Pages - Menu

Minggu, 12 Januari 2014

Koncoisme



Konco-konco dari Purwodadi yang sedang belajar di Universitas Al-Ahgaff, Darul Mustofa dan Rubath Tarim.
Sumber foto: Ulin Nuha
Tepat di hari ulang tahun saya yang ke-25 pada 27 Desember 2013 lalu, Ahmad Wahid, rekan satu angkatan di Universitas Al-Ahgaff, mengajak saya dan teman-teman dari PP Fadllul Wahid untuk sekadar kumpul bersama dan masak-masak demi mempererat tali silaturahmi. Melalui pesan pendek (sms) ia menulis, "Adik-adik sudah selesai ujian belum? Kalau sudah, kapan kita masak-masak?" Keesokan harinya, saat makan siang di dapur kampus, kami berdua bertemu. Dalam pertemuan singkat itu ia mengatakan, "Besok malam kita masak-masak, adik-adik dikasih tahu ya."
Ajakan semacam itu sebenarnya sudah sering saya dengar, karena memang kami (kawan-kawan dari PP Fadllul Wahid) punya agenda masak bareng setiap beberapa bulan sekali, terutama setelah berakhirnya masa ujian bulanan. Yang tidak biasa dari ajakan itu adalah penggunaan kata "adik" sebagai pronomina untuk merujuk kepada teman-teman yang jenjang kelasnya lebih rendah. Toh sebelumnya ia tidak pernah berkata seperti itu. Menurut saya, penggunaan kata adik dalam komunikasi klasual seperti di atas kurang tepat. Sebab, kata tersebut seolah-olah memberi jarak antara "kita" dan "mereka".
Saya mafhum, maksudnya adalah adik kelas, bukan adik secara biologis. Dan secara bahasa saya rasa tidak salah. Namun kurang pas dalam tradisi unggah-ungguh orang Jawa yang selalu memerhatikan penggunaan kata untuk memanggil/menyebut seseorang.
Adapun kata yang lebih egaliter dan sesuai dengan konteks di atas adalah konco atau dalam bahasa Indonesia-nya disebut kawan. KBBI daring mengartikan kawan sebagai: orang yang sudah lama dikenal dan sering berhubungan dalam hal tertentu (bermain, belajar, bekerja, dsb). Sementara adik, masih menurut KBBI, adalah saudara kandung yang lebih muda.
Saya masih ingat betul saat KH Abdul Wahid Zuhdi, kiai saya sekaligus pendiri Pondok Pesantren Fadllul Wahid Bandungsari, menyampaikan pidato baik dalam ragam formal maupun nonformal. Beliau selalu menggunakan frasa "konco-konco santri" alih-alih menyebut santri saja. Dan frasa itu pula yang digunakan oleh para pengurus senior untuk menyapa anak didiknya hingga sekarang. Pertanyaannya, kenapa ada imbuhan kata konco sebelum santri? Bukankah konco artinya teman sedangkan santri itu identik dengan murid dalam lingkungan pesantren tradisional?
Mari kita periksa dalam kitab KBBI Pusat Bahasa apa itu definisi santri. Ia adalah: (1) orang yang mendalami agama Islam; (2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh. Jadi, santri sebenarnya bukan padanan kata murid/siswa, ia mempunyai arti lebih umum yang di dalamnya mencakup banyak elemen umat Islam–termasuk kiai itu sendiri. Dengan demikian, secara semantik apa yang dikatakan Kiai Wahid itu sangat tepat: menyepantarkan dirinya dengan "para santri" dalam hal mempelajari ilmu agama. Meskipun dalam ranah percakapan, seorang kiai tidak tepat jika dijuluki sebagai santri.
Lalu, apakah frasa di atas ada kaitannya langsung dengan sabda Rasulullah shallallâhu alaihi wasallam:

"Sahabat-sahabatku ibarat gemintang di langit. Siapapun dari mereka yang kalian ikuti, niscaya kalian akan mendapat hidayah/petunjuk."

Mungkin saja. Seperti yang kita ketahui, sahabat itu bersinonim dengan kawan dan konco.

1 komentar:

  1. klo aku lebih suka bilang kawan-kawan, daripada sahabat hhe...
    biar lebih santai aja gitu hhe.. :)

    BalasHapus

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!