KH MA Sahal Mahfudh | Foto diambil dari sini. |
Kiai Sahal atau Mbah Sahal, demikian beliau akrab dipanggil, lahir pada hari Jumat Legi 17 Desember 1937 M/14 Syawal 1356 H di Kajen, sebuah desa kecil di kabupaten Pati, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Mahfudh bin Abdus Salam bin Abdullah. Nasab tersebut sambung-menyambung sampai kepada Syekh Ahmad Almutamakkin, salah seorang wali terkenal di sana kala itu.
Kiai Sahal tumbuh dan berkembang dalam keluarga dan lingkungan yang penuh dengan keilmuan. Hal itu dapat dilihat dari, misalnya, status orang tua, kakek dan paman-pamannya di masyarakat yang menjadi pemuka agama setempat.
Dari dulu hingga sekarang, Kajen sudah dikenal oleh banyak orang sebagai pusat keilmuan agama Islam. Di sana, banyak ditemukan pesantren dan madrasah yang menjadi tujuan utama para penuntut ilmu dari berbagai daerah. Dan dari sekian banyak pesantren yang ada, Madrasah Matholi'ul Falah–yang didirikan oleh kakeknya sendiri, Syekh Abdus Salam bin Abdullah pada tahun 1912 Masehi–merupakan lembaga pendidikan paling terkenal, terbesar sekaligus tertua di Kajen.
Beliau mempunyai banyak keistimewaan yang jarang ditemukan kumpul menjadi satu dalam diri seorang. Di antara keistimewaannya itu: mempunyai hafalan yang kuat, kecerdasan yang luar biasa, sangkil dalam membagi waktu, cita-cita yang tinggi, zuhud dalam urusan duniawi dan mempunyai perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Barangkali sifat-sifat tersebut memang telah disiapkan oleh Allah SWT untuk menjadikannya sebagai salah satu ulama besar di masa kini.
Sebagaimana tradisi bagi para putra kiai di Indonesia, beliau memulai aktifitas belajarnya sejak usia dini. Belum genap berumur tujuh tahun, beliau sudah khatam membaca Alquran di hadapan ayahnya sendiri, Syekh Mafudh. Dan ketika ayahnya gugur dalam pertempuran melawan penjajah Jepang pada tahun 1944, beliau kemudian diasuh oleh kedua pamannya, Syekh Ali Mukhtar dan Syekh Abdullah Salam (wafat tahun 2001).
Setelah membekali diri dengan ilmu-ilmu dasar keagamaan, pada tahun 1943, beliau masuk Madrasah Ibtidaiyah Matholi'ul Falah. Kemudian melanjutkannya ke jenjang tsanawiyah dan lulus pada tahun 1953.
Tamat dari Madrasah Matholi'ul Falah, beliau kemudian mondok di Kediri, Jawa Timur, tepatnya di dua pesantren berbeda yang diasuh oleh Syekh Khazin dan Syekh Hayah Al-Makkiy. Dari dua ulama tersebut, beliau belajar kitab Ihyâ' Ulûmuddîn, Sullamut Taufîq dan Bughyatul Mustarsyidîn.
Selesai belajar di Kediri, beliau pindah ke Sarang, Rembang. Di sana beliau berguru kepada Syekh Zubair bin Dakhlan (ayah dari KH Maimun Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar). Dari Syekh Zubair ini, beliau mengkaji Tafsir al-Baidlâwi, Mughnil Labîb, Uqûdul Jumân dan lain-lain. Di samping menimba ilmu, di sana beliau juga ditunjuk untuk mengajar dan mengarang kitab Tharîqatul Hushûl sebagai penjelas (syarah) dari kitab Ghâyatul Wushûl karya Syaikhul Islam Zakariya al-Anshâri. Selain yang telah disebutkan, beliau juga berguru kepada Syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani dan mendapatkan banyak ijazah kitab darinya.
Perlu diketahui juga bahwa Kiai Sahal tidak hanya belajar ilmu agama, beliau juga mempelajari ilmu-ilmu modern seperti: bahasa Inggris, administrasi, politik, psikologi dan sosiologi di bawah bimbingan Ustaz Amin Fauzan dari Kajen.
Kiai Sahal saat mengajar para santri | Foto diambil dari sini. |
Kiai Sahal juga dikaruniai Allah SWT tinta yang mengalir lancar. Dari tangannya, telah lahir beberapa kitab yang menjadi rujukan pokok para pelajar ilmu agama. Di antara karya-karyanya itu; (1) Tharîqatul Hushûl alâ Ghâyatil Wushûl, (2) Al-Bayân al-Mulamma' an Alfâdhil Luma', (3) Faidhul Hija ala Nailir Rajâ dan masih banyak lagi. Selain karya berupa kitab, beliau juga menulis banyak makalah di berbagai seminar dan media massa yang telah dikodifikasikan dalam tiga buku: (1) Nuansa Fiqh Sosial, (2) Dialog dengan Kiai Sahal dan (3) Pesantren Mencari Makna.
Di bidang kemasyarakatan, Kiai Sahal mempunyai jabatan penting di berbagai organisasi. Di antaranya: Rais Am Nahdlatul Ulama, Rais Am Majelis Ulama Indonesia, Rektor INISNU Jepara, Jawa Tengah dan Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen. Beliau juga menjadi anggota Dewan Konsultan Departemen Pendidikan Nasional.
Sebelum meninggal, Kiai Sahal sebenarnya sempat memohon dua hal kepada Allah SWT yang kini bisa terlihat bahwa doa tersebut memang dikabulkan.
Pengurus NU Rembang, Kiai Zaim Ahmad Ma'sum, mengatakan tentang Kiai Sahal, ada semacam sesuatu yang sesuai dengan keinginannya. ''Untuk tidak usah terlalu banyak yang memakamkan beliau. Juga harapan untuk wafat pada hari atau malam Jumat,'' katanya sebagaimana disitir situs Republika Online.
Oleh Allah, kedua doa tersebut ternyata dikabulkan. Seluruh akses jalan yang mengarah ke Kajen terputus total oleh banjir. Dari arah Semarang putus di Welahan, Jepara dan Terminal Kudus. Dari arah Purwodadi putus di Winong dan Karaban, Pati. Sementara dari arah Rembang putus di Juana.
Kini, Kiai Sahal telah tiada. Namun begitu, karya-karya peninggalannya masih tetap ada dan akan terus ada selama kita semua mampu untuk melestarikannya.
Selamat jalan, Mbah Sahal. Semoga amal baikmu diterima di sisi-Nya dan mudah-mudahan kami dapat meneruskan perjuanganmu. Amin.
*
Biografi singkat KH MA Sahal Mahfudh ini saya kutip dari pengantar kitab
Tharîqatul Hushûl alâ Ghâyatil Wushûl oleh Syekh Abu Rif'an Abdun Nasir bin
Abdul Fattah.
Ikut berduka :'(
BalasHapusturut berduka, entah kenapa belakangan ini orang-orang yang soleh banyak yang di panggil allah seperti di tempat saya telah kehilangan 2 imam dalam waktu yang cukup singkat
BalasHapusIya, Mas Gugun Gumilar. Di zaman akhir, sedikit demi sedikit, Allah akan melenyapkan ilmu dari muka bumi ini dengan cara memanggil para ulama ke hadirat-Nya. Siapa dua imam yang sampean maksud itu? Mas dari Subang, Jawa Barat, kan?
Hapus