Antrean mahasiswa Al-Ahgaff di depan pintu gerbang seusai salat Jumat. Foto: Adnan Widodo. |
Meski sudah pernah
saya jelaskan panjang lebar, masih saja ada yang bertanya kapan saya pulang ke
Indonesia. Barangkali mereka belum membaca penjelasan ini dengan
saksama. Mungkin juga mereka masa bodoh dan tak mau tahu tentang hal itu. Hmm
... ya, sudahlah.
“Ahli Tarim masih
menginginkan kau tinggal di sini,” kata Muhammad Subli, teman sekamar saya dari Sulawesi, menghibur.
Boleh jadi omongan
anak Bugis itu ada benarnya juga; saya masih harus menetap dulu di Tarim untuk
beberapa hari ke depan. Banyak hal yang belum saya peroleh dari Bumi Para Wali
yang penuh berkah ini—dan, bukan tidak mungkin, suatu hari nanti setelah sampai
di Indonesia saya akan menyesal karenanya.
Tarim, seperti sudah diketahui banyak orang, adalah gudangnya ilmu
sekaligus tempat bersemayam para ulama dan aulia. Lokasinya di Lembah
Hadhramaut yang sunyi dan jauh dari hiruk-pikuk perkotaan membuat siapa pun yang
menempatinya merasakan ketenangan yang tiada tara. Tak heran, karena suasananya
yang kondusif itulah, Tarim menjadi destinasi favorit bagi para
penuntut ilmu dari pelbagai negara.
Banyak orang
memercayai bahwa mereka yang bisa berziarah ke Hadhramaut—khususnya Tarim—telah
mendapat semacam panggilan mistis dari Tuhan. Di lain pihak, ada juga yang agak
pesimis mengatakan, “Orang yang banyak dosa tidak berhak
menginjakkan kakinya di bumi Tarim.” Untuk yang terakhir ini saya pribadi
kurang setuju. Buktinya saya sendiri bisa datang ke tempat ini dan, barangkali,
keterlambatan saya pulang ke Tanah Air akibat banyaknya dosa yang telah saya
lakukan.
Suatu pagi yang dingin di depan kampus Universitas Al-Ahgaff, Yaman. Fotografer: Muhammad Asep Zakariya. |
Lima tahun—waktu
normal yang ditempuh pelajar Indonesia di Universitas Al-Ahgaff—rasanya masih
terbilang singkat untuk mengais ilmu di Kota Tarim. Bahkan, bagi saya, seumur
hidup pun masih belum cukup untuk menguras seluruh permata ilmu yang tersimpan
di negeri asal usul Wali Songo ini.
Lima tahun kuliah
di Yaman merupakan momen paling mengesankan dalam hidup saya. Saya bisa bertemu
dan berinteraksi dengan orang-orang hebat dari berbagai etnik, suku, bangsa,
dan negara tanpa memperbedakan status sosial dan latar belakang masing-masing.
Dari mereka pula, saya belajar banyak hal tentang bagaimana menyikapi perbedaan.
Waktu pun terus
berlalu.... Sudah barang tentu, saat-saat paling berat adalah ketika saya harus
pulang meninggalkan kampus tercinta dan teman-teman yang saya banggakan. Meski
pada dasarnya, kepulangan hanyalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang
lain.
Akan tetapi, kita
tahu, perpindahan merupakan keniscayaan yang mutlak. Perpisahan dan perpindahan
mesti terjadi pada waktunya nanti karena, kata Raditya Dika, hidup adalah semua tentang “perpindahan”. Kata perpindahan
sengaja saya beri tanda kutip karena ia bisa ditafsirkan bermacam-macam,
termasuk di antaranya perpindahan dari alam dunia menuju keabadian—surga.
Dan, saya yakin,
selalu ada keindahan dalam setiap perpindahan.
Judulnya unik, ada kata "indah" dalam setiap perpindahan. Klop banget dengan isi ceritanya. Oiya, sepertinya kata "asal usul" perlu dikasih tanda penghubung.
BalasHapusAsal usul adalah frasa, bukan bentuk pengulangan salin suara seperti sayur-mayur atau karut-marut. Jadi, penulisan yang benar menurut Pedoman Umum EYD adalah asal usul (tanpa tanda hubung).
HapusSukses ya mas . Sudah berhasil menyelesaikan studinya, segeralah kembali ke tanah Air untuk mendarma baktikan ilmu nya untuk bangsa dan Negara Indonesia tercinta.
BalasHapusAmin. Semoga saya bisa bertemu dengan sampean di Indonesia nanti.
HapusTentu. Oleh oleh Songkok dan Kopiahnya ditunggu
HapusMudah-mudahan enggak kehabisan :)
Hapushidup saya juga sering berpindah-pindah mas, mulai sejak lulus sd hingga sekarang masih saja saya suka pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain :)
BalasHapusYa, begitulah kehidupan, Mbak. Penuh dengan perpindahan.
HapusHijrah ada sesuatu yang lebih baik... semoga Hijrahnya abadi mas manfaat buat tempat baru nanti dan Indonesia tentunya... saya kagum sama mas Lutfi yg dianugerah sampai hadraMaut kerenn mas... sy lagi bayangin bisa muncak di tebing" tinggi itu ams ...pasti seru liat sunrise atau sunset...
BalasHapusAyo, kapan-kapan main ke sini. Jangan lupa bawa tripod dan kameranya.
Hapusayo kembali ke indonesia mas lutfi...indonesia udah kangen pada dirimu...dan selamat ya akhirnya udah selesai studinya :)
BalasHapusAlhamdulillah studinya sudah selesai, jangan terlalu lama di Tarimnya, Mas Lutfi.
BalasHapusSemoga cepet pulang dan sebarkan kembali ilmu yang di dapat,.
BalasHapusWah, banyak nih yang menunggu Lutfi pulang, ke Indonesia. Pasti banyak bawa oleh-oleh ilmu, ya. Amin...
BalasHapusamiiin semoga cepet sampe tujuan hehehe
BalasHapusSemua akan pindah pada waktunya. Mari kita berpindah menuju yang lebih indah. Begitu ya, Mas Lutfi. Dan, betapa indah beribadah sekaligus menuntut ilmu di Tarim :)
BalasHapusTerima kasih semuanya—Mbak-Mbak di atas dan Pak Muhaimin. Hari ini insya Allah saya pulang ke Indonesia.
BalasHapussemua akan pindah pada waktunya, sangat menarik sekali, memang saat paling berat adalah meninggalkan sesuatu yang kita sukai :)
BalasHapusBenar, Mas. Selalu ada kesedihan di balik perpindahan.
Hapuslhoh, merujuk ke Raditya Dika :)
BalasHapussemoga ilmu yang didapat selama 5 tahun bermanfaat nantinya dan penuh keberkahan..
Pindah ~ Hijrah, setiap perpindahan ada nafas untuk doa-doa agar menjadi lebih baik lagi
BalasHapusMasya Allah tabarokALLAH ... awsome bro ... wish u all the best
BalasHapus