Pages - Menu

Kamis, 15 Agustus 2013

Enam Hari Setelah Lebaran



Sumber foto: Wikipedia
Satu mangkuk Indomie, empat potong roti bakhomri, bakwan, dan segelas teh susu, sebenarnya bukan porsi yang lazim bagi saya. Namun, itulah menu yang saya santap pagi tadi seusai salat Subuh di warung depan gerbang kampus Universitas Al-Ahgaff, Tarim, Yaman.

Selapan (35 hari) sebelumnya, saya tidak dapat menikmati saat-saat seperti itu dengan makan dan minum. Dua puluh sembilan hari menjalani puasa Ramadan ditambah puasa 6 hari pada bulan Syawal tentu bukan waktu yang sebentar. Maklum saja, jika saya dan sebagian teman yang menyerbu warung pagi tadi melampiaskan nafsu makannya dengan memborong dan melahap berbagai jenis makanan yang ada di sana.

Meskipun puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya sunah, penduduk Tarim dan sekitarnya menganggap puasa ini seolah-olah wajib. Hal itu dapat dilihat dari tidak adanya warung, kedai, apalagi toko yang membuka pintunya pada hari-hari tersebut. Warung-warung itu hanya buka setelah azan Magrib hingga pertengahan malam

Tidak hanya golongan habaib dan ulama saja, mereka yang berprofesi sebagai petani, pedagang, penjaga kebun, juga melakukan tradisi puasa ini.

Jika di tanah air kita akan mudah menjumpai aneka ragam makanan yang dihidangkan untuk menyambut datangnya bulan Syawal, maka di sini sangat sulit mendapatkannya, walaupun hanya sekadar mencari pengganjal perut untuk menu sarapan pagi atau makan siang.

Imbasnya, pelajar Indonesia yang tidak terbiasa dengan hal itu, terpaksa ikut menjalankan puasa Syawal selama enam hari pula. Karena pihak kampus hanya memberi jatah makan dua kali, yaitu waktu sahur dan berbuka. Selebihnya, jika ada yang tidak berpuasa, maka konsekuensinya ia harus mencari makan sendiri. Sempat terlintas dalam benak saya seperti ini, Dalam kitab-kitab fikih dijelaskan bahwa seseorang dianjurkan untuk berpuasa bilamana dalam sehari itu ia tidak menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Saya sadar, pemikiran seperti itu cukup ironis.

Sementara itu, lain ladang lain pula belalangnya. Beda daerah, beda pula tradisi masyarakat yang berlaku di dalamnya. Tiga tahun yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi kediaman salah satu mufti terkenal Syekh Yasir Ba Abbad di kota Syihr (daerah pesisir Provinsi Hadlramaut). Di daerah yang dijuluki bintu Tarim (anak perempuan Tarim) itu, suasana tidak kalah sepi dengan induk”-nya. Namun di sana tidak ada puasa 6 hari di bulan Syawal, begitu juga di Kota Mukalla, ibu kota Hadlramaut, yang menjadi tempat kampus Universitas Al-Ahgaff jenjang pertama dan strata dua (S-2).

Hari ini adalah tanggal 7 bulan Syawal, yang berarti aktivitas penduduk Kota Tarim mulai berjalan seperti sedia kala. Warung-warung yang rutin buka saat fajar juga sudah buka seperti biasa. Di lingkungan kampus Al-Ahgaff, tampak teman-teman yang akan menjalani ujian susulan juga sudah mulai belajar lagi. Dapur Abu Na'im, yang selapan terakhir sunyi seperti gudang senjata juga sudah mengepul di pagi hari.

Selamat menjalankan aktivitas anda masing-masing. Khususnya teman-teman yang ikut ujian remedi, semoga berhasil dan jangan pernah patah semangat.

1 komentar:

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!