Pages - Menu

Sabtu, 01 Juni 2013

Tanya Jawab (2)



Entri ini merupakan serial tanya-jawab atas pertanyaan dari beberapa teman mengenai apa saja. Perbedaan dengan tulisan di label Tanggapan yang lainnya, jawaban di sini saya tulis lebih singkat tanpa ulasan panjang lebar. Dan untuk membedakan antara pertanyaan dan jawaban, tulisan yang bergaya miring adalah pertanyaan, dan yang tegak adalah jawabannya. Selamat menyimak!




***
Tahun lalu, Pemerintah menolak pesaksian seorang perukyat di Cakung, Jakarta Timur. Alasannya, ketika dimintai keterangan tidak sesuai dengan pendapat mayoritas ahli Hisab. Padahal orang itu sudah disumpah dan secara hukum fikih mestinya diterima. Tanggapan kamu?
Saya sepenuhnya mendukung keputusan pemerintah itu. Secara intelektual, saya senang sekali. Secara spiritual, saya kagum. Tetapi secara politis, saya sangat terganggu. Ketika negara-negara lain mengkritik kebijakan Pemerintah Indonesia yang menetapkan standar imkanur rukyat hanya sebesar 2 derajat yang dinilai terlalu rendah, ada saja rakyatnya yang mengaku melihat hilal saat posisinya baru 1.3 derajat. Di lain pihak, ada kecurigaan di balik pesaksian tersebut. Karena jika pesaksian orang itu diterima, otomatis akan menguntungkan ormas yang ia ikuti, karena sesuai dengan metode hisab dan kalender yang telah mereka edarkan. Bukankah dalam kitab fikih dijelaskan bahwa salah satu syarat dari saksi harus terbebas dari tuduhan (baca: adamut tuhmah) semacam itu?!

***
Semenjak kapan bangsa Arab mengenal tanda baca (harakat) dan titik pada aksara mereka? Dan siapa perintis pertamanya?
Pada awal mulanya, tulisan Arab memang tidak mempunya tanda titik dan harakat. Sampai pada masa Abul Aswad Ad-Du'aliy (69 H), seorang tabi'in dari kalangan bani Kinanah yang mempunyai nama lengkap, Zhalim bin Umar bin Zhalim al-Bashriy menyampaikan keluhannya kepada sayyidina Ali karramallâhu wajhah atas kesalahan orang-orang Arab dalam berbicara. Kesalahan tersebut ditinjau dari segi i'rab atau harakat, mereka tidak bisa membedakan mana fa'il (pelaku) yang mestinya dibaca rafa' dan mana maf'ul (objek) yang harus dibaca nashab. Atas instruksi dari Sayyidina Ali, ia membuat pedoman bacaan sebagai solusi untuk memecahkan masalah ini. Untuk mebedakan antara harakat satu dan yang lainnya, Abul Aswad memberi tanda titik di atas huruf untuk menunjukkan harakat fathah, titik di tengah untuk tanda dlammah dan titik di bawah untuk tanda kasrah.
Keadaan ini berlangsung hingga masa Al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafiy (95 H) ketika muncul permasalahan baru. Jika persoalan sebelumnya terkait dengan tanda baca, kali ini menyangkut huruf-huruf yang mempunyai kemiripan bentuk, seperti ba' dan ta', jim dan ha' dan sebagainya. Lalu Al-Hajjaj memerintahkan Nashr bin Ashim al-Laitsiy (90 H) untuk memecahkan permasalahan ini. Nashr bin Ashim yang terinspirasi dari gurunya, Abul Aswad Ad-Du'aliy, melakukan hal yang sama yaitu memberi (menambah) tanda titik untuk membedakan huruf-huruf yang serupa tadi. Dengan demikian, orang Arab sudah mengenal harakat sejak masa Abul Aswad ad-Du'aliy dan tanda titik-titik pada abad pertama Hijriyah.

***
Waktu kuliah pelajaran Fikih Muqaran kemarin, ketika sampai bab perbedaan matlak, Doktor Izzuddîn As-Sûdâniy menjelaskan bahwa Matahari dan Bulan itu seolah-olah berkejar-kejaran dalam peredarannya selama sehari semalam. Maksudnya bagaimana? Bukankah Bumi mengelilingi Matahari dan Bulan mengelilingi Bumi?!
Sebelum memahami pergerakan benda-benda langit, harus diketahui terlebih dahulu dari sudut mana kita memandang. Dalam pelajaran IPA di kelas 3 SD, telah dijelaskan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari selama setahun. Sementara bulan mengitari bumi selama sebulan sekali. Di samping itu, bumi juga berputar pada porosnya (rotasi) yang mengakibatkan terjadinya siang dan malam. Jika dilihat dari sudut pandang pengamat di bumi, maka seolah-olah keduanya (matahari dan bulan) berputar mengelilingi bumi. Para ahli ilmu Hisab mengibaratkan pergerakan dua benda langit tersebut dengan kedua jarum jam. Jarum pendek adalah bulan dan jarum panjang adalah matahari. Jika kita perhatikan secara saksama, kedua jarum tersebut seolah saling mengejar. Dan pada saat tertentu, posisi keduanya akan lurus sejajar, seperti pada pukul 12.00, 13.05, 14.11, dan seterusnya. Dalam dunia astronomi, keadaan sejajar matahari-bulan disebut dengan peristiwa konjungsi atau ijtima'. Satu bulan astronomis (Syahr falakiy) adalah interval antara satu konjungsi dengan konjungsi berikutnya. Sedangkan bulan menurut syarak (Syahr syar'iy) ditandai dengan munculnya hilal di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam. Hipotesis yang berkembang adalah bulan terbit dari arah barat. Sebenarnya, baik matahari maupun bulan, sama-sama terbit dari arah timur dan terbenam di arah barat. Namun saat memasuki awal bulan baru, bulan "terlambat terbenam" dari matahari hingga ia disangka terbit dari barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!