Di depan perpustakaan kampus Fakultas Syariat dan Hukum Universitas Al-Ahgaff. Foto: Sulaeman/Pakistan |
Sebagai orang Jawa yang hidup dengan
tradisi unggah-ungguh yang sangat kuat, saya sudah dilatih dan terbiasa untuk
memanggil saudara atau kerabat yang lebih tua dengan kata sapaan sebelum
menyebut nama aslinya. Atau jika ingin meringkas, maka cukup hanya dengan kata
sapaannya saja.
Mas, kakang, mbak, dan mbakyu adalah
beberapa contoh kata sapaan untuk memanggil kakak kandung atau saudara senenek (sepupu)
kita. Sedangkan untuk saudara ibu atau bapak, ada kata paman, bibi, uak, tante,
dan lain sebagainya. Akan tetapi, untuk yang terakhir, saya lebih nyaman
menyebut pakde—kependekan dari bapak gede—untuk menyapa kakak laki-laki ibu
atau bapak. Begitu juga dengan paklik—kependekan dari bapak cilik—untuk menyapa
adik laki-laki ibu atau bapak. Atau jika terpaksa harus meringkas lagi, maka
cukup dengan 'de' atau 'lik' saja.
Ketentuan di atas tidak hanya untuk kerabat
dan sanak saudara, tetapi juga berlaku pada orang-orang di sekitar kita,
misalnya, para tetangga dan anak-anaknya. Lebih dari itu, orang-orang yang tidak/belum
kita kenal sama sekali.
Biasanya saya mengategorikan mereka—terutama
yang belum kenal—berdasarkan perkiraan umur. Untuk yang berumur belasan tahun
hingga 30-an, saya memanggilnya mas/kang. Tiga puluh sampai 40 tahun, saya
panggil paklik. Di atasnya lagi, 40 sampai 50 saya panggil pakde. Di atas 50
tahun, kadang masih saya panggil pakde, namun tak jarang juga berubah jadi
mbah. Semua itu bukan ketentuan pasti, tetapi hanya perkiraan dan sangat
mungkin ketika saya berumur 40 tahun kelak, pedoman di atas akan berubah.
Selanjutnya, sebagai imbas dari semua
itu, saya juga mendapat perlakuan yang sama. Adik-adik saya, baik kandung
maupun sepupu, memanggil saya dengan sebutan mas. Orang asing yang kebetulan
ketemu di jalan juga menyapa demikian. Bahkan mereka yang jelas-jelas lebih tua
dari saya kadang kala tetap memanggil mas—sekadar untuk menghormati.
Selain sapaan mas, kadang saya juga
mendengar kata-kata lain yang bersinonim seperti cak, kak, kang, atau bang, tergantung
dari mana asal usul orang yang memanggil tersebut. Misalnya panggilan cak saya peroleh dari arek Jawa Timur, kang dari orang Sunda, dan bang dari etnis Melayu yang
tinggal di Sumatera dan Kalimantan.
Interaksi verbal semacam itulah yang
selama ini saya alami dan praktikkan dengan orang-orang di dunia nyata. Lantas bagaimana
dengan orang-orang di dunia tanwujud internet?
Teman-teman narablog, selama belum pernah bersemuka langsung, masih saya anggap sebagai orang yang belum saya kenal (dalam arti kata yang seluas-luasnya). Oleh karena itu, saya selalu
Dan sepertinya tak ada masalah. Terbukti, tak satu pun dari mereka yang melayangkan protes. Kecuali satu orang yang—tidak saya sebutkan namanya—keberatan jika dipanggil mbak. Ia minta dipanggil 'dik' saja karena merasa usianya lebih muda. Tentu saja jenis perempuan seperti ini sangat langka dan saya tidak dapat mempraktikkan sapaan 'dik' kepada semua narablog perempuan yang usianya lebih muda. Bisa-bisa nanti saya dituduh sok dekat dan akrab, misalnya.
Seminggu terakhir ini, saya rajin berkunjung ke rumah maya sahabat narablog. Seperti biasa, saya sempatkan meninggalkan komentar di sana dan tak lupa mencentang kotak 'notifikasi email' untuk mengetahui kalau-kalau ada balasan dari pemilik blog.
Di antara sekian banyak balasan itu, ada satu yang terasa janggal. "Iya, Pak. Semoga mereka diberi ketabahan," tulis salah seorang blogger asal Jakarta. Janggal karena saya baru berusia 25 tahun (tepatnya pada 27 Desember lalu) dan belum menikah sehingga wajar jika masih merasa mas, belum jadi pak (bapak) apalagi mbah. Saya sama sekali tidak tersinggung dengan sapaan seperti itu, lebih merasa penasaran: atas dasar apa ia menyapa saya demikian? Sementara ini ada dua kemungkinan yang muncul dalam benak saya.
Pertama, saya memang sudah kelihatan tua. Seperti kata salah seorang teman yang saya tulis di Status Facebook, "Sebenarnya kamu masih muda, cuma boros di muka saja." Ada juga yang berkata di hari ulang tahun saya yang ke-23, "Apa enggak terbalik? Seharusnya umurmu 32, bukan 23!" Padahal foto yang terpampang di akun Google Plus—yang selalu saya gunakan untuk aktivitas blog walking—adalah foto empat tahun yang lalu, yaitu ketika usia saya masih 21 tahun.
Kedua, mungkin etiket berkomunikasi di lingkungan yang bersangkutan memang seperti itu: menyapa orang yang belum dikenal dengan sebutan pak alih-alih mas dan sejenisnya. Misalnya para pegawai kantoran yang menyapa para tamu dengan sebutan pak, meskipun usianya masih muda.
Sekali lagi, saya tidak tersinggung, tidak juga terganggu, apalagi marah dengan sapaan pak. Malah saya berterima kasih karena komentarnya itu sekaligus menjadi ide awal tulisan ini.
Bagaimana Anda menyapa saya: mas, pak atau cukup nama saja? Lalu Anda lebih suka dipanggil apa: mas/mbak, pak/bu atau cukup nama saja?
Tidak jauh sepertinya. Saya juga menggunaan sapaan seperti yang mas Lutfi gunakan. Kadang malah yang diketahui lebih mudah dari saya, tapi tetap tak panggil mas/mbk. Terlebih bagi yang baru saya kenal. Karena juga untuk menghormati, jadi selalu mengedepankan asusmi "saya lebih muda darinya". Kalau panggilan "Pak", saya jadi teringat Om Mario Teguh (sok akrab, hihi). Beliau kan kalau dalam acara MTGWnya selalu memanggil Pak/Ibuk pada pemirsa studio tak mandang usia, semua disama ratakan :). Salam saya, mas :)
BalasHapusHihihii,, saya paling sebel kalo dipanggil "Bu", baik sama mbak-mbak di swalayan maupun orang-orang yang terkait dengan pekerjaan saya di Swasta dulu, berasa tua banget padahal anak aja belom ada, hehee.....
BalasHapusnamun sekarang kalo dipanggil "Ibu" sama siswa-siswa saya yang rata-rata anak usia 7-12 tahun kok rasanya adem banget ya....
aneh kan? hehee....
Berarti sudah saatnya Mbak Emi punya momongan. Hehe
Hapusuntuk lebih akrabnya sih panggil mas saja, mas... aku tetap panggil sampean mas senajan lebih tua aku.... sebuah pengalaman kecil pernah di dalam bus aku dipanggil mas oleh seorang bapak. jelas lebih tua dia kan... memanggil mas pada orang asing seolah lebih sopan kesannya... dan panggilan mas juga terasa lebih mesra... hehehehe
BalasHapusHahaha... Boleh-boleh. Teman-teman saya di sini juga banyak yang memanggil pak bahkan mbah.
HapusSaya panggil mas saja ya?
BalasHapusKalau saya sih masih seneng aja dipanggil mbak di kampus, atau teteh di daerah rumah saya :)
Tp lucunya kalo di bank, sy sering banget dipanggil teller dengan sebutan ibu -_-
Dengan senang hati.
HapusPetugas bank kan seorang pelayan publik, jadi sebagai tuntutan pekerjaan, sudah semestinya mereka harus menyapa dengan pak/bu sama seperti operator pusat panggilan (call center) telepon seluler.
menghargai orang yang lebih tua :)
BalasHapusSaya justru punya pengalaman berkali kali di komeni di blog ku trus di sapa Mas, dan Kang.. Gak abis pikir, tu teman baca atau tidak baca atau malah tidak nyadar yah kalau dari nama saya udah jelas wanita kan? Hehehe.. Manggil mbak atau bu gak jadi masalah karena siswa saya manggil Ibu meski belum nikah, sudah terbiasa.. Asal jangan panggil mas atau Kang, itu kebangetan! Hehehe
BalasHapusPernah dengar beberapa kali cerita mirip dengan yang sampean alami. Tapi saya belum pernah dengar ada cerita laki-laki dikira perempuan. Hehe
Hapussedikit nambahi..
Hapuskalo di bank itu memang sudah prosedurnya dipanggil pak/ibu kecuali costumer dikenal secara personal.
klo saya sih lebih enjoy di panggil mas... kesannya kelihatan muda, meskipun usia saya saat ini sebenarnya masih 20 tahun hhee..
BalasHapusKalau saya sesama sahabat atau teman yang lebih tua biasanya saya lebih akrab dengan sapaan 'Cak' hehehehe
BalasHapussebuah sapaan untuk masyarakat Indonesia ya mas. Kalau di luar negeri, mungkin kata sapaan nya lain lagi :)
BalasHapuskalau saya kebiasaan memanggil orang yg baru kenal yang diluar hubungan formal/kerja pakai sebutan Mbak/ Mas, begitu pun di Blogging ini, saya sering ngasih nama panggilan Mbak/Mas. Ada beberapa saya ikutan manggil Pak atau Kang.
BalasHapusjujur saja, saya biasa memanggil kakak dengan namanya langsung, tidak sopan memang...tapi kalau manggil dengan sebutan 'kakak' malah terasa janggal di lidah
BalasHapusbarangkali karena tidak pernah bertatap muka sehingga mungkin dia mengira kalau usianya sudah pantas kalau dipanggil pak
BalasHapusassalamualaikum.
BalasHapusbarusan blogwalking ke blognya mas lutfi lihat2 entri :)
orang purwodadi ya?pulokulon?
temanku acik juga tinggal di daerah sana.
skrg sedang nuntut ilmu di ahgaff?
ah kalo tdk salah itu di ibukota yaman kan ya?
Bukan, Mbak Ina. Universitas Al-Ahgaff ada di kota Tarim, provinsi Hadhramaut, Yaman bagian selatan. Sedangkan ibu kotanya (Sana'a) ada di Yaman bagian utara.
HapusTeman sampean tinggal di Pulokulon? Tepatnya daerah mana?
wah saya ndak tau.
Hapustemanku cuma pernaah bilang dia di pulo kulon.
wah ambil fakultas apa di ahgaff? masa studinya brapa taun mas?
Pelajar Indonesia di sini hanya mendapat beasiswa kuliah untuk Fakultas Syari'ah dan Hukum (putra) dan Fakultas Kajian Keislaman (putri). Sedangkan waktu normal studi adalah 5 tahun untuk putra dan 4 tahun untuk putri. Berminat ke sini?
Hapushohoho... sama kayak saya mas..
BalasHapusjarang panggil nama klo masih awal kenal..
cuma kalau udah akrab sering sebut nama :p
kalau daerah ambon ada sapaan lagi, yaitu Bung. Dulu juga kita pakai utk memanggil Bung Karno dan Bung Hatta :)
BalasHapuskalau saya menyapa adminnya blog ini dengan sapaan Mas Lutfi, karena usianya msh dibawah 30 tahun, ntar kalau sdh umur 40 tahun saya panggil Om Lutfi, hehehe :D
Bung itu dari Ambon ya? Saya baru tahu. Pantesan sampai sekarang belum ada yang memanggil saya 'bung', soalnya enggak punya teman dari sana.
Hapusiyah benar,,,menghargai orang yg lebih tua,, :)
BalasHapusHahaha, jadi ingat. Dulu pas saya kuliah, saya manggil kakak angkatan yang setahun di atas saya dengan sebutan "Om", kakak angkatan yang dua tahun di atas saya dengan sebutan "Pakdhe", dan kakak angkatan yang tiga tahun di atas saya dengan sebutan "Mbah".
BalasHapusSaya sih maunya kakak angkatan yang empat tahun di atas saya dipanggil "Almarhum", hahaha, toh mestinya kan mereka sudah lulus kuliah. :D
Hahaha... Lha kalau mereka memanggil adik angkatannya gimana?
HapusHeheh sebel nih ceritanya dipanggil Pak. Aku juga sering lho dipanggil Buk, biasanya kalau pas dihubungi panitia sesuatu di telepon, atau dari pihak JNE :D
BalasHapusTapi enjoy aja, toh mereka kan gak pernah ketemu kita langsung, tahunya aja dipukul rata pake Pak atau Buk. :) thankieeesss for share :)
Awalnya saya sebel dipanggil pak meski masih 20-an tapi ya sudahlah mungkin saya sudah pantas untuk menikah dan punya anak XD
BalasHapusEnak dipanggil kak aj... lebih ngraketke hhhh
BalasHapus