Pages - Menu

Kamis, 21 Maret 2013

Sensitivitas Cahaya Fajar


Beberapa hari yang lalu, saya mendapat pesan singkat (SMS) dari salah seorang teman lama yang dulu satu almamater  dengan saya. Tidak seperti biasanya, teman yang satu ini jarang sekali menyapa, walau hanya sekadar kirim kabar. Akhirnya saya sambut baik dengan mengirim pesan balasan kepadanya. Pesan berikutnya yang dikirim berupa keluhan tentang maraknya virus wahabisme yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.

Salah satu di antaranya, kelompok radikal itu menggugat Departemen Agama RI yang memakai pedoman -20° dalam menentukan awal waktu Subuh. Teman saya juga minta tolong untuk dijelaskan dengan rinci mengenai hal ini dan mengapa ada perbedaan mendapat. Bukankah semua fukaha sepakat bahwa waktu Subuh dimulai saat munculnya fajar sidik? Lalu apakah dianggap sah penggunaan teleskop sebagai media untuk mengamati munculnya cahaya tersebut? Dan apa bedanya rukyah fajar dengan rukyatulhilal?

Sebelumnya saya jelaskan bahwa, bumi yang kita injak ini pada dasarnya berbentuk bulat. Lintasan matahari yang mengelilingi bumi sehari-semalam juga diibaratkan sebuah lingkaran. Berjarak 90 derajat (seperempat bumi) dari tempat yang kita injak ke arah timur/barat dinamakan ufuk hakiki. Dari titik lintasan matahari yang berhadapan dengan ufuk hakiki itulah muncul istilah sudut ketinggian matahari. Artinya, sudut -20° adalah posisi matahari berada dua puluh derajat di bawah ufuk hakiki.

Semua ahli hukum Islam sepakat bahwa waktu Subuh dimulai saat fajar sidik menyingsing. Fajar sidik adalah cahaya yang membentang luas secara horizontal di kaki langit sebelah timur. Cahaya ini, menurut astronom, merupakan hasil pembiasan cahaya matahari dari debu-debu yang bertebaran di angkasa. Dalam Alquran, cahaya fajar diilustrasikan sebagai "benang putih"--suatu benda yang sangat "sensitif", apalagi jika berada di tengah kegelapan malam.

Selanjutnya, para astronom melakukan observasi lapangan secara terus menerus untuk mengetahui sudut ketinggian matahari saat awal munculnya cahaya tersebut. Dari hasil pengamatan itu, mereka saling beda pendapat. Hal itu wajar karena perbedaan tempat, waktu, dan temperatur udara di mana mereka berada sangat memengaruhi pandangan mata.

Di Semenanjung Arabia, misalnya, standar yang digunakan adalah -19°; Afrika, Syiria dan Malaysia memakai -19.5°; sementara dataran Eropa, Pakistan ,dan India memakai -18°. Bahkan di Kanada dan Komunitas Muslim Amerika Utara--pada musim tertentu-- memakai standar -15°. Di Indonesia sendiri (dalam hal ini diwakili oleh Depag RI), standar yang digunakan adalah -20°. Perbedaan itu semua belum memasukkan daerah ekstrem di lingkar kutub utara/selatan.

Sebagian ahli hisab mengkritik pedoman yang dipakai Depag tersebut, karena waktu Subuh yang dihasilkan dinilai masih malam. Tentunya Depag sendiri tidak serampangan dalam hal ini. Bisa jadi, penetapan sudut -20° dikarenakan kondisi geografis Indonesia yang beriklim tropis sehingga tingkat kelembaban udaranya sangat tinggi. Ditambah dengan kepekaan mata seseorang jika melihat suatu benda dari gelap menuju terang.

Langkah bijaksana dilakukan oleh Lembaga Hisab Falak (LHF) PP Fadllul Wahid, Bandungsari, Grobogan, yang dibimbing oleh H. Ilya Asyhari Nawawi. Dalam membuat jadwal sehari-hari mereka menggunakan sudut -19° untuk waktu Subuh dan khusus untuk bulan Ramadan memakai -20° sebagai bentuk kehati-hatian dalam melakukan ibadah puasa. Sebab, jika waktu Subuhnya lebih awal tentu waktu imsaknya juga ikut.

Menanggapi pertanyaan teman saya selanjutnya: bolehkan mengamati fajar shodiq dengan bantuan alat teleskop? Mestinya, untuk melihat (cahaya) fajar sidik tidak memerlukan bantuan teleskop seperti halnya rukyatulhilal. Karena obyek yang akan dilihat tidak membutuhkan pembibikan atau data perhitungan (hisab) dan mereka (astronom) melakukan pengamatan terhadap cahaya itu sekadar untuk mengetahui berapa besar sudut mataharinya, bukan menetapkan awal waktu Subuh.

Berbeda dengan aktivitas rukyatulhilal, di mana obyek (hilal) yang dicari sangat sulit untuk dilihat dan hasilnya langsung dijadikan penetapan awal bulan qamariyah.

Dalam literatur kitab fikih klasik dijelaskan, seorang yang mempunyai pandangan tajam, hasil pengamatannya bisa diterima. Sedangkan jika melihatnya melalui perantara alat semacam cermin tidak dianggap sah.

Dari keterangan itu bisa dianalogikan, jika penggunaan teleskop hanya sekadar untuk membidik dan memperjelas obyek yang dilihat maka bisa diterima, namun jika teleskop tersebut sampai memberikan efek pantulan, maka tidak sah.

Wallâhu A'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!