Pages - Menu

Senin, 18 November 2013

Ono Ongko Ono Rupo



Uang bukan segalanya, banyak hal yang tidak bisa
dibeli dengan uang | Foto : Ismar Patrizki / ANTARA
Prinsip saya jika berurusan dengan uang adalah: jelas dan tegas. Jelas maksudnya, transparansi audit keuangan. Atau dengan ungkapan berbeda, untuk apa uang itu digunakan lengkap dengan detail perinciannya. Sedangkan tegas adalah sebuah kepastian, iya atau tidak sama sekali, tidak usah plintat-plintut.
Contoh sederhana, ketika saya diajak urunan masak untuk mengadakan suatu acara, terlebih dahulu saya katakan, "mau masak apa? apa saja yang dibeli? dan perkiraan habis berapa?" Bukan berarti saya mencurigai dan tidak mempercayai mereka, tapi pertanyaan seperti itu saya kira wajar sebagai bentuk tanggung jawab kita memegang amanah.
Jumlah iurannya pun juga harus jelas, "berapa?" sesuai dengan perkiraan yang telah ditentukan sebelumnya saat rembukan. Jika ternyata anggaran belanja membengkak (karena harga sembako di pasar sedang naik misalnya), itu wajar, nanti kekurangannya ditanggung bersama.
Permasalahannya adalah, jika sudah ada kesepakatan mengenai jumlah iuran yang ditentukan, tiba-tiba terjadi defisit karena keinginan pribadi salah seorang anggota. Lalu saya (sekadar contoh), disuruh menarik iuran lagi kepada anggota yang lain, dan tentunya saya akan mendapat sedikit omelan dari mereka, "Lho, katanya kemarin sudah cukup?" Agar tidak ada kesalahpahaman seperti itu, mestinya keinginan orang tersebut disampaikan langsung ketika musyawarah.
Berkaitan dengan itu, akhir-akhir ini saya dihubungi melalui pesan pendek (sms) oleh seorang teman lama waktu di pondok pesantren dulu. Singkat cerita, ia meminta bantuan saya untuk membelikan sebuah barang antik yang tidak ada/jarang ditemukan di Indonesia. Pembicaraan di antara kami semula berkisar mengenai harga barang, ongkos kirim, hingga proses pengiriman. Saya katakan kepadanya, "tak usah dipaketkan, biayanya mahal, nanti saya titipkan salah satu teman saya sepulang dari ibadah haji". Oke, kami pun menunggu para jamaah haji pulang dari tanah suci.
Lewat beberapa minggu setelah saya ber-sms-an dengannya, ia menghubungi saya lagi. Dalam sms-nya ia menulis, "teman kamu yang berhaji sudah pulang?" lalu saya jawab, "sudah". Kemudian ia bertanya lagi, "kalau begitu coba tanya kepada jasa pengiriman barang, 'berapa tarif paket barang per kilonya?" Hmmm, dikiranya teman saya yang berhaji cuma satu dan sudah pulang ke Indonesia, padahal ada belasan orang dan semuanya tidak langsung pulang ke tanah air, tapi singgah dulu di Yaman beberapa minggu.
Sms-nya yang terakhir masih saya jawab, tapi pertanyaannya tidak. "Kan sudah saya bilang, barangnya akan saya titipkan kepada salah seorang teman yang akan pulang ke Indonesia dalam waktu dekat ini. Jadi, nggak perlu ongkos kirim." Jawabku mulai kesal.
Syahdan. Balasan berikutnya yang saya terima adalah, "teman kamu itu orang mana?" Akhirnya saya malas dan kurang bersemangat menanggapinya, disamping pulsa sudah habis tinggal sedikit, pembicaraan kami tidak segera menemukan titik temu.
Mestinya, jika ia memang benar-benar serius, langsung saja pada intinya, "Saya butuh barang ini. Jumlahnya sekian. Berapa uang yang harus saya kirim? Tolong sertakan perinciannya." Andaikata pertanyaannya seperti itu, saya akan langsung bergerak cepat mencari informasi mengenai barang tersebut dan menjelaskannya sedetail mungkin, mulai dari harga barang, kurs Rupiah-Riyal Yaman, ongkos taksi saya, hingga alamat rumah teman yang saya titipi barang. Ini yang saya maksud dengan jelas dan tegas.
Ah, saya jadi teringat sebuah adagium dalam bahasa Jawa "ono ongko ono rupo" yang berarti ada uang ada barang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!