Abdullah Muallim Hasan di ruang kuliah. |
Nama lengkapnya Abdullâh
Muallim Hasan Muhammad. Lahir di Somalia—negara di Tanduk Afrika yang kondisinya masih karut-marut hingga sekarang—pada tahun 1994. Usianya baru 20
tahun ketika terakhir kali saya bertemu dengannya. Masih terlalu muda untuk
ukuran mahasiswa Universitas Al-Ahgaff angkatan lima belas yang beberapa hari lalu
sukses menggelar seremoni perpisahan.
Di asrama kampus, ia menghuni lantai satu kamar Imam Muhajir bersama 3 mahasiswa Yaman dan 8 mahasiswa Indonesia (termasuk di antaranya saya). Meskipun sekamar, kami tidak begitu akrab. Komunikasi verbal di antara kami hanya sebatas unggah-ungguh atau basa-basi biasa, itu pun masih sangat jarang, bahkan lebih sering berhari-hari kami lewati tanpa sepatah kata. Ini bukan masalah rasialisme atau sentimen yang berlebihan, tetapi hanya soal perbedaan pola pikir dan gaya hidup.
Suatu malam di musim dingin, ia menyuguhkan sepiring daging khas Somalia kepada anggota kamar yang kebetulan belum tidur. Saya yang sekalipun jarang makan daging, tidak begitu tertarik untuk sekadar mencicipinya. Begitu pula teman-teman yang lain. Dan, demi menjaga perasaannya, akhirnya kami sepakat menerima makanan "aneh" itu. Saya katakan aneh karena daging itu dimasak ala Somalia: diiris kecil-kecil lalu dikeringkan; digoreng menggunakan lemak/gajih (bukan minyak goreng); tanpa racikan bumbu sedikit pun. Tolong jangan tanya seperti apa cita rasa daging tersebut. Saya lebih suka menceritakannya kembali daripada merasakannya langsung waktu itu. Seorang teman ada yang berkomentar begini, "Padahal piring sudah kucuci pakai detergen, masih saja baunya enggak hilang."
Pernah juga pada suatu malam, saya dan teman-teman Indonesia lainnya asyik mengobrol sembari minum teh di dalam kamar hingga larut. Tanpa disadari, ternyata suara kami berisik dan membuatnya terganggu. Ia pun lantas menegur, "Tolong jangan membuat gaduh! Mana hak-hak bertetangga kalian?"
Setelah peristiwa itu ia jarang lagi menetap di dalam kamar, terutama saat suasana kamar sedang ramai. Aktifitas kesehariannya banyak dihabiskan di luar kamar. Entah itu di atap asrama, musala, atau kamar lain yang lebih tenang. Kami pun menjadi jarang bertemu.
Yunus Mahmud, mahasiswa asal Burkina Faso ini pernah bercerita sedikit tentang kehidupannya di luar kamar.
"Abdullah Mu'allim Hasan, saudara kita yang satu ini adalah mahasiswa mustawa
(kelas) lima termuda di Universitas Al-Ahgaff. Ia tidak seperti kebanyakan
mahasiswa lainnya. Ia—dan saya bersaksi—selalu salat malam di musala. Ia hanya
mau membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu atau akhirat. Pernah pada
suatu ketika, saya mencoba mengajaknya membicarakan sesuatu yang bersifat
duniawi, tetapi ia malah berpaling lalu pergi," katanya mengisahkan.
Abdullah Mu'allim Hasan,
Yunus melanjutkan, adalah sosok lelaki pencinta ilmu yang sangat rajin. Semua
orang yang mengenalinya mengetahui itu. Koleksi bacaannya berkarton-karton. Ke
mana-mana ia selalu membawa kitab. Kitab yang selalu dibawanya itu bukan yang selama ini diajarkan di kampus, melainkan
kitab yang menerangkan hubungan vertikal kepada Tuhan: akidah dan tasawuf.
* * *
Kurang lebih sebulan yang
lalu, ia tiba-tiba menghilang dari asrama. Dan seperti biasa, kami tidak begitu
menghiraukannya. Saya baru terkejut sewaktu ada yang memberi tahu bahwa dia
sedang sakit parah dan dirawat di Mukalla, ibu kota Hadhramaut. Ironis
memang. Sebagai anggota kamar, saya dan teman-teman lainnya tidak mengetahui
itu sejak awal.
Beberapa hari setelah kabar mengejutkan
itu, saya mendapat kabar lagi bahwa ia telah pulang ke negaranya (Somalia).
Tidak ada penjelasan lebih lanjut apakah kepulangannya itu untuk mendapat
perawatan yang lebih baik atau memang sudah sembuh. Dari penjelasan teman-teman
Somalia, seminggu terakhir ini keadaannya semakin membaik.
Kamis petang (1 Mei) selepas
salat Magrib, saya kaget mendengar kabar dari Abduh Maqbul, mahasiswa Yaman sekaligus teman sekamar saya, bahwa Abdullah Mu'allim
Hasan telah berpulang ke rahmatullah. Saya tanyakan lagi kepada teman-teman
Somalia, ternyata berita itu benar. Innâlillâh. Lelaki saleh itu telah
pergi untuk selama-lamanya. Sebegitu cepatnya sebuah kematian menghampiri
orang-orang di sekitar kita. Diam-diam Allah telah merindukannya sehingga
memanggilnya di usia yang masih sangat muda.
* * *
Kematian bukanlah akhir dari
segalanya, melainkan masa perpindahan dari kehidupan duniawi yang fana menuju
kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Mungkin kita yang ditinggalkan masih
larut dalam kesedihan, tetapi saya yakin, di sana ia dalam keadaan bahagia.
Selamat jalan, Kawan. Maafkan
kami jika selama ini banyak berbuat salah padamu. Semoga Allah melimpahkan
rahmat-Nya dan menempatkanmu di surga-Nya yang mahaindah. Sesungguhnya kita
semua adalah milik Allah. Dan kepada-Nya pula kita akan kembali. Innâ lillâh
wa innâ ilaihi râji'ûn.
* Kamar Imam Muhajir, asrama
kampus Universitas Al-Ahgaff, 5 Rajab 1435 H.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa'fuanhu....
BalasHapussedih ya rasanya, beberapa bulan yg lalu juga aku kehilangan teman semasa sma. sedih dan kaget rasanya. maut memang tak kenal usia ya
Sosoknya seperti misterius ya mas... Innalillaaaaah
BalasHapusInnalillahi wa innailahi rojiun,,,semoga amalannya di terima Allah dan mendapatkan tempat yg terbaik. Semoga aku bisa belajar dari kejadian ini :)
BalasHapusInnalillahi..
BalasHapussemoga amal ibadahnya di terima disisi Allah.. aamiin
Innalillahi wa innailaihi rojiun..
BalasHapusSemoga amal ibadanya diterima disisi Allah... Aamiin
BTW berteman dg orang dari berbagai negara memberikan banyak pengalaman berharga ya?
Inalillahi, btw itu yang diberikan daging apa?
BalasHapusDaging kambing, Mbak.
Hapussetiap kematian adalah sebuah peringatan bagi yang (masih) hidup
BalasHapusInnalillahi wa innailaihi raji'un.....untuk pertama kalinya aku menangis membaca tulisan di blog ini. Semoga Allah menempatkannya di tempat terbaik. Aamiiin...
BalasHapusSaat menuliskan ini, saya juga sempat menitikkan air mata.
Hapus