Pages - Menu

Rabu, 07 Agustus 2013

“Fobia” Tim Rukyat Nahdlatul Ulama

Observasi hilal di Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang.
(Dok. Pribadi)
Salah satu kekhawatiran warga NU menjelang Lebaran kali ini adalah, jika pada waktu magrib nanti semua regu pemburu hilal yang diterjunkan oleh Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama tidak berhasil melihat hilal di berbagai titik strategis yang mereka jadikan sebagai tempat observasi.

Secara prosedural organisasi, untuk menentukan hari raya Idul Fitri, PBNU akan menggenapkan bilangan puasa menjadi 30 hari. Sebagaimana kesimpulan yang tertuang dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada tanggal 21 Oktober 1983 lalu.

Bunyi lengkap dari keputusan itu sebagai berikut, "Penetapan pemerintah tentang awal Ramadhan dan awal Syawal dengan menggunakan dasar hisab, tidak wajib diikuti. Sebab menurut jumhur salaf bahwa terbit awal Ramadhan dan awal Syawal itu hanya bi al-ru'yah au itmâmi al-adadi tsalâtsîna yauman." [Lihat dasar pengambilan keputusan ini di kitab Bughyah al-Mustarsyidîn dan Al-Durr al-Mantsûr fî Itsbât al-Syuhûr]

Sementara dalam sidang isbat yang akan digelar petang ini, Kementerian Agama Republik Indonesia kemungkinan besar akan memutuskan 1 Syawal 1434 H jatuh pada hari Kamis, 8 Agustus 2013. Karena posisi hilal saat matahari terbenam nanti, secara perhitungan astronomis, sudah melebihi batas imkanur rukyah 2 derajatstandar yang dipakai Kemenag hingga saat ini.

Implikasi dari kebijakan kriteria imkanur rukyah tersebut, jika tidak ada yang melapor berhasil melihat hilal (padahal kondisinya sudah memungkinkan), maka pemerintah akan menggunakan dasar hisab untuk menentukan kapan mulai Lebaran. Dan sebaliknya, jika posisi hilal dinyatakan berada pada kisaran 0°2° (di atas ufuk namun masih terlalu rendah), maka pesaksian seorang perukyat selalu ditolak. Seperti kasus penolakan rukyah di Cakung, Jakarta Timur, awal bulan ini.

Ketika Muhammadiyah memulai puasa lebih dulu karena menggunakan dasar hisab, maka dalam memulai Lebaran kali ini bisa jadi terbalik, ada potensi perbedaan antara pemerintah dan NU. Seperti yang terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu ketika pemerintah dan Muhammadiyah seragam dalam memulai Lebaran, sedangkan NU berbeda sendiri.

Pemerintah, yang selama ini dituding tidak mampu menyatukan segala bentuk perbedaan pendapat di Indonesia, sebenarnya sudah mengambil sikap yang sangat bijaksana. Yaitu mengadakan sidang isbat dengan menggunakan dasar rukyah, dan jika laporan rukyah yang diterima bertentangan dengan hasil hisab qath'i (akurasi tinggi), maka rukyah tersebut ditolak. Tampak jelas sekali bagaimana upaya pemerintah menjembatani dua kubu yang saling berseberangan ini.

Di sinilah sikap kita sebagai warga nahdhiyyin sedang diuji. Apakah kita akan senantiasa taat kepada ulil amri sebagai manifestasi pesan Alquran setelah taat kepada Allah dan rasul-Nya, atau justru kita malah terbelenggu dalam aturan sebuah organisasi.

Sebagai seorang muslim, kita tentu mengharapkan pahala. Dalam hal ini (jika kekhawatiran itu benar-benar terjadi), apabila kita ngoyo mempertahankan pendapat dan tampil beda dengan pemerintah apakah mendapatkan pahala? Bukankah yang demikian justru menjadikan ribut dan masuk kategori fitnah? Pertanyaan yang mungkin masih mengganjal adalah, jika kita mengikuti keputusan pemerintah yang berlebaran besok, apakah tidak melanggar keputusan Munas di atas?!

Jawabannya adalah tidak. Ada tiga alasan untuk melandasi jawaban ini; Pertama, pemerintah juga menggunakan dasar rukyat, tidak hanya dengan dasar hisab. Kedua, Munas tidak membahas rukyah yang bertentangan dengan hisab. Ketiga, Munas hanya mengatakan, bila pemerintah tidak menggunakan dasar  rukyah, namun menggunakan dasar hisab, tidak wajib diikuti. Yang demikian ini tidak bisa dikatakan melarang mengikuti, bukan?

Karena rukyah merupakan masalah yang tidak sama (menimbulkan rasa percaya dan tidak), maka dibutuhkan isbat (penetapan) demi persatuan umat. Dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh pemerintaah. Maksudnya, penentuan awal Ramadan dan awal Syawal adalah hak prerogatif sekaligus kewajiban pemerintah, bukan hak dan kewajiban ulama atau ormas, apalagi individu.

Menanggapi pertanyaan teman-teman di kampus Al-Ahgaff dua hari terakhir ini, Kapan di Yaman mulai Lebaran? Kamis atau Jumat?”, maka jawaban saya sederhana saja, Jika di Indonesia besok (Kamis) sudah mulai Lebaran, apalagi di negara-negara Arab! Karena jika daerah sebelah timur sudah berhasil melihat hilal, apalagi daerah-daerah di sebelah barat!

Selamat hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H. Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!