Dr. Muhammad Said Ramadlan al-Buthi Foto : Wikipedia Bahasa Indonesia |
Dalam kitab tersebut, ada sebuah perdebatan
yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan
al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Syria, bersama Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania.
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara
Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari
al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan
antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil
yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya
Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian
uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu
Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu
setahun lagi?”
Al-Albani menjawab: “Maksud
pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya
bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini
kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”
Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini
masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami
masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah
lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh
al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya
bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti
dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai
dengan al-Qur’an dan Sunnah?”
Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban
Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para
imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi
kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu
menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan
Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia
itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang
yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab
yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi
muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban
muqallid?”
Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti
para mujtahid yang bisa diikutinya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia
berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah
berpindah ke mujtahid lain?”
Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan
haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang
mengharamkannya?”
Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia
mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca
al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya
mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang
berbeda-beda?”
Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya
mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda
hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak
mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca
al-Qur’an sesuai riwayat yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”
Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat
mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan
selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang
mempelajari fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari
madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya
kecuali mempelajari fiqihnya Imam asy-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya
mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari
semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau
Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan
ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya
kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus
berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak
mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab
saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab
lain?”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang
diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah
memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda
ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya,
apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal
ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku
yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut
disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian
lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani
kebingungan menjawabnya.
Demikianlah dialog panjang antara Syaikh
al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau Al-Lâmadzhabiyyah
Akhthar Bid’ah Tuhaddid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah.
Dialog tersebut menggambarkan, bahwa kaum
Wahhabi melarang umat Islam mengikuti madzhab tertentu dalam bidang fiqih.
Tetapi ajakan tersebut, sebenarnya upaya licik mereka agar umat Islam mengikuti
madzhab yang mereka buat sendiri. Tentu saja mengikuti madzhab para ulama
salaf, lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan
keshalehan ulama salaf jelas diyakini melebihi orang-orang sesudah mereka.
Kebanyakan berita-berita buruk mengenai
Syaikh Muhammad Said Ramadlan Al-Buthy sengaja disebarkan oleh kelompok Wahabi
lewat media-media mereka termasuk website sepertu Arrahmah, voa-Islam dan lain-lain.
Sebenarnya mereka telah punya dendam lama
terhadap Syaikh Muhammad Said Ramadlan Al-Buthy jauh sebelum terjadinya konfik
Suriah, karena Syaikh Muhammad Said Al-Buthy dikenal sebagai Ulama yang
memegang teguh faham Ahlussunnah wal jama'ah. Syaikh Muhammad Said Al-Buthy
juga banyak mengkritisi faham 'Wahabi', karena itulah kelompok Wahabi yang
menyimpan dendam memanfaatkan konflik Suriah ini untuk menyerang Syaikh
Muhammad Said Al-Buthy dimana tujuan tersembunyinya ialah agar ummat (awam)
menghindari karya-karya, buku-buku dan peninggalan ilmu-ilmu beliau yang
menyebarkan faham Ahlussunnah wal jama'ah sehingga faham wahabi akan semakin
bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!