Sumber foto: Ulin Nuha |
Tepat di hari ulang tahun saya
yang ke-25 pada 27 Desember 2013 lalu, Ahmad Wahid, rekan satu angkatan di
Universitas Al-Ahgaff, mengajak saya dan teman-teman dari PP Fadllul Wahid untuk
sekadar kumpul bersama dan masak-masak demi mempererat tali silaturahmi. Melalui
pesan pendek (sms) ia menulis, "Adik-adik sudah selesai ujian belum? Kalau
sudah, kapan kita masak-masak?" Keesokan harinya, saat makan siang di
dapur kampus, kami berdua bertemu. Dalam pertemuan singkat itu ia mengatakan,
"Besok malam kita masak-masak, adik-adik dikasih tahu ya."
Ajakan semacam itu sebenarnya
sudah sering saya dengar, karena memang kami (kawan-kawan dari PP Fadllul Wahid) punya agenda masak bareng setiap beberapa bulan sekali, terutama setelah
berakhirnya masa ujian bulanan. Yang tidak biasa dari ajakan itu adalah
penggunaan kata "adik" sebagai pronomina untuk merujuk kepada teman-teman
yang jenjang kelasnya lebih rendah. Toh sebelumnya ia tidak pernah berkata
seperti itu. Menurut saya, penggunaan kata adik dalam komunikasi klasual seperti
di atas kurang tepat. Sebab, kata tersebut seolah-olah memberi jarak antara
"kita" dan "mereka".
Saya mafhum, maksudnya adalah
adik kelas, bukan adik secara biologis. Dan secara bahasa saya rasa tidak salah.
Namun kurang pas dalam tradisi unggah-ungguh orang Jawa yang selalu
memerhatikan penggunaan kata untuk memanggil/menyebut seseorang.
Adapun kata yang lebih egaliter
dan sesuai dengan konteks di atas adalah konco atau dalam bahasa Indonesia-nya
disebut kawan. KBBI daring mengartikan kawan sebagai: orang yang sudah lama
dikenal dan sering berhubungan dalam hal tertentu (bermain, belajar, bekerja,
dsb). Sementara adik, masih menurut KBBI, adalah saudara kandung yang lebih
muda.
Saya masih ingat betul saat KH Abdul Wahid Zuhdi, kiai saya sekaligus pendiri Pondok Pesantren Fadllul Wahid
Bandungsari, menyampaikan pidato baik dalam ragam formal maupun nonformal. Beliau
selalu menggunakan frasa "konco-konco santri" alih-alih menyebut santri
saja. Dan frasa itu pula yang digunakan oleh para pengurus senior untuk menyapa
anak didiknya hingga sekarang. Pertanyaannya, kenapa ada imbuhan kata konco
sebelum santri? Bukankah konco artinya teman sedangkan santri itu identik
dengan murid dalam lingkungan pesantren tradisional?
Mari kita periksa dalam kitab
KBBI Pusat Bahasa apa itu definisi santri. Ia adalah: (1) orang yang mendalami
agama Islam; (2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh.
Jadi, santri sebenarnya bukan padanan kata murid/siswa, ia mempunyai arti lebih
umum yang di dalamnya mencakup banyak elemen umat Islam–termasuk kiai itu
sendiri. Dengan demikian, secara semantik apa yang dikatakan Kiai Wahid itu
sangat tepat: menyepantarkan dirinya dengan "para santri" dalam hal
mempelajari ilmu agama. Meskipun dalam ranah percakapan, seorang kiai tidak
tepat jika dijuluki sebagai santri.
Lalu, apakah frasa di atas ada
kaitannya langsung dengan sabda Rasulullah shallallâhu alaihi wasallam:
"Sahabat-sahabatku
ibarat gemintang di langit. Siapapun dari mereka yang kalian ikuti, niscaya kalian
akan mendapat hidayah/petunjuk."
Mungkin saja. Seperti yang kita
ketahui, sahabat itu bersinonim dengan kawan dan konco.
klo aku lebih suka bilang kawan-kawan, daripada sahabat hhe...
BalasHapusbiar lebih santai aja gitu hhe.. :)