Biasanya saya yang diminta teman-teman Indonesia untuk mengadakan Diklat Hisab Falak saat liburan panjang. Dan
alhamdulillah, semenjak kedatangan saya di kota Tarim tiga tahun lalu, terhitung
sudah empat kali saya mengadakan pelatihan tersebut. Kadang-kadang ada juga
beberapa orang Arab atau Afrika yang meminta hal serupa. Namun untuk permintaan
yang kedua ini, saya belum bisa menyanggupinya karena beberapa kendala, di
antaranya; waktu, bahasa pengantar, metode yang digunakan, dan buku diktat yang
dipakai. Sampai sekarang saya masih bingung, bagaimana cara yang efisien untuk
menyalurkan ilmu falak kepada mereka.
Beruntung sekali pada siang kemarin, Senin, 18 November 2013, saya bisa mengikuti kuliah umum tentang ilmu hisab falak yang diselenggarakan oleh Asosiasi Mahasiswa Yaman di Universitas Al-Ahgaff. Selain menambah wawasan anyar, setidaknya saya dapat pengalaman baru tentang metode dan cara penyampaian materi falak kepada orang non-Indonesia.
Adalah ustaz Abdurrahmân bin Thâhâ al-Habsyi yang menjadi pembicara dalam acara yang diadakan di auditorium fakultas Syari'ah tersebut. Selain menjadi dosen tetap di Universitas Al-Ahgaff, beliau juga menjadi pengasuh Ribath Fath wal Imdâd di daerah Hauthoh, sekitar 60 kilometer dari kota Tarim.
Sebagai kata pengantar, beliau bercerita awal mula dirinya mulai menekuni ilmu falak. "Sekitar lima tahun yang lalu, di bumi Hadhramaut ini, keberadaan ilmu falak masih belum tampak secara tertulis. Waktu itu, proses pembelajaran hanya dilakukan secara lisan." katanya. "Oleh karena itu, saya bertekad untuk menghidupkan ilmu yang sangat penting dan langka ini."
Keinginan tersebut bertambah manakala beliau menemukan sebuah manuskrip kitab falak berjudul Nibrâsul Jadzwah a-Mudlî'ah yang ditulis oleh kakek moyang beliau sendiri, yaitu Syekh Abdullâh bin Shâlih bin Hâsyim al-Habsyi.
Dengan dibantu salah seorang mahasiswa dari Indonesia yang bernama Habibul Huda (kiai saya yang juga pengasuh PP Fadllul Wahid), beliau mulai mengakaji manuskrip tersebut dan menuliskan taklikat di bawahnya.
Di sela-sela mengerjakan kajian manuskrip tersebut, beliau pergi ke India selama sebulan untuk belajar falak secara intensif dengan para ahli falak di sana sebelum akhirnya dapat benar-benar merampungkannya.
Setelah bercerita secara singkat, beliau menjelaskan bahwa dalam dunia perfalakan ada 9 (sembilan) lingkaran imajiner yang perlu diketahui. Lingkaran-lingkaran itu antara lain; lingkaran ufuk, lingkaran ekliptika, garis bentang khatulistiwa, garis lintang, garis bujur dan lain sebagainya.
Meskipun lingkaran-lingkaran itu tidak kasatmata, namun hasil suatu perhitungan yang didasarkan padanya adalah sesuatu yang eksak. Beliau mengibaratkan sebuah teori matematika: satu ditambah satu sama dengan dua, dua ditambah dua sama dengan empat, begitu juga seterusnya.
Kata "satu" dan "dua" adalah sesuatu yang tidak tampak (abstrak), kecuali jika kita ekspresikan dalam bentuk benda, "dua buah kelapa, tiga buah apel" dan sebagainya. Meskipun berangkat dari sesuatu yang abstrak, jika teorinya benar, maka akan menghasilkan nilai yang selalu benar pula.
Beruntung sekali pada siang kemarin, Senin, 18 November 2013, saya bisa mengikuti kuliah umum tentang ilmu hisab falak yang diselenggarakan oleh Asosiasi Mahasiswa Yaman di Universitas Al-Ahgaff. Selain menambah wawasan anyar, setidaknya saya dapat pengalaman baru tentang metode dan cara penyampaian materi falak kepada orang non-Indonesia.
Adalah ustaz Abdurrahmân bin Thâhâ al-Habsyi yang menjadi pembicara dalam acara yang diadakan di auditorium fakultas Syari'ah tersebut. Selain menjadi dosen tetap di Universitas Al-Ahgaff, beliau juga menjadi pengasuh Ribath Fath wal Imdâd di daerah Hauthoh, sekitar 60 kilometer dari kota Tarim.
Sebagai kata pengantar, beliau bercerita awal mula dirinya mulai menekuni ilmu falak. "Sekitar lima tahun yang lalu, di bumi Hadhramaut ini, keberadaan ilmu falak masih belum tampak secara tertulis. Waktu itu, proses pembelajaran hanya dilakukan secara lisan." katanya. "Oleh karena itu, saya bertekad untuk menghidupkan ilmu yang sangat penting dan langka ini."
Keinginan tersebut bertambah manakala beliau menemukan sebuah manuskrip kitab falak berjudul Nibrâsul Jadzwah a-Mudlî'ah yang ditulis oleh kakek moyang beliau sendiri, yaitu Syekh Abdullâh bin Shâlih bin Hâsyim al-Habsyi.
Dengan dibantu salah seorang mahasiswa dari Indonesia yang bernama Habibul Huda (kiai saya yang juga pengasuh PP Fadllul Wahid), beliau mulai mengakaji manuskrip tersebut dan menuliskan taklikat di bawahnya.
Di sela-sela mengerjakan kajian manuskrip tersebut, beliau pergi ke India selama sebulan untuk belajar falak secara intensif dengan para ahli falak di sana sebelum akhirnya dapat benar-benar merampungkannya.
Setelah bercerita secara singkat, beliau menjelaskan bahwa dalam dunia perfalakan ada 9 (sembilan) lingkaran imajiner yang perlu diketahui. Lingkaran-lingkaran itu antara lain; lingkaran ufuk, lingkaran ekliptika, garis bentang khatulistiwa, garis lintang, garis bujur dan lain sebagainya.
Meskipun lingkaran-lingkaran itu tidak kasatmata, namun hasil suatu perhitungan yang didasarkan padanya adalah sesuatu yang eksak. Beliau mengibaratkan sebuah teori matematika: satu ditambah satu sama dengan dua, dua ditambah dua sama dengan empat, begitu juga seterusnya.
Kata "satu" dan "dua" adalah sesuatu yang tidak tampak (abstrak), kecuali jika kita ekspresikan dalam bentuk benda, "dua buah kelapa, tiga buah apel" dan sebagainya. Meskipun berangkat dari sesuatu yang abstrak, jika teorinya benar, maka akan menghasilkan nilai yang selalu benar pula.
Lazimnya sebuah disiplin ilmu, lanjut
ustaz Abdurrahmân, ilmu falak juga mempunyai sepuluh dasar utama yang dalam
bahasa Arab lebih dikenal dengan istilah al-mabâdi' al-asyrah. (Untuk lebih
lengkapnya mengenai sepuluh perkara itu, lihat di sini.)
Selanjutnya, beliau menyebutkan
nama-nama kitab yang bisa dibuat rujukan dalam mempelajari ilmu falak. Di antara
kitab-kitab yang disebutkan, ternyata banyak yang berasal dari Indonesia,
seperti: Al-Khulâshah al-Wafiyyah oleh Syekh Zubair Umar Jailani dari Salatiga
Jawa Tengah, Ad-Durâs al-Falakiyyah oleh Muhammad Ma'shûm Ali dari Jombang Jawa
Timur, Nurul Anwar oleh KH Noor Ahmad dari Jepara Jawa Tengah, Fathur Ra'ûf
al-Mannân oleh KH Abdul Jalil dari Kudus Jawa Tengah. Sementara yang tidak
berasal dari Indonesia antara lain, Nashbus Syarak oleh Ssyekh Utsman bin Abu
Bakar Al-Amudiy dari Hadhramaut Yaman, Al-Manhaj al-Sadîd ilâ al-Falak al-Jadîd
oleh Abdul Aziz bin Muhammad al-Malîbâriy dari India.
Lalu beliau memulai topik pembahasannya
dengan menjelaskan pembagian bulan (tanggal) dan cara mengonversikan kalender
Masehi ke Hijriyah. (Mengenai pembagian bulan, pernah saya uraikan di sini).
Acara yang lebih banyak dihadiri oleh
orang Somalia itu tidak terasa sudah berjalan selama satu setengah jam. Sebenarnya
saya berharap ada sesi tanya jawab di bagian akhir, tapi ternyata tidak ada. Pertanyaan
yang ingin saya sampaikan adalah, bagaimana peran ilmu falak dalam kehidupan
kita sehari-hari dewasa ini? Meningat begitu pesatnya kemajuan teknologi yang
membuat segala sesuatu bisa diakses secara mudah. Sekarang ini, banyak sekali perangkat
lunak atau aplikasi yang menyediakan layanan waktu salat secara digital dan otomatis.
Sehingga sebagian (besar) orang, merasa tidak perlu mempelajari ilmu falak,
mereka cukup berpedoman pada piranti elektronik mereka tanpa mengetahui proses
dan cara penghitungannya. Mungkin para pembaca ada yang ingin menjawab? Silakan.
Sumber foto : www.thenationpress.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!