Pages - Menu

Kamis, 23 Januari 2014

Idiosinkrasi



Muhammad Lutfi Hakim | Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Ahgaff Yaman
Dok. Pribadi

Setiap orang pasti berbeda. Tak ada manusia di dunia ini yang benar-benar sama, baik secara fisik, mental maupun intelektual. Coba perhatikan orang-orang di sekeliling Anda dengan saksama. Apakah ada di antara mereka yang benar-benar mirip? Bahkan dua orang kembar bersaudara sekalipun mempunyai ciri-ciri tertentu yang bisa membedakan antara satu dan yang lain.


Meskipun perbedaan itu sebuah keniscayaan dan merupakan sesuatu yang wajar, tidak sedikit orang yang menganggap itu aneh. Apalagi jika "keanehan" itu jarang mereka lihat dan rasakan. Ya, aneh-tidaknya suatu hal itu sebenarnya tergantung kebiasaan. Kita tidak akan pernah menganggap aneh kenapa langit bisa bergelantung di atas sana tanpa tiang penyangga–karena memang dari dulu kita melihatnya sudah seperti itu.

Ada beberapa hal/kebiasaan yang melekat erat pada diri saya yang menurut sebagian teman dianggap aneh. Meskipun begitu, saya menganggapnya sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Justru mereka itu yang sebetulnya aneh, mengapa hal-hal tersebut dipermasalahkan? Berikut beberapa hal yang saya maksudkan itu.

* * *
Pertama, makanan favorit. Untuk urusan perut, sebenarnya saya tidak suka yang neko-neko. Asalkan halal, sehat, enak dan gratis, pasti saya sukai. Dan sebagai orang pedesaan, saya sudah terbiasa dengan menu sayur-mayur yang segar daripada ikan dan sejenisnya. Namun, setelah meninggalkan tanah air dalam empat tahun terakhir ini,  pola makan saya berubah drastis. Saat ini, dalam seminggu, sebulan, sampai setahun, ikan laut adalah menu lauk-pauk saya setiap hari–kecuali pada hari Jumat (ayam). Sementara makanan lain yang dulu akrab di lidah seperti tempe, tahu, bayam dan kangkung, nyaris tak tersentuh sama sekali dan sekarang masuk kategori "makanan mewah".

Pada tanggal 6 April 2013 lalu, saya menulis Status Facebook begini, "Jika kalian tidak suka dengan kulit ikan, tinggalkan saja di atas nampan, jangan dibuang ke tanah seperti itu."
Pernyataan saya ini sering disalahartikan: saya suka semua hal yang berbentuk seperti kulit, atau menyukai semua jenis kulit, misalnya, kulit pisang dan kulit kacang. Tentu maksudnya  bukan seperti itu. Artinya, daripada kulit ikan dibuang di tanah–yang kucing pun belum tentu mau–mending dibiarkan saja di atas nampan. Toh nanti akhirnya ada (orang) juga yang mau memakannya (saya). Karena untuk jenis ikan tertentu, saya lebih menyukai kulit daripada dagingnya.

Kedua, ukuran kematangan mi instan. Saya makan mi instan hanya ketika benar-benar lapar dan tak ada makanan lain. Di samping kurang baik untuk kesehatan kantong, saya juga kurang menyukainya. Kebiasaan saya yang tak lazim berkaitan dengan mi instan adalah cara memasak. Jika orang lain suka mi instan yang diseduh, saya hanya mau memakan mi yang benar-benar masak/matang yang direbus dalam air mendidih kurang lebih 15-20 menit. Anda dapat membayangkan sendiri, seperti apa bentuknya mi yang direbus selama itu.

Ketiga, cara makan. Ini masih ada kaitannya dengan mi instan di atas. Kebanyakan orang memakan mi dengan memakai sendok, garpu atau sumpit. Namun, saya lebih suka memakai tangan langsung. Lalu apanya yang aneh? Teman-teman menganggap aneh saat melihat saya makan mi rebus (berkuah) ketika masih dalam keadaan panas. Saya akan menggunakan sendok dengan tangan kiri untuk mengangkat mi dari kuah yang panas itu, kemudian saya gunakan tangan kanan untuk memungut mi tersebut baru kemudian dimakan. Repot sekali, bukan?

Keempat, tidur panjang. Kebiasaan yang satu ini sebenarnya sudah lama dan lambat laun mulai saya tinggalkan. Bahkan tidur pagi yang dulu merupakan rutinitas wajib seusai salat subuh, kini sudah jarang sekali saya lakukan. Seberapa panjang saya tidur? Tak terhitung jumlahnya. Pernah suatu hari pada bulan Ramadan, saya sengaja tidak dibangunkan oleh teman-teman dan ternyata saya baru terbangun setelah orang-orang selesai salat tarawih.

Meski sekarang sudah relatif normal, namun "dampak" dari kebiasaan itu masih terasa sampai hari ini. Karena kebiasaan saya itu, teman-teman di pesantren dulu menjuluki saya dengan sebutan batang. Apa itu artinya? Dalam KBBI daring, batang adalah homonim dengan dua makna: (1) bagian tumbuhan yang berada di atas tanah, tempat tumbuhnya cabang dan ranting; (2) bangkai, mayat. Sampai sekarang, sapaan itu masih berlaku meski kadang diperhalus menjadi "Mas Bat".

Kelima, gaya berbusana. Tentunya bukan cara berpakaian saya sehari-hari yang compang-camping. Tapi lebih tepatnya saat bermain sepak bola. Dalam pertandingan resmi, baik turnamen maupun persahabatan, saya sengaja memasukkan bagian bawah kaus ke dalam celana karena alasan kerapian dan ini juga yang dilakukan oleh sebagian rekan saya di tim. Entah berapa kali saya mendapat teguran dari mereka untuk tidak melakukan itu. Katanya sih, kurang pantas. Lalu kenapa yang lain tidak?!

Itulah lima idiosinkrasi dalam diri saya yang menurut sebagian orang dianggap aneh dan nyeleneh. Daftar itu kemungkinan masih akan bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Belakangan ini saja sudah ada yang menganggap aneh nada tawa saya. Ah, biarkan saja, menanggapi komentar orang lain pasti enggak ada habisnya.

7 komentar:

  1. hehe,, yg pntg tetep jadi diri sendiri aja deh ya :)
    selama itu juga bikin nyaman kita sendiri ^^

    BalasHapus
  2. Ya, jadi diri sendiri lalu biarkan saja orang lain berkomentar apa :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Menjadi diri sendiri berarti mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan. Terima kasih, Mbak Titis.

      Hapus
  3. ohhh... begitu asal usul nama Mas Bat yang di +google dirubah huruf "t" jadi "d"... asal mula nama yang khas banget pesantrennya mas... dulu aku nyantri juga istilah batang dilabelkan pada santri yang doyan tidur... hihihi

    BalasHapus
  4. Oh, ini toh muasal nama Mas Bat alias Batang/Bathang. Xixixi... Istilah teman2 saya dulu, Tukang mBangkong. :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya istilah itu masih digunakan sampai sekarang, he-he.

      Hapus

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!