Sumber foto: antara.com |
Memang aneh, kita ini tidak sedang
berada di negara kafir harbi. Juga tidak sedang tinggal di negara yang
mayoritas penduduknya adalah nonmuslim. Tapi kenapa ada saja beberapa orang
yang, berupaya untuk membuat sensasi dengan mengucapkan selamat Natal di media
sosial, Facebook atau Twitter misalnya. Saya juga tak yakin, dari sekian banyak
teman/pengikut di kedua jejaring sosial tersebut ada orang Kristiani di
dalamnya. Mereka yang saya maksud itu juga bukan seorang politisi yang segala perkataannya
(dalam hal ini ucapan selamat Natal) selalu ditunggu-tunggu dan menjadi sorotan
publik. Dugaan saya sementara, orang-orang itu hanya ingin mencari sensasi dan
"kebelet" ingin dibilang toleran.
Setakat kini ada dua pendapat mengenai
hukum mengucapkan selamat Natal; (1) haram dan (2) jaiz. Saya tidak bermaksud mengatakan
bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian teman itu salah. Atau mengajak Anda
untuk mengikuti salah satu dari dua pendapat tersebut. Tapi seyogianya, dalam
memilih salah satu pendapat, kita harus mempertimbangkan mana yang lebih
antisipatif (ahwath) terhadap hal-hal yang sedang berkembang di
masyarakat. Tidak asal berkata "boleh" tanpa melihat dampak yang
(mungkin) terjadi apalagi berkampanye ria di dunia maya. Mari kita simak kedua
pendapat itu dengan saksama.
Pendapat pertama–yang mengharamkan
memberi ucapan selamat Natal–didukung oleh Hj. Irene Handono,
seorang mantan suster/biarawati yang menjadi mualaf pada tahun 1983. Melalui
sebuah seminar bertajuk "Semarak Ramadhan Metropolitan" pada November
2003 silam, beliau menyatakan bahwa Fatwa MUI tentang haramnya memberi ucapan selamat
Natal itu masih relevan.
Alasannya, karena saat umat Islam
mengucapkan "Selamat Natal" itu berarti sama saja dengan mengucapkan
selamat lahirnya Tuhan Yesus–sebagaimana yang diyakini oleh orang Kristen. Ini
jelas bertentangan dengan akidah kita.
Sementara itu, ada kelompok yang
menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal–yang menyatakan bahwa semua agama itu
sama–berapologi, "kami tidak memperingati Yesus sebagai Tuhan, tapi
memperingati atas lahirnya Nabi Isa alaihissalâm". Pendapat ini,
menurut Irene Handono, juga keliru. Karena Yesus (atau Nabi Isa menurut kita)
tidak dilahirkan pada tanggal 25 Desember, yang lahir pada tanggal tersebut
justru adalah Dewa Matahari. Jadi siapa pun yang memperingati Natal, secara
tidak langsung juga memperingati lahirnya dewa matahari. Itulah sebabnya,
banyak sekali kita temukan simbol paganisme dalam atribut keagamaan mereka.
Salah satunya hari suci mingguan, yang
(juga) mereka curi dari kaum pagan. Hingga hari ini, kebanyakan jemaat Kristiani
menghadiri layanan Gereja pada Minggu pagi tanpa sadar sama sekali bahwa mereka
sedang melakukan penghormatan mingguan kepada dewa matahari kaum pagan—Sun-day:
hari matahari.
Adapun pendapat kedua, yang membolehkan
mengucapkan selamat Natal, adalah jumhur ulama kontemporer. Di antaranya Syekh Yusuf al-Qaradawi
yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global saat inilah yang menjadikannya
berbeda dengan Ibnu Taimiyah dalam mengharamkan pengucapan selamat hari raya agama
orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Beliau membolehkan pengucapan itu
apabila mereka (orang-orang Nasrani atau nonmuslim lainnya) adalah orang-orang
yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan
khusus antara dirinya (nonmuslim) dengan seorang muslim, seperti: kerabat,
tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk di dalam
berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah s.w.t. namun dicintai-Nya,
sebagaimana Dia mencintai orang-orang yang berbuat adil. “Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” [QS. Al-Mumtahanah: 8]
Selain al-Qaradlawiy, ulama kontemporer
lain yang mendukung pendapat kedua ini adalah Habib Ali al-Jufri.
Dalam makalah yang diterbitkan di Koran Nasional Mesir, beliau membangun
argumennya dari cerita orang-orang Yahudi Madinah yang berpuasa setiap tanggal
10 Muharram (Hari Asyura). Hal itu mereka lakukan untuk memperingati hari
diselamatkannya Nabi Musa alaihissalam dari kejaran Firaun dan bala
tentaranya.
Melihat hal itu, Rasulullah (yang waktu
itu masih di Mekkah) tidak menanyakan relevansi antara Hari Asyura dan lolosnya
Nabi Musa tersebut. Padahal, seperti yang kita ketahui, orang-orang Yahudi
gemar sekali melakukan distorsi terhadap fakta-fakta sejarah. Pernyataan ini
sekaligus menjawab apa yang telah disampaikan oleh Hj. Irene Handono di atas. (Lihat
teks bercetak tebal).
Tidak adanya dalil eksplisit, baik dari
Alquran atau Hadis, yang mengharamkan pengucapan selamat Natal menandakan bahwa
hukum asli mengucapkannya adalah boleh. Lebih-lebih di zaman sekerang ini,
ketika keimanan umat Islam sudah demikian kuat. Mereka tentu menyadari, ketika mengucapka selamat
Natal, tidak serta-serta mengimani ketuhanan Yesus/Nabi Isa apalagi
menganggapnya sebagai anak Tuhan. (Silakan cek tulisan
Habib Ali al-Jufri ini).
* * *
Perihal ucapan selamat Natal ini menarik
dipandang dari segi bahasa. Selamat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa memiliki lima varian makna. Dari kelima makna itu, yang sesuai dengan
konteks ini adalah yang keempat: doa (ucapan, pernyataan, dsb) yang mengandung
harapan supaya sejahtera (beruntung, tidak kurang suatu apa, dsb).
Sementara kata “natal” berasal dari
ungkapan bahasa Latin Dies Natalis (Hari Lahir). Sedangkan pada
negara-negara yang berbahasa Arab, hari raya ini lazim disebut dengan Idul Milad. Dalam bahasa
Inggris perayaan Natal disebut Christmas, dari istilah Inggris
kuno yang berarti Misa Kristus. Misa sendiri oleh KBBI didefinisikan sebagai upacara
ibadat utama dalam Gereja Katolik, yang di dalamnya roti dan anggur yang
dikurbankan berubah zatnya menjadi kehadiran Kristus. Dalam Alkitab (Injil)
bahasa Indonesia, tidak dijumpai kata "Natal", yang ada hanya
kelahiran Yesus.
Jadi, jika kedua kata itu dirangkai
menjadi satu (baca: Selamat Natal), maka frasa tersebut mengandung arti mendoakan
sebuah ritual yang sedang berlangsung di dalam Gereja! Meskipun kata
"Natal" juga bisa diartikan sebagai hari kelahiran, namun, kita tak
pernah menjumpai orang memberi ucapan selamat ulang tahun dengan ucapan selamat
Natal–kecuali orang tersebut sedang ingin bermain semantik.
Berbeda dengan bahasa Arab yang
mempunyai istilah Idul Milad yang secara harfiah berarti perayaan hari
kelahiran. Secara bahasa, kata Idul Milad masih bersifat "netral" dan
baru mempunyai makna konotatif ketika digunakan dalam situasi dan kondisi
tertentu. Pertanyaanya, apakah kita telah menggunakan kata Idul Milad atau Selamat
Natal secara efisien dan tepat makna?
Selamat tahun baru 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!