Pages - Menu

Selasa, 24 Juni 2014

Ilmu dan Amal

Suasana kegiatan mengaji di Pondok Pesantren Fadllul Wahid, Ngangkruk, Bandungsari, Ngaringan , Grobogan.
Suasana belajar di pondok pesantren. (Dok. Pribadi)
Pernah suatu ketika saya ditanya oleh seorang kawan saat sedang asyik makan malam di dapur kampus. “Mengapa kamu tak mau lagi mengadakan pelatihan hisab falak saat liburan panjang?” Pertanyaan seperti ini sebenarnya sudah sering saya dengar dan saya merasa tidak perlu memberi jawabannya di sini. Akan tetapi, yang membuat saya heran sekaligus ingin menanggapinya adalah kalimat sesudahnya. “Punya ilmu itu harus diamalkan, lo. Kalau enggak, nanti dosa,” katanya melanjutkan.

Mungkin ia keliru: mengamalkan berbeda dengan mengajarkan. Yang pertama berarti melakukan perbuatan, sedangkan yang kedua berarti menyampaikan ilmu (baca: informasi) kepada siswa atau anak didik. Mengamalkan ilmu mengandung arti mengerjakan sesuatu, entah baik atau buruk, berdasarkan ilmu yang dimiliki (dan itu tidak harus seorang guru). Berbeda dengan mengajarkan ilmu yang, tentu saja, tidak lantas yang bersangkutan sudah pasti mengamalkan ilmunya sebagaimana fungsi ilmu itu sendiri.

Dalam salah satu artikelnya, KH Mustofa Bisri pernah mengatakan bahwa seseorang yang mempelajari ilmu nahu di pesantren, kemudian pulang ke rumah dan mengajar nahu di madrasah tempat tinggalnya, belum bisa dikatakan bahwa orang itu telah mengamalkan ilmunya. Santri itu baru disebut mengamalkan ilmunya jika ia, ketika berkomunikasi dalam bahasa Arab (berbicara, membaca, dan menulis), mampu menerapkan kaidah nahu yang ia pelajari secara benar. Tentu saja tidak semua orang memunyai kecakapan seperti itu. Teman-teman saya, misalnya, yang sudah dianggap selesai dengan urusan tata bahasa (Arab), kadang-kadang juga masih salah mengeja dan bergalat melafalkan harakat.

Contoh lain yang lebih nyata adalah ilmu fikih: norma-norma dalam agama Islam yang berkaitan langsung dengan aktivitas manusia sehari-hari, baik secara vertikal maupun horizontal. Faedah utama belajar fikih yaitu tiada lain kecuali melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Namun realitanya, mereka yang berkecimpung dalam ilmu fikih ada juga yang, entah sengaja atau tidak, melanggar syariat.

Ada juga cerita sebagian orang tua yang bercita-cita menikahkan anaknya dengan putri kiai yang memunyai pondok—mungkin supaya kelak anaknya bisa “mengamalkan” ilmunya. Karena ambisinya itu, mereka rela mengeluarkan uang banyak untuk membiayai anaknya sekolah hingga ke perguruan tinggi di Timur Tengah. Sebenarnya tidak ada yang salah jika orang biasa menikah dengan golongan priayi. Akan tetapi, jika dalam menyekolahkan anak tersebut ada niatan—meskipun sedikit­—untuk berbesanan dengan keluarga kiai, tentu itu sangat disayangkan. Kiranya patut dipertanyakan: apakah mereka menyekolahkan anaknya itu benar-benar ikhlas karena Allah?

Tadi saya katakan, ilmu itu juga bisa digunakan untuk sesuatu yang tidak baik—ini sebenarnya bukan pendapat saya pribadi. Kalau tidak salah ingat, KH Abdul Wahid Zuhdi pernah berkata, “Orang yang bisa melanggar hukum justru adalah para ahli hukum; orang yang melakukan korupsi justru adalah mereka para pakar ekonomi atau ahli matematika.” Inti dari perkataan beliau, menurut pemahaman saya, ilmu itu ibarat senjata yang bisa melindungi pemiliknya, tetapi ia juga bisa jadi bumerang manakala seseorang masih dikuasai oleh hawa nafsunya.

4 komentar:

  1. Mengamalkan ilmu itu tingkatannya lebih tinggi dari hanya mengajarkan saja ya, Mas.
    Duh, kalau sudah mengingat pelajaran dari pesantren seperti ini, suka sedih. Banyak yg terlupa begitu saja. Setidaknya dengan mengajarkan jadi teringatkan terus & tidak berkurang ilmu dg membagikannya. Aku jadi pengen ngajar jadinya :D

    BalasHapus
  2. wah kawannya membingungkan juga. padahal banyak juga orang yang kerja gak sesuai dengan basic keilmuannya. apa yang gini juga dosa juga?

    BalasHapus
  3. membagi ilmu dengan anak2 paling selama ini :)

    BalasHapus
  4. kupasan yang bagus, Mas Bad, aku juga hampir tidak menyadari perbedaan tipis "mengamalkan" dan 'mengajarkannya' ilmu.... #duhhh, Mas, lihat fotonya jadi pengen balik ke jaman nyantri dulu....

    BalasHapus

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!