Uang bukan segalanya, banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang | Foto : Ismar Patrizki / ANTARA |
Contoh sederhana, ketika saya
diajak urunan masak untuk mengadakan suatu acara, terlebih dahulu saya katakan,
"mau masak apa? apa saja yang dibeli? dan perkiraan habis berapa?" Bukan
berarti saya mencurigai dan tidak mempercayai mereka, tapi pertanyaan seperti
itu saya kira wajar sebagai bentuk tanggung jawab kita memegang amanah.
Jumlah iurannya pun juga harus
jelas, "berapa?" sesuai dengan perkiraan yang telah ditentukan
sebelumnya saat rembukan. Jika ternyata anggaran belanja membengkak (karena
harga sembako di pasar sedang naik misalnya), itu wajar, nanti kekurangannya
ditanggung bersama.
Permasalahannya adalah, jika sudah
ada kesepakatan mengenai jumlah iuran yang ditentukan, tiba-tiba terjadi
defisit karena keinginan pribadi salah seorang anggota. Lalu saya (sekadar
contoh), disuruh menarik iuran lagi kepada anggota yang lain, dan tentunya saya
akan mendapat sedikit omelan dari mereka, "Lho, katanya kemarin sudah
cukup?" Agar tidak ada kesalahpahaman seperti itu, mestinya keinginan
orang tersebut disampaikan langsung ketika musyawarah.
Berkaitan dengan itu, akhir-akhir
ini saya dihubungi melalui pesan pendek (sms) oleh seorang teman lama waktu di
pondok pesantren dulu. Singkat cerita, ia meminta bantuan saya untuk membelikan
sebuah barang antik yang tidak ada/jarang ditemukan di Indonesia.
Pembicaraan di antara kami semula berkisar mengenai harga barang, ongkos kirim,
hingga proses pengiriman. Saya katakan kepadanya, "tak usah dipaketkan, biayanya
mahal, nanti saya titipkan salah satu teman saya sepulang dari ibadah
haji". Oke, kami pun menunggu para jamaah haji pulang dari tanah suci.
Lewat beberapa minggu setelah
saya ber-sms-an dengannya, ia menghubungi saya lagi. Dalam sms-nya ia menulis,
"teman kamu yang berhaji sudah pulang?" lalu saya jawab,
"sudah". Kemudian ia bertanya lagi, "kalau begitu coba tanya
kepada jasa pengiriman barang, 'berapa tarif paket barang per kilonya?" Hmmm,
dikiranya teman saya yang berhaji cuma satu dan sudah pulang ke Indonesia,
padahal ada belasan orang dan semuanya tidak langsung pulang ke tanah air, tapi
singgah dulu di Yaman beberapa minggu.
Sms-nya yang terakhir masih saya
jawab, tapi pertanyaannya tidak. "Kan sudah saya bilang, barangnya akan
saya titipkan kepada salah seorang teman yang akan pulang ke Indonesia dalam
waktu dekat ini. Jadi, nggak perlu ongkos kirim." Jawabku mulai kesal.
Syahdan. Balasan berikutnya yang
saya terima adalah, "teman kamu itu orang mana?" Akhirnya saya malas
dan kurang bersemangat menanggapinya, disamping pulsa sudah habis tinggal sedikit, pembicaraan
kami tidak segera menemukan titik temu.
Mestinya, jika ia memang
benar-benar serius, langsung saja pada intinya, "Saya butuh barang ini. Jumlahnya
sekian. Berapa uang yang harus saya kirim? Tolong sertakan perinciannya."
Andaikata pertanyaannya seperti itu, saya akan langsung bergerak cepat mencari
informasi mengenai barang tersebut dan menjelaskannya sedetail mungkin, mulai
dari harga barang, kurs Rupiah-Riyal Yaman, ongkos taksi saya, hingga alamat
rumah teman yang saya titipi barang. Ini yang saya maksud dengan jelas dan
tegas.
Ah, saya jadi teringat sebuah adagium
dalam bahasa Jawa "ono ongko ono rupo" yang berarti ada uang ada
barang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!