbahasa Arab yang sudah tidak asing lagi bagi para penuntut ilmu
agama.
Setelah melakukan penelusuran, dalam
kamus Lisânul Arab karya Ibnu Mandhûr, ada keterangan bahwa Laisa aslinya
adalah Laa Aisa dari dua suku kata yaitu Laa (huruf nafi) dan Aisa
(isimnya). Kemudian huruf hamzah pada kalimah aisa dibuang, lalu huruf
ya'nya ditempelkan pada huruf lam sebelumnya.
Tidak dijelaskan secara gamblang kenapa
lam-nya dibaca fathah ketika bertemu dlamir rafa' mutaharrik. Namun secara
implisit, berdasarkan fakta empiris dari proses terbentuknya laisa,
dapat ditarik kesimpulan bahwa hal itu untuk mendeklarasikan adanya huruf
(alif) yang terbuang.
Sekian. Semoga bermanfaat.
Wallâhu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!