Sumber foto: WIkipedia. |
Dua hal yang membuat saya agak heran
ketika teman-teman yang masih bermukim di pondok bertanya mengenai hukum agama.
Pertama, mengapa yang ditanyakan melulu tentang hukum-hukum fikih?
Kedua, persoalan yang mereka tanyakan terkesan akademis. Artinya, hanya sebuah teori yang disampaikan fukaha salaf dalam kitab-kitabnya, bukan menyangkut realitas di masyarakat saat ini sebagaimana sejatinya fungsi fikih itu sendiri. Keheranan saya di sini adalah, apakah mereka bertanya memang benar-benar untuk mencari informasi (baca: ingin tahu) atau sekadar iseng? Atau untuk menyesuaikan jawaban yang sebenarnya “sudah” mereka ketahui?
Berbeda dengan mereka yang sudah keluar dari pondok dan telah berbaur dengan masyarakat setempat. Pertanyaan yang disampaikan biasanya menyangkut problem sosial di lingkungannya. Dan jika dilihat dari aksen bicara dan gaya bahasanya, mereka bertanya karena memang benar-benar membutuhkan sebuah jawaban. Karena sudut pandang inilah, pertanyaan dari yang disebut terakhir lebih saya prioritaskan. Namun bukan berarti pertanyaan dari kelompok pertama tidak saya tanggapi saya sekali.
Beberapa waktu yang lalu, misalnya, rekan saya yang notabene pengurus senior di PP Fadllul Wahid Bandungsari, Jawa Tengah, bertanya melalui pesan pendek (SMS), “Apa hukumnya Lebaran di hari Jumat?” Sepintas, saya kurang dapat memahami karena teksnya terlalu singkat. Mungkin yang dikehendaki pesan itu seperti ini, “Apa hukumnya salat Jumat pada Hari Raya?” Pertanyaan seperti ini, sesungguhnya, tidak terlalu sulit untuk dijawab, setidaknya bagi para santri.
Mayoritas ulama fikih sepakat bahwa salat Jumat bagi orang yang sudah menetapi syarat-syaratnya adalah wajib. Sedangkan hukum salat Id adalah sunah, kecuali Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa salat Id adalah wajib.
Apabila secara kebetulan hari raya (Idul Fitri atau Idul Adha) bertepatan dengan hari Jumat, maka hal itu tidak mempengaruhi hukum asli salat Jumat dan salat Id. Sebagaimana dalam Mazhab Hanafi dan Maliki. [Bidâyah al-Mujtahid, juz 1, hlm. 211 dan Al-Hidâyah, juz 1, hlm. 423]
Kedua, persoalan yang mereka tanyakan terkesan akademis. Artinya, hanya sebuah teori yang disampaikan fukaha salaf dalam kitab-kitabnya, bukan menyangkut realitas di masyarakat saat ini sebagaimana sejatinya fungsi fikih itu sendiri. Keheranan saya di sini adalah, apakah mereka bertanya memang benar-benar untuk mencari informasi (baca: ingin tahu) atau sekadar iseng? Atau untuk menyesuaikan jawaban yang sebenarnya “sudah” mereka ketahui?
Berbeda dengan mereka yang sudah keluar dari pondok dan telah berbaur dengan masyarakat setempat. Pertanyaan yang disampaikan biasanya menyangkut problem sosial di lingkungannya. Dan jika dilihat dari aksen bicara dan gaya bahasanya, mereka bertanya karena memang benar-benar membutuhkan sebuah jawaban. Karena sudut pandang inilah, pertanyaan dari yang disebut terakhir lebih saya prioritaskan. Namun bukan berarti pertanyaan dari kelompok pertama tidak saya tanggapi saya sekali.
Beberapa waktu yang lalu, misalnya, rekan saya yang notabene pengurus senior di PP Fadllul Wahid Bandungsari, Jawa Tengah, bertanya melalui pesan pendek (SMS), “Apa hukumnya Lebaran di hari Jumat?” Sepintas, saya kurang dapat memahami karena teksnya terlalu singkat. Mungkin yang dikehendaki pesan itu seperti ini, “Apa hukumnya salat Jumat pada Hari Raya?” Pertanyaan seperti ini, sesungguhnya, tidak terlalu sulit untuk dijawab, setidaknya bagi para santri.
Mayoritas ulama fikih sepakat bahwa salat Jumat bagi orang yang sudah menetapi syarat-syaratnya adalah wajib. Sedangkan hukum salat Id adalah sunah, kecuali Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa salat Id adalah wajib.
Apabila secara kebetulan hari raya (Idul Fitri atau Idul Adha) bertepatan dengan hari Jumat, maka hal itu tidak mempengaruhi hukum asli salat Jumat dan salat Id. Sebagaimana dalam Mazhab Hanafi dan Maliki. [Bidâyah al-Mujtahid, juz 1, hlm. 211 dan Al-Hidâyah, juz 1, hlm. 423]
Adapun Mazhab Syafii, yang dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia, berpendapat bahwa penduduk desa (ahlul qaryah) yang ikut menghadiri salat Id di kota (ahlul balad), diperbolehkan untuk tidak melaksanakan salat Jumat. Alasannya, jika mereka tetap ditaklif akan merasa keberatan, karena harus pulang dulu ke rumah masing-masing lalu kembali lagi, atau menunggu di masjid hingga siang. Padahal, kita tahu, di antara uzur salat Jumat adalah timbulnya masyaqat. Sementara untuk mereka yang tinggal di kota tetap berkewajiban menunaikan salat Jumat sebagaimana mestinya. Keterangan mengenai hal ini dapat dilihat di “Ensiklopedi Mazhab Syafii” atau kitab Al-Umm juz 1 halaman 212.
Lain lagi dengan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan bahwa semuanya, baik penduduk kota maupun desa, yang ikut menghadiri salat Id tidak berkewajiban salat Jumat kecuali imam. [Mughnî Ibn Qudâmah, juz 2, hlm 265]
Dalil
Pendukung
Berdasarkan riwayat yang diterima dari gurunya di Madinah, Imam Syafii berpedoman pada perkataan Utsman bin Affan radliyallahu anhu. “Sesungguhnya dalam sehari ini, ada dua hari raya sekaligus (maksudnya Idul Fitri dan hari Jumat). Bagi penduduk Aliyah (sebuah desa kecil di dataran tinggi Madinah) yang ingin menunggu sampai tiba waktunya salat Jumat, saya persilakan. Dan yang ingin pulang ke rumah juga saya persilakan.” Pernyataan Utsman ini disampaikan saat khotbah salat Id di hadapan semua sahabat, dan tidak satu pun dari mereka yang mengingkarinya.
Sebenarnya, dalam qaul jadid—fatwa-fatwa Imam Syafii ketika di Mesir—sudah tidak memakai perkataan sahabat (qaul shahabi) sebagai dalil untuk penetapan hukum. Akan tetapi, perkataan Utsman di atas sesuai dengan kiyas—salah satu dalil yang sudah disepakati oleh semua imam-imam mazhab.
Sementara Abu Hanifah, yang mengatakan hukum keduanya adalah wajib, berargumen bahwa selama tidak ada dalil yang mengubahnya maka hukum itu tetap berlaku. Mungkin riwayat Imam Malik di atas tidak sampai kepada Imam Abu Hanifah sehingga beliau menyimpulkan demikian.
Uniknya, Imam Malik sendiri yang meriwayatkan perkataan Utsman tersebut justru tidak menggunakannya. Padahal, dalam tradisi usul fikih Mazhab Maliki, qaul shahabi termasuk dalil yang mereka buat pedoman.
Adalah Imam Az-Zarqani yang memberi komentar atas kitab Al-Muwatha' karya Imam Malik. Setelah menyampaikan cerita Utsman di atas, ia memberikan apologi dengan mengatakan, “Seorang penguasa/khalifah tidak bisa memberi dispensasi bagi rakyatnya untuk meninggalkan suatu kewajiban.” [Lihat: Az-Zarqâniy alâ al-Muwatha', juz 2, hlm. 115]
Masih menurut Az-Zarqani, “Dalam perkataan Utsman itu tidak ada klausul yang mengindikasikan bahwa penduduk Aliyah kembali lagi ke masjid untuk melaksanakan salat Jumat. Atau mungkin saja penduduk Aliyah tersebut bukan termasuk orang yang berkewajiban menghadiri salat Jumat karena rumah mereka terlalu jauh. Karena itulah, Mazhab Maliki tetap mewajibkan salat Jumat bagi semuanya.”
Demikian penjelasan saya mengenai pertanyaan di atas. Semoga dapat memberi manfaat bagi semuanya.
Berdasarkan riwayat yang diterima dari gurunya di Madinah, Imam Syafii berpedoman pada perkataan Utsman bin Affan radliyallahu anhu. “Sesungguhnya dalam sehari ini, ada dua hari raya sekaligus (maksudnya Idul Fitri dan hari Jumat). Bagi penduduk Aliyah (sebuah desa kecil di dataran tinggi Madinah) yang ingin menunggu sampai tiba waktunya salat Jumat, saya persilakan. Dan yang ingin pulang ke rumah juga saya persilakan.” Pernyataan Utsman ini disampaikan saat khotbah salat Id di hadapan semua sahabat, dan tidak satu pun dari mereka yang mengingkarinya.
Sebenarnya, dalam qaul jadid—fatwa-fatwa Imam Syafii ketika di Mesir—sudah tidak memakai perkataan sahabat (qaul shahabi) sebagai dalil untuk penetapan hukum. Akan tetapi, perkataan Utsman di atas sesuai dengan kiyas—salah satu dalil yang sudah disepakati oleh semua imam-imam mazhab.
Sementara Abu Hanifah, yang mengatakan hukum keduanya adalah wajib, berargumen bahwa selama tidak ada dalil yang mengubahnya maka hukum itu tetap berlaku. Mungkin riwayat Imam Malik di atas tidak sampai kepada Imam Abu Hanifah sehingga beliau menyimpulkan demikian.
Uniknya, Imam Malik sendiri yang meriwayatkan perkataan Utsman tersebut justru tidak menggunakannya. Padahal, dalam tradisi usul fikih Mazhab Maliki, qaul shahabi termasuk dalil yang mereka buat pedoman.
Adalah Imam Az-Zarqani yang memberi komentar atas kitab Al-Muwatha' karya Imam Malik. Setelah menyampaikan cerita Utsman di atas, ia memberikan apologi dengan mengatakan, “Seorang penguasa/khalifah tidak bisa memberi dispensasi bagi rakyatnya untuk meninggalkan suatu kewajiban.” [Lihat: Az-Zarqâniy alâ al-Muwatha', juz 2, hlm. 115]
Masih menurut Az-Zarqani, “Dalam perkataan Utsman itu tidak ada klausul yang mengindikasikan bahwa penduduk Aliyah kembali lagi ke masjid untuk melaksanakan salat Jumat. Atau mungkin saja penduduk Aliyah tersebut bukan termasuk orang yang berkewajiban menghadiri salat Jumat karena rumah mereka terlalu jauh. Karena itulah, Mazhab Maliki tetap mewajibkan salat Jumat bagi semuanya.”
Demikian penjelasan saya mengenai pertanyaan di atas. Semoga dapat memberi manfaat bagi semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!