Pages - Menu

Minggu, 30 Juni 2013

Wacana Label Halal Swike Purwodadi

Swike adalah makanan khas Purwodadi yang terbuat
dari daging kodok. Foto: Dedy Oktavianus Pardede

Jika Anda berkunjung ke kota Purwodadi, Jawa Tengah, dan bertanya mengenai wisata kuliner di dalamnya, maka Anda akan menemukan jawaban yang sama: Swike. Walaupun bagi penduduk pribumi, keberadaan Swike sebenarnya tidak begitu 'membanggakan' dan merupakan ironi mendasar bagi mereka ketika ditanya mengenai hal ini. Maklum, Swike masih dianggap tabu oleh kebanyakan warga Purwodadi, terutama mereka yang senantiasa berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama. Saya sendiri baru mengenal kosakata ini setelah menginjak umur belasan tahun.

Swike adalah makanan khas Purwodadi yang terbuat dari paha kodok. Aslinya hidangan ini berasal dari pengaruh masakan Tionghoa yang masuk ke Indonesia. Konon, istilah Swike berasal dari penggabungan kata swe (air) dan ke (ayam), yang merupakan slang atau penghalusan untuk menyebut kodok sebagai "ayam air". Jadi, tidak mengherankan jika ada yang mengatakan bahwa rasa dan tekstur sweke adalah perpaduan antara ayam dan ikan.

Namun di balik kelezatannya itu, terdapat masalah utama dalam mengonsumsi Swike. Yaitu masalah agama. Dalam literatur kitab-kitab fikih dijelaskan bahwa daging kodok hukumnya adalah haram. Hal itu didasari ihwal adanya hadits yang melarang untuk membunuh kodok serta binatang lain seperti semut dan lebah. Oleh ulama fikih, larangan membunuh itu diinterpretasikan sebagai keharaman daging kodok, karena jika daging kodok adalah halal tentu nabi tidak akan melarang untuk membunuhnya.
Apabila kita telaah lagi secara saksama, sesungguhnya dalam aturan pangan Islam terdapat perbedaan dalam memandang masalah halal atau haramnya daging kodok. Kebanyakan mazhab utama dalam Islam seperti mazhab Syafi'i, Hanafi, dan Hanbali secara jelas melarang konsumsi daging kodok karena alasan di atas, akan tetapi mazhab Maliki memperbolehkan umat Islam untuk mengonsumsi kodok karena tidak ada teks eksplisit (nash sharih) yang mengharamkannya. Dan, legalitas halal tersebut hanya berlaku untuk jenis tertentu; yaitu hanya kodok hijau yang biasanya hidup di sawah, sementara kodok-kodok jenis lainnya yang berkulit bintil-bintil seperti kodok budug tidak boleh dikonsumsi karena beracun. Selain itu, Malikiyah juga mensyaratkan kodok tersebut harus disembelih dahulu sebelum dimasak. [Al-Fiqh al-Islâmiy wa adillatuh, juz 4 hlm 145]

Kontroversi mengenai status kehalalan daging kodok sempat mencuat ke publik dan membuat sebagian tokoh masyarakat geram. Beberapa tahun yang lalu misalnya, Majalah Tempo pernah memuat berita mengenai Bupati Demak yang mendesak para pengusaha restoran untuk tidak mengaitkan Swike dengan kabupaten yang bertetangga dengan Purwodadi tersebut. Hal ini karena dianggap dapat mencoreng citra Demak sebagai Kota Wali dan Kota Islam pertama di pulau Jawa, serta kebanyakan warga Demak adalah pengikut mazhab Syafi'i yang mengharamkan daging kodok.

Sebenarnya, untuk "mensterilkan" kota Purwodadi atau Demak dari hewan amfibi ini tidak perlu dengan cara represif seperti yang dilakukan oleh Bupati Demak itu. Lebih ekstrim lagi jika dilakukan dengan menutup paksa rumah makan Swike atau membasmi populasi kodok secara massal. Perbedaan pandangan ulama fikih di atas dapat kita jadikan sebagai pijakan atas justifikasi label halal Swike Purwodadi sekaligus sebagai manifestasi subtansi pesan nabi, "ikhtilâfu ummatî rahmah" (perbedaan pendapat di antara umatku adalah kasih sayang).

Gagasan mengenai halalisasi Swike Purwodadi ini sebenarnya pernah disampaikan oleh guru kami, KH Abdul Wahid Zuhdi, saat mengajarkan kitab Fathul Qarib di PP Al-Ma'ruf Bandungsari Grobogan beberapa tahun yang lalu. "Saya pernah mengajak para kyai dan tokoh masyarakat di Purwodadi untuk menjadikan daging Swike sebagai produk yang halal. Caranya, dengan berpindah ke mazhab Maliki yang membolehkannya." tutur kyai yang dikenal sangat konsisten dengan mazhab Syafi'i ini. "Namun sayangnya, mereka tidak berani menyetujui ajakan saya."

Sungguh sangat ironis jika kita melihat keadaan para pemburu kodok itu. Karena alasan mencari nafkah, mereka harus berjuang keras dengan berjibaku menjelajahi sawah, kebun, ladang, kanal dan sebagainya demi mendapatkan binatang melompat itu. Mereka rela meninggalkan tempat tidurnya yang nyaman, meninggalkan keluarga di rumah, serta mempertaruhkan kesehatannya dengan bergadang semalaman saat musim penghujan tiba. Tidak sampai di situ, sebagai imbas dari pekerjaan yang tidak dibenarkan syari'at Islam itu, menjadikan uang yang dihasilkannya juga tidak bisa dikatakan halal. Belum lagi stigma negatif dari masyarakat sekitar. Tentunya pekerjaan seperti itu bukan sebuah pilihan. Dan jika ada pekerjaan yang lebih laik, pasti mereka akan senang hati beralih profesi.

Pertanyaannya sekarang adalah, mungkinkah wacana di atas dapat direalisasikan? Jawabannya adalah bisa. Asalkan semua elemen masyarakat, mulai dari rakyat kecil, kyai, aktifis dan instansi pemerintah mendukung serta berpartisipasi dalam mewujudkan gagasan ini.

Sebagai langkah awal, bisa dengan memberi sosialisasi kepada masyarakat umum (khususnya para pencari kodok) tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi, semisal cara penyembelihan dan jenis kodok yang diperbolehkan. Di sini peran para kyai dan pemuka agama sangat diperlukan karena menyangkut langsung kepercayaan masyarakat. Kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai otoritas penuh untuk membuat sertifikasi halal juga diajak bekerja sama. Sudah saatnya lembaga semi pemerintah yang didirikan oleh rezim Orde Baru itu lebih memikirkan hal-hal yang seperti ini daripada sibuk memberi label halal makanan yang sudah jelas-jelas halal. Setelah itu, untuk memperkenalkan makanan ini lebih luas, bisa meminta koran Suara Merdeka atau Solo Pos untuk meliput dan mempromosikannya.

Saya meyakini, jika rencana di atas dapat diwujudkan, selain dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat, juga dapat membuat kota Purwodadi dikenal oleh khalayak umum. Bukan karena keindahan kotanya saja, tapi juga makanannya yang lezat, sehat dan halal. Sebagaimana slogan resmi kota Purwodadi, BERSEMI, yang merupakan akronim dari kata; Bersih, Sehat, Mantap dan Indah.

17 komentar:

  1. bagaimana caranya menyembelih kodok? dimana letak lehernya? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha.. belum pernah mencoba. Tapi sepertinya masih bisa (asal kepalanya putus). Yang gak bisa disembelih itu seperti kepiting (di mana kepalanya?) :)

      Hapus
  2. Perbedaan tetap dapat mempersatukan kita sepanjang memiliki dasar masing2. Semuanya hanya mengharapkan ridho Allah yg memang maha pemurah n maha pengampun.

    BalasHapus
  3. Swike paling enak dan pasti kehalalanya karena kepala beneran putus ya pastinya buatan momyq tersayang,,,jadi rindu masakan momy,,,,

    BalasHapus
  4. Jadi kangen sama Sego Pecel Gambringan yang juga merupakan salah satu Kuliner Khas Purwodadi jadi laper nih, heheh

    BalasHapus
  5. Mw swike haram atw halal sekalipun. Tetep aja nggak doyan..

    BalasHapus
  6. Pertanyaan nya adalah apakah makanan yang ga halal itu ga boleh/jelek?
    Sebetulnya nya ini menunjukan ketidak toleransi nya umat muslim.
    Sebetulnya nya kan gampang kalo emang ga boleh ya ga usah di makan.

    BalasHapus
  7. Aneh...sekali haram ya haram....masak buat mensejahterakan masyarakat ...ya udah pindah mazab aja ...biar halal....

    BalasHapus
  8. Yang doyan monggo di nikmati wae....aku juga doyan swieki..

    BalasHapus
  9. Sesuatu yang subhat menurut hukum agama harus ditinggalkan apapun resikonya jangan cari pembenaran . Toh masih banyak makanan yang halal untuk dikonsumsi.

    BalasHapus
  10. Daripada mengambil resiko, lebih baik menjauhi perkara yang masih subhat

    BalasHapus

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!