Pages - Menu

Rabu, 01 Januari 2014

Ambiguitas Ucapan Selamat Natal

Hukum mengucapkan selamat natal
Sumber foto: antara.com


Memang aneh, kita ini tidak sedang berada di negara kafir harbi. Juga tidak sedang tinggal di negara yang mayoritas penduduknya adalah nonmuslim. Tapi kenapa ada saja beberapa orang yang, berupaya untuk membuat sensasi dengan mengucapkan selamat Natal di media sosial, Facebook atau Twitter misalnya. Saya juga tak yakin, dari sekian banyak teman/pengikut di kedua jejaring sosial tersebut ada orang Kristiani di dalamnya. Mereka yang saya maksud itu juga bukan seorang politisi yang segala perkataannya (dalam hal ini ucapan selamat Natal) selalu ditunggu-tunggu dan menjadi sorotan publik. Dugaan saya sementara, orang-orang itu hanya ingin mencari sensasi dan "kebelet" ingin dibilang toleran.
Setakat kini ada dua pendapat mengenai hukum mengucapkan selamat Natal; (1) haram dan (2) jaiz. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian teman itu salah. Atau mengajak Anda untuk mengikuti salah satu dari dua pendapat tersebut. Tapi seyogianya, dalam memilih salah satu pendapat, kita harus mempertimbangkan mana yang lebih antisipatif (ahwath) terhadap hal-hal yang sedang berkembang di masyarakat. Tidak asal berkata "boleh" tanpa melihat dampak yang (mungkin) terjadi apalagi berkampanye ria di dunia maya. Mari kita simak kedua pendapat itu dengan saksama.
Pendapat pertama–yang mengharamkan memberi ucapan selamat Natal–didukung oleh Hj. Irene Handono, seorang mantan suster/biarawati yang menjadi mualaf pada tahun 1983. Melalui sebuah seminar bertajuk "Semarak Ramadhan Metropolitan" pada November 2003 silam, beliau menyatakan bahwa Fatwa MUI tentang haramnya memberi ucapan selamat Natal itu masih relevan.
Alasannya, karena saat umat Islam mengucapkan "Selamat Natal" itu berarti sama saja dengan mengucapkan selamat lahirnya Tuhan Yesus–sebagaimana yang diyakini oleh orang Kristen. Ini jelas bertentangan dengan akidah kita.
Sementara itu, ada kelompok yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal–yang menyatakan bahwa semua agama itu sama–berapologi, "kami tidak memperingati Yesus sebagai Tuhan, tapi memperingati atas lahirnya Nabi Isa alaihissalâm". Pendapat ini, menurut Irene Handono, juga keliru. Karena Yesus (atau Nabi Isa menurut kita) tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember, yang lahir pada tanggal tersebut justru adalah Dewa Matahari. Jadi siapa pun yang memperingati Natal, secara tidak langsung juga memperingati lahirnya dewa matahari. Itulah sebabnya, banyak sekali kita temukan simbol paganisme dalam atribut keagamaan mereka.
Salah satunya hari suci mingguan, yang (juga) mereka curi dari kaum pagan. Hingga hari ini, kebanyakan jemaat Kristiani menghadiri layanan Gereja pada Minggu pagi tanpa sadar sama sekali bahwa mereka sedang melakukan penghormatan mingguan kepada dewa matahari kaum pagan—Sun-day: hari matahari.
Adapun pendapat kedua, yang membolehkan mengucapkan selamat Natal, adalah jumhur ulama kontemporer. Di antaranya Syekh Yusuf al-Qaradawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global saat inilah yang menjadikannya berbeda dengan Ibnu Taimiyah dalam mengharamkan pengucapan selamat hari raya agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Beliau membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau nonmuslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khusus antara dirinya (nonmuslim) dengan seorang muslim, seperti: kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk di dalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah s.w.t. namun dicintai-Nya, sebagaimana Dia mencintai orang-orang yang berbuat adil. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” [QS. Al-Mumtahanah: 8]
Selain al-Qaradlawiy, ulama kontemporer lain yang mendukung pendapat kedua ini adalah Habib Ali al-Jufri. Dalam makalah yang diterbitkan di Koran Nasional Mesir, beliau membangun argumennya dari cerita orang-orang Yahudi Madinah yang berpuasa setiap tanggal 10 Muharram (Hari Asyura). Hal itu mereka lakukan untuk memperingati hari diselamatkannya Nabi Musa alaihissalam dari kejaran Firaun dan bala tentaranya.
Melihat hal itu, Rasulullah (yang waktu itu masih di Mekkah) tidak menanyakan relevansi antara Hari Asyura dan lolosnya Nabi Musa tersebut. Padahal, seperti yang kita ketahui, orang-orang Yahudi gemar sekali melakukan distorsi terhadap fakta-fakta sejarah. Pernyataan ini sekaligus menjawab apa yang telah disampaikan oleh Hj. Irene Handono di atas. (Lihat teks bercetak tebal).
Tidak adanya dalil eksplisit, baik dari Alquran atau Hadis, yang mengharamkan pengucapan selamat Natal menandakan bahwa hukum asli mengucapkannya adalah boleh. Lebih-lebih di zaman sekerang ini, ketika keimanan umat Islam sudah demikian kuat. Mereka  tentu menyadari, ketika mengucapka selamat Natal, tidak serta-serta mengimani ketuhanan Yesus/Nabi Isa apalagi menganggapnya sebagai anak Tuhan. (Silakan cek tulisan Habib Ali al-Jufri ini).

* * *
Perihal ucapan selamat Natal ini menarik dipandang dari segi bahasa. Selamat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa memiliki lima varian makna. Dari kelima makna itu, yang sesuai dengan konteks ini adalah yang keempat: doa (ucapan, pernyataan, dsb) yang mengandung harapan supaya sejahtera (beruntung, tidak kurang suatu apa, dsb).
Sementara kata “natal” berasal dari ungkapan bahasa Latin Dies Natalis (Hari Lahir). Sedangkan pada negara-negara yang berbahasa Arab, hari raya ini lazim disebut dengan Idul Milad. Dalam bahasa Inggris perayaan Natal disebut Christmas, dari istilah Inggris kuno yang berarti Misa Kristus. Misa sendiri oleh KBBI didefinisikan sebagai upacara ibadat utama dalam Gereja Katolik, yang di dalamnya roti dan anggur yang dikurbankan berubah zatnya menjadi kehadiran Kristus. Dalam Alkitab (Injil) bahasa Indonesia, tidak dijumpai kata "Natal", yang ada hanya kelahiran Yesus.
Jadi, jika kedua kata itu dirangkai menjadi satu (baca: Selamat Natal), maka frasa tersebut mengandung arti mendoakan sebuah ritual yang sedang berlangsung di dalam Gereja! Meskipun kata "Natal" juga bisa diartikan sebagai hari kelahiran, namun, kita tak pernah menjumpai orang memberi ucapan selamat ulang tahun dengan ucapan selamat Natal–kecuali orang tersebut sedang ingin bermain semantik.
Berbeda dengan bahasa Arab yang mempunyai istilah Idul Milad yang secara harfiah berarti perayaan hari kelahiran. Secara bahasa, kata Idul Milad masih bersifat "netral" dan baru mempunyai makna konotatif ketika digunakan dalam situasi dan kondisi tertentu. Pertanyaanya, apakah kita telah menggunakan kata Idul Milad atau Selamat Natal secara efisien dan tepat makna?
Selamat tahun baru 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!