Pages - Menu

Senin, 04 November 2013

Polemik Awal Tahun Baru 1435 Hijriyah



Memahami sistem perhitungan kalender beserta metodenya dengan benar sangat berpengaruh terhadap sah dan tidaknya aktifitas ibadah ummat Islam. Sebaliknya, kesalahan pengertian dalam hal ini (baca: penetapan awal bulan) juga dapat mejadikan ibadah mereka kurang sempurna.

Kemarin pagi, ketika saya masih berada di ruang ujian, seorang petugas dari bagian Tata Usaha mengumumkan bahwa hari ini (Senin, 4 November 2013) kuliah libur dalam rangka memperingati awal tahun baru Hijriyah dan jadwal ujian diundur sehari setelahnya. Pemberitahuan mendadak seperti itu sebenarnya biasa saja karena pada tahun-tahun sebelumnya kuliah juga memberi jatah satu hari libur pada momen yang sama.

Permasalahan baru muncul sore harinya, tepatnya menjelang waktu magrib, saat orang-orang Arab di kamar bertanya tentang doa akhir tahun dan awal tahun. Sementara seorang teman Indonesia bertanya kepada saya, "apa benar besok sudah masuk tanggal 1 Muharam?" Lalu saya jawab, "insya Allah hari Selasa!" Kemudian ia melanjutkan, "ya sudah, aku ikut mazhab kamu saja. Di Indonesia sepertinya juga hari Selasa."

"Lho, bukannya dalam kalender, hari ini (Senin) sudah tanggal 1 Muharram 1435 H? Buktinya pihak kuliah telah menetapkan bahwa liburnya hari ini?" kata orang Arab menyanggah.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita harus tahu kriteria penentuan awal bulan berbagai macam kalender serta fungsi sesungguhnya dari penyusunan kalender tersebut.

Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Umar As-Syathiri pernah ditanya mengenai kalender yang banyak beredar saat ini, apakah ada metode khusus dalam penyusunannya? Beliau menjawab, bahwa bulan (penanggalan) Qamariyah dibagi menjadi tiga macam.

Pertama, syahr falaki (bulan astronomis) yang diawali ketika matahari-bulan berada dalam satu bujur yang sama (konjungsi) hingga fase konjungsi berikutnya. Pembicaraan mengenai hal ini tidak begitu populer karena hanya beredar di kalangan para ahli saja.

Kedua, syahr isthilahiy (penanggalan konvensional) yang beredar secara luas di pasaran. Penanggalan jenis ini hanya disusun untuk keperluan administrasi, seperti peringatan hari besar Islam, hari libur nasional (termasuk tahun baru) dan sebagainya. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan waktu ibadah seperti awal puasa dan lebaran. Sistem perhitungannya pun juga sangat sederhana. Untuk bulan-bulan ganjil seperti Muharram, Rabiul Awal, Jumadil Awal dan seterusnya berumur 30 hari. Sedangkan bulan-bulan genap seperti safar, Rabiul Tsani, Jumadil Akhir dan seterusnya berumur 29 hari. Bagi siapa saja yang mencetak kalender jenis ini dan menjadikan bulan Muharram 29 hari (misalnya), maka ia telah menyalahi konsensus mayoritas ahli hisab.

Ketiga, syahr syar'i (kalender Islam) yang penentuan awal bulannya berdasarkan penggenapan bulan Sya'ban 30 hari atau melihat hilal (rukyah). Sebagaimana pesan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah hadits, "Berpuasalah kamu karena melihat hilal (tanggal) dan berbukalah (berlebaranlah) kamu karena melihat tanggal. Bila kamu tertutup oleh mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban tiga puluh hari." Penanggalan jenis terakhir inilah yang ada kaitannya langsung dengan ibadah manusia. [Lihat: As-Syathiri, Syarh Al-Yâqût al-Nafîs, hlm.182-183].

Maksud dari rukyah adalah kenampakan (visibilitas) hilal setelah matahari terbenam di akhir bulan (tanggal 29). Pada fase ini, bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya matahari, sehingga posisi hilal berada di ufuk barat. Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, maka jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari. Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari, dan mana yang memiliki 30 hari. Semuanya tergantung pada penampakan hilal.

Penentuan dimulainya sebuah hari/tanggal pada kalender Hijriyah berbeda dengan kalender Masehi. Pada sistem kalender Masehi, sebuah hari/tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu zona setempat. Namun pada sistem kalender Hijriyah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari di tempat tersebut.

Pada  halaman berikutnya As-Syathiri melanjutkan (dan ini yang paling penting), antara kalender konvensional dan kalender Islam sangat dimungkinkan terjadi selisih sehari atau dua hari, tidak mungkin lebih dari itu. Artinya, suatu hari bisa memiliki dua tanggal sekaligus. Misalnya hari ini (Senin, 4 Nopember 2013) menurut penanggalan konvensional sudah masuk tanggal 1 Muharram, sedangkan menurut kalender Islam masih tanggal 30 Dzulhijjah. Keduanya benar menurut perspektif masing-masing. (Lihat: Ibid, hlm.184)

Sore kemarin (3 Nopember 2013), sebagian besar negara-negara di jazirah Arab dapat menyaksikan fenomena alam di akhir tahun ini. Bahkan saat matahari terbenam, ia masih dalam keadaan kusuf. Kaitannya dengan permasalahan awal bulan Muharram kali ini adalah, jika matahari terbenam masih dalam keadaan kusuf, itu artinya bulan (yang menutupi matahari) juga ikut terbenam bersamaan matahari, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa sore kemarin hilal sudah wujud. Dengan demikian, penentuan 1 Muharram harus melalui penggenapan bulan Dzulhijjah 30 hari. Ini jika kita berbicara mengenai kalender syar'i.

Almanak Ummul Qura 
Semenjak permulaan diterbitkannya pada tahun 1346 H, kalender Ummul Quro sudah mengalami tiga kali perubahan metode. Perubahan terakhir terjadi pada tahun 1420 H dimana penentuan awal bulannya didasari pada kriteria wujudul hilal (bukan rukyatul hilal) secara perhitungan astronomis untuk kota Makkah. Di Indonesia, kelompok yang menggunakan metode ini dalam menetapkan awal puasa dan lebaran adalah Muhammadiyah.

Meskipun Almanak Ummul Qura berbeda dengan kalender konvensional dalam segi jumlah hari dan penetapan awal bulannya, keduanya sama-sama digunakan hanya untuk keperluan adminstratif. Buktinya, pemerintah Arab Saudi masih menurunkan regu pemburu hilal (tim rukyah) dan menunggu hasil laporan mereka untuk menetapkan awal bulan baru. Jadi, kalender ini tidak bisa dijadikan acuan penetapan awal bulan secara syar'i. (Lihat: www.ummulqura.org.sa)

Di kawasan jazirah Arab, seperti Yaman, Qatar, Mesir, termasuk pula komunitas muslim di beberapa negara yang mayoritas non musim dan komunitas masjid yang dana pembangunannya dibiayai oleh Arab Saudi, kalender Ummul Qura dijadikan pedoman dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Dan sekali lagi, hanya untuk keperluan administrasi, bukan yang berkaitan dengan hal ibadah.

Konklusi 
Kembali pada permasalahan di atas. Menurut hemat saya, penentuan hari libur nasional (tahun baru) adalah murni persoalan administratif sehingga wajar jika penentuan waktunya berdasarkan penanggalan konvensional. Sedangkan membaca doa akhir dan awal tahun adalah persoalan ibadah dan seyogianya (baca: seharusnya) waktu pelaksanaannya pun didasarkan pada kalender Islam. Jadi, keputusan pihak universitas untuk meliburkan aktifitas kampus pada hari ini, secara administratif benar. Sedangkan teman-teman yang membaca doa akhir dan awal tahun sore nanti, menurut sudut pandang syariat Islam juga benar.

Demikian penjelasan dari saya, semoga tulisan ini bermanfaat. Selamat tahun baru 1 Muharram 1435 Hijriah. Kullu Âm, wa antum bi khair.

Gambar diambil dari:  akhbar1news.blogspot.com

1 komentar:

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!