Pages - Menu

Jumat, 02 Agustus 2013

Pesona Tarim di Bulan Ramadan

Acara buka bersama di Darul Musthofa, Tarim,
Hadhramaut, Yaman. Foto: Ulin Nuha.
Selama empat tahun saya tinggal di Negara Yaman, mungkin inilah puncak musim panas bulan puasa yang pernah saya alami. Hal itu dapat dilihat dari jadwal salat Magrib pada awal Ramadan lalu, yaitu pukul enam lebih dua puluh empat menit. Sekadar perbandingan, berikut adalah waktu Magrib awal Ramadan tiga tahun sebelumnya: tahun 2012 (18.22), tahun 2011 (18.19) dan tahun 2010 (18.14). Itu artinya, puasa kali ini lebih panjang dan lama dari tahun-tahun sebelumnya karena waktu berbuka puasanya semakin mundur.

Tak mengherankan jika ada sebagian dari teman Indonesia yang mengeluh dan memilih menghabiskan waktunya seharian di dalam kamar sambil menyalakan pendingin ruangan sekaligus kipas angin. Walaupun sejatinya, kondisi di Tarim masih relatif normal jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang beriklim subtropis. Seorang pelajar di Negara Kanada, misalnya, menceritakan bahwa saat ini waktu Magrib di sana sekitar pukul 22.30 yang berarti umat muslim berbuka puasa ketika orang-orang di sekitarnya sedang terlelap tidur.

Tarim, kota terbesar di Provinsi Hadramaut, Yaman, memang terkenal sebagai daerah yang sangat panas. Letaknya yang jauh dari laut dan dikelilingi pegunungan batu membuat angin yang berembus di daerah ini terasa kering dan menyengat. Saking panasnya, bahkan pakaian yang dijemur bisa kering hanya dalam tempo setengah jam saja.

Kondisi udara yang tidak nyaman seperti itu, ditambah durasi puasa yang lebih panjang dari biasanya, tentu sangat melelahkan dan menguras stamina. Namun demikian, hal tersebut tidak mengurangi minat para pelajar atau wisatawan untuk menjalani ibadah puasa di kota berjuluk seribu wali ini. Ya, karena yang mereka cari bukanlah kenikmatan duniawi tapi kenyamanan dan kekhusyukan dalam beribadah. Dan untuk hal ibadah, Tarim adalah surga dunia bagi hamba-hamba Allah yang bertakwa dan selalu merindukan ketenteraman dalam ritual ibadah mereka. Seorang penyair Arab berkata, Seandainya para filsuf itu dapat merenungi keindahan kota ini, maka mereka akan berkata, Sesungguhnya surga dunia itu adalah Tarim.

Kala sore hari tiba, atau satu setengah jam menjelang buka puasa, aktivitas penduduk Tarim mulai tampak terlihat. Berbagai kedai teh dan  toko yang menjual aneka ragam makanan, sudah membuka pintunya lebar-lebar. Kondisi lalu lintas di jalanan pun terlihat sibuk. Semakin sore dan gelap, suasana bertambah ramai.

Setengah jam menjelang magrib, jalanan semakin riuh dan padat. Kadang kita harus menunggu beberapa saat untuk dapat menyeberangi jalan. Masjid-masjid yang menyediakan takjil gratis juga sudah mulai menyiapkan hidangan berbuka puasa.

Salah satu masjid favorit yang menyediakan takjil dan menjadi langganan teman-teman mahasiswa Al-Ahgaff adalah masjid Jamalul Lail. Masjid yang selesai dibangun pada tahun 2010 ini, oleh yang mewakafkannya memang diperuntukkan untuk mahasiswa Al-Ahgaff. Para pengurusnya pun juga dari mahasiswa Al-Ahgaff, mulai dari muazin, imam, dan tukang bersih-bersih. Letaknya yang tidak terlalu jauh (sekitar 200 meter ke arah barat daya dari asrama) membuatnya mudah untuk dijangkau, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai sepeda motor.

Selepas salat Magrib, suasana menjadi tenang karena semua orang berkumpul di rumah masing-masing untuk menyantap hidangan berbuka puasa. Keheningan ini tidak bertahan lama. Sebab, ketika masuk waktu Isya, sebagian masjid sudah mengumandangkan azan sebagai ajakan untuk mereka yang ingin menjalankan salat Isya dan Tarawih lebih awal.

Ada ratusan jumlah masjid yang tersebar di kota tempat nenek moyang Wali Songo ini. Kebanyakan dari masjid-masjid itu berukuran kecil. Walaupun berukuran kecil, orang sini tetap menyebutnya masjid, bukan musala sebagaimana yang lazim kita kenal di Indonesia. Jarak antara satu masjid ke masjid berikutnya hanya beberapa puluh meter saja.

Jika salat Isya di bulan selain Ramadan berlangsung seperti biasa, maka kali ini sangat berbeda. Anda tidak perlu khawatir ketinggalan jemaah salat Tarawih dan bisa bersantai dulu beberapa jam setelah berbuka puasa. Sebab hampir semalaman penuh, selalu ada masjid yang sedang aktif menjalankan salat tarawih. Satu masjid selesai, disusul masjid yang lainnya, dan begitu seterusnya. Bahkan dalam satu malam, kita bisa melaksanakan salat Tarawih seratus rakaat secara berjemaah di masjid.

Semua masjid-masjid itu tidak melaksanakan salat Tarawih secara serentak. Ada yang memualianya pukul delapan, ada pula yang menjelang waktu sahur. Berikut sebagian nama-nama masjid yang sering dikunjungi para pelajar Indonesia beserta jadwal salat Tarawihnya.

Masjid Al-Ihsan, pukul 20.00; masjid Sahal, pukul 20.30; masjid Bir, pukul 21.00; masjid Jamalul Lail, pukul 21.00; masjid Ba Alawi, pukul 23.15; masjid As-Segaf, pukul 00.00; masjid Muhdlor, pukul 00.30; masjid Jami', pukul 01.30; masjid Maula Aidid, pukul 02.30.

Kegiatan yang tidak kalah menariknya adalah khataman Alquran. Seperti halnya salat Tarawih, untuk khataman Alquran setiap masjid juga punya jadwalnya sendiri. Musala Ahlul Kisa' di Darul Musthofa, misalnya, mengadakan khataman setiap malam ke-17 bulan Ramadan. Yang membuat saya terkesan setiap kali menghadiri acara di Musala ini adalah jamuan makannya yang lezat. Tidak hanya menu takjil seperti kurma dan air putih, selepas salat Magrib dan salat Tasbih semua yang hadir di sana disuguhi makan malam dengan menu khas Arab: nasi kebuli dan daging kambing.

Sementara tempat khataman Alquran yang tidak kalah meriahnya adalah masjid As-Segaf pada tanggal 25 Ramadan, masjid Ba Alawi pada tanggal 27 dan masjid Al-Muhdlor pada tanggal 29 Ramadan. Acara tersebut tidak hanya dihadiri oleh penduduk Tarim saja, tapi banyak juga yang dari luar kota. Bahkan di antara mereka rela datang beberapa jam sebelumnya untuk bisa duduk di dalam masjid. Selain yang saya sebutkan di atas, masih banyak lagi masjid-masjid yang melakukan acara serupa.

Aktivitas yang bertema hiburan juga tidak kalah meriahnya. Sebuah lapangan sepak bola di kawasan Aidid yang pada malam-malam biasa tampak seperti rawa, diubah menjadi stadion mini yang menggelar kompetisi sepak bola antarpemuda Yaman. Empat lampu berukuran raksasa dipancangkan di semua sudut lapangan. Suara komentator di dalam pengeras suara meraung-raung seperti tak kenal lelah. Sorak-sorai suporter yang ada di sekelilingnya membuat suasana malam semakin hidup dan semarak. Mereka bermain bola hingga pukul 03.00 dini hari.

Semua aktivitas keagamaan dan gegap gempita hiburan di atas baru benar-benar usai ketika fajar menyingsing sebagai tanda masuknya waktu subuh. Dan setelah jemaah salat subuh selesai, praktis, suasana berubah menjadi sepi dan senyap. Suara kendaraan yang lalu lalang di jalan, baik beroda dua atau empat, bisa dihitung dengan jari. Pada saat itu, semua penduduk Yaman, tak terkecuali para pelajar Indonesia, sudah memulai istirahat panjangnya (tidur) untuk kemudian bangun pada beduk zuhur dan melakukan aktivitasnya masing-masing.

Semoga kita semua masih diberikan nikmat oleh Allah subhanahu wataala. untuk bertemu lagi di bulan puasa tahun depan.

1 komentar:

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!