Sepak bola gajah, sebuah frasa yang menggambarkan ketidaksportifan dalam olahraga. | Sumber foto dari sini |
Baru saja saya menyaksikan final bola voli antarkelas di kampus Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Ahgaff Yaman yang paling buruk sepanjang sejarah. Semenjak digelarnya kompetisi ini beberapa tahun yang lalu, inilah pertandingan yang sangat menggelikan dan sama sekali tidak menghibur. Pertandingan kali ini mempertemukan kelas tiga dan kelas lima. Di atas kertas, kelas lima lebih diunggulkan.
Pada set pertama dan kedua, pertandingan masih berjalan normal dan menarik. Kedua tim saling melakukan serangan dan sesekali smes-smes tajam. Walaupun dominasi kelas lima tampak lebih kentara karena adanya beberapa orang Arab yang mempunyai postur tubuh lebih tinggi. Set pertama dimenangi oleh kelas lima dengan mudah, begitu juga dengan set kedua. Meskipun begitu, kelas tiga juga (masih) tampak memperlihatkan perlawanannya.
Kegaduhan mulai terlihat di babak ketiga. Dimulai ketika salah seorang suporter kelas lima yang selalu memasuki arena lapangan ketika bola mati. Para suporter kelas lima, yang sedari awal sudah yakin timnya bakal menang, tampaknya ingin membuat sensasi dan mencari "hiburan baru". Saya tidak tahu pasti siapa yang memulai dan apakah hal semacam ini telah direncanakan sebelumnya. Mereka saling mendorong dan memaksa para suporter (bukan pemain cadangan) turun ke lapangan melakukan pergantian pemain. Beberapa kali saya juga didorong untuk ikut masuk, namun selalu saya tolak karena memang tak ada keinginan untuk bermain.
Ritme permainan yang sebelumnya tampak rapi berubah menjadi karut-marut. Alih-alih segera menyelesaikan pertandingan, kelas lima justru mengulur waktu dan "menikmati" permainannya sendiri. Di lain pihak, kelas tiga bermain dengan performa terbaiknya dan penuh sportifitas. Mereka sama sekali tidak mengubah komposisi para pemain. Walhasil, babak ketiga dimenangi dengan mudah oleh kelas tiga.
Memasuki babak keempat, pemandangan tak terduga terlihat. Tak satu pun pemain kelas tiga yang memasuki lapangan ketika wasit telah meniup peluit pertanda pertandingan akan segera dimulai. Mereka justru menurunkan seluruh suporternya yang rata-rata bertubuh mungil itu.
Tentu saja para 'pemain inti' kelas lima terkejut melihat pemandangan di depannya. Mereka tak mengira, lawakannya pada babak ketiga akan berlanjut ke babak keempat, dan mereka sendiri yang akan menjadi aktor di dalamnya. Anda dapat beranga-angan sendiri bagaimana jalannya pertandingan pada babak keempat, tragis. Saya jadi teringat ungkapan dalam bahasa Jawa, "menang ora kondang, kalah ngisin-ngisini" yang berarti "menang tidak hebat, kalah memalukan". Dan saya rasa, kemenangan mereka itu juga memalukan.
Peristiwa ini juga mengingatkan saya kembali pada tragedi "Sepak Bola Gajah" lima belas tahun silam. Waktu itu, tim sepak bola Indonesia sedang melawan Timnas Thailand dalam turnamen Piala Tiger 1998 (sekarang Piala AFF) yang diselenggarakan di Vietnam.
Kedua tim berada satu tempat di grup B. Keduanya memiliki poin yang sama dan sudah dipastikan lolos ke semifinal. Indonesia lebih unggul melalui selisih gol dan berada di puncak klasemen, sementara Thailand berada di urutan kedua. Pertandingan ini hanya sebagai penentu siapa yang menjadi juara di grup B dan–sesuai peraturan–akan bersua dengan tuan ruman Vietnam, yang menjadi runner-up grup A. Sedangkan runner-up grup B akan bertemu dengan juara grup A, Singapura
Anehnya (sebenarnya wajar sih), baik Indonesia maupun Thailand tidak begitu bergairah dan cenderung ingin mengalah saja. Sejak kick-off babak pertama pertandingan berjalan sangat lamban. Hingga pada masa perpanjangan waktu, kedudukan skor masih imbang 2-2.
Diawali dengan lemparan ke dalam oleh Uston Nawawi kepada Aji Santoso, bola hanya berkutik di daerah pertahanan Indonesia, hingga akhirnya sampai pada kaki Mursyid Effendy. Dengan satu sentuhan saja, ia melakukan tendangan sedikit melambung ke gawang sendiri, bahkan kiper yang menjaga gawang saat itu hanya berdiam mempersilakan bola masuk ke gawangnya. Mursyid dan pemain Indonesia lainnya pun langsung melakukan sebuah selebrasi kecil-kecilan berupa tepuk tangan diiringi dengan senyuman manis. Sungguh sebuah gol yang indah yang rela mengorbankan harga diri bangsa Indonesia. Gol tersebut membuat skor 3-2 untuk keunggulan Thailand dan bertahan hingga pertandingan usai, kemenangan pun akhirnya dimiliki oleh Thailand.
Sampailah pada babak semifinal. Seakan dihinggapi oleh sebuah karma, ternyata Indonesia dan Thailand sama-sama kalah pada pertandingan semifinal. Indonesia yang diprediksi akan menang mudah menghadapi timnas Singapura ternyata harus mengakui kehebatan lawannya.
Akhirnya pertandingan Final Piala Tiger 1998 pun mempertemukan Vietnam dan Singapura, ajaibnya saat itu Singapura-lah yang menjadi juara turnamen dua tahunan tersebut. Sementara Indonesia harus puas menjadi juara ketiga seteleh pada pertandingan perebutan juara ketiga, Indonesia menang adu penalti melawan Thailand setelah 120 menit sebelumnya kedua tim bermain imbang 3-3.
Kemenangan (baca: menjadi juara), mestinya bisa menaikkan harga diri dan prestise sebuah tim–tanpa menganggap remeh lawan yang dihadapinya. Namun, saya tidak melihat itu pada pertandingan voli tadi. Semoga kedua tim bisa menerima "kekalahan" masing-masing dengan lapang dada. Salam olah raga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!