Suasana belajar di pondok pesantren. (Dok. Pribadi) |
Pernah suatu ketika saya ditanya
oleh seorang kawan saat sedang asyik makan malam di dapur kampus. “Mengapa kamu
tak mau lagi mengadakan pelatihan hisab falak saat liburan panjang?” Pertanyaan seperti ini sebenarnya sudah sering
saya dengar dan saya merasa tidak perlu memberi jawabannya di sini. Akan
tetapi, yang membuat saya heran sekaligus ingin menanggapinya adalah kalimat
sesudahnya. “Punya ilmu itu harus diamalkan, lo. Kalau enggak, nanti dosa,”
katanya melanjutkan.
Mungkin ia keliru: mengamalkan
berbeda dengan mengajarkan. Yang pertama berarti melakukan perbuatan,
sedangkan yang kedua berarti menyampaikan ilmu (baca: informasi) kepada siswa
atau anak didik. Mengamalkan ilmu mengandung arti mengerjakan sesuatu,
entah baik atau buruk, berdasarkan ilmu yang dimiliki (dan itu tidak harus
seorang guru). Berbeda dengan mengajarkan ilmu yang, tentu saja, tidak
lantas yang bersangkutan sudah pasti mengamalkan ilmunya sebagaimana fungsi
ilmu itu sendiri.
Dalam salah satu artikelnya, KH Mustofa Bisri pernah mengatakan
bahwa seseorang yang mempelajari ilmu nahu di pesantren, kemudian pulang ke rumah dan mengajar nahu di madrasah
tempat tinggalnya, belum bisa dikatakan bahwa orang itu telah mengamalkan
ilmunya. Santri itu baru disebut mengamalkan ilmunya jika ia, ketika
berkomunikasi dalam bahasa Arab (berbicara, membaca, dan menulis), mampu menerapkan
kaidah nahu yang ia pelajari secara benar. Tentu saja tidak semua orang memunyai
kecakapan seperti itu. Teman-teman saya, misalnya, yang sudah dianggap selesai dengan urusan tata bahasa
(Arab), kadang-kadang juga masih salah mengeja dan bergalat melafalkan harakat.
Contoh lain yang lebih nyata
adalah ilmu fikih: norma-norma dalam agama Islam yang berkaitan langsung dengan
aktivitas manusia sehari-hari, baik secara vertikal maupun horizontal. Faedah utama
belajar fikih yaitu tiada lain kecuali melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
segala larangan-Nya. Namun realitanya, mereka yang berkecimpung dalam ilmu fikih
ada juga yang, entah sengaja atau tidak, melanggar syariat.
Ada juga cerita sebagian orang
tua yang bercita-cita menikahkan anaknya dengan putri kiai yang memunyai
pondok—mungkin supaya kelak anaknya bisa “mengamalkan” ilmunya. Karena
ambisinya itu, mereka rela mengeluarkan uang banyak untuk membiayai anaknya
sekolah hingga ke perguruan tinggi di Timur Tengah. Sebenarnya tidak ada yang
salah jika orang biasa menikah dengan golongan priayi. Akan tetapi, jika dalam
menyekolahkan anak tersebut ada niatan—meskipun sedikit—untuk berbesanan
dengan keluarga kiai, tentu itu sangat disayangkan. Kiranya patut
dipertanyakan: apakah mereka menyekolahkan anaknya itu benar-benar ikhlas
karena Allah?
Tadi saya katakan, ilmu itu juga
bisa digunakan untuk sesuatu yang tidak baik—ini sebenarnya bukan pendapat saya
pribadi. Kalau tidak salah ingat, KH Abdul Wahid Zuhdi pernah berkata, “Orang yang bisa melanggar hukum justru
adalah para ahli hukum; orang yang melakukan korupsi justru adalah mereka para pakar
ekonomi atau ahli matematika.” Inti dari perkataan beliau, menurut pemahaman
saya, ilmu itu ibarat senjata yang bisa melindungi pemiliknya, tetapi ia juga
bisa jadi bumerang manakala seseorang masih dikuasai oleh hawa nafsunya.
Mengamalkan ilmu itu tingkatannya lebih tinggi dari hanya mengajarkan saja ya, Mas.
BalasHapusDuh, kalau sudah mengingat pelajaran dari pesantren seperti ini, suka sedih. Banyak yg terlupa begitu saja. Setidaknya dengan mengajarkan jadi teringatkan terus & tidak berkurang ilmu dg membagikannya. Aku jadi pengen ngajar jadinya :D
wah kawannya membingungkan juga. padahal banyak juga orang yang kerja gak sesuai dengan basic keilmuannya. apa yang gini juga dosa juga?
BalasHapusmembagi ilmu dengan anak2 paling selama ini :)
BalasHapuskupasan yang bagus, Mas Bad, aku juga hampir tidak menyadari perbedaan tipis "mengamalkan" dan 'mengajarkannya' ilmu.... #duhhh, Mas, lihat fotonya jadi pengen balik ke jaman nyantri dulu....
BalasHapus