Pages - Menu

Rabu, 25 Juni 2014

Awal Ramadan 1435 H: Rawan Perbedaan

Foto rukyatulhilal karya Mutoha Arkanuddin.
Tujuh tahun yang lalu, tepatnya pada 24–27 Juni 2007, saya bersama Muhammad Fadhlullah menghadiri Pelatihan Hisab Rukyat Se-Jawa Tengah di Pondok Pesantren Setinggil, Jepara, Jawa Tengah. Acara bertajuk Upaya Meminimalisir Perbedaan Penetapan Awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah itu merupakan program rutin Departemen Agama Republik Indonesia (sekarang Kementerian Agama) bekerja sama dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, instansi pendidikan, dan pihak sponsor.

Doktor Ahmad Izzuddin, salah seorang narasumber dalam acara itu, menyampaikan presentasi tentang polemik penetapan awal Ramadan/Idulfitri dan upaya mencari solusi bersama demi menjaga persatuan umat. Beliau menggambarkan (memprediksi) perbedaan pendapat antarkelompok—dalam hal ini NU, Muhammadiyah, dan Pemerintah—di Indonesia dengan sebuah diagram sederhana seperti berikut:

Hilal < 0° = aman;
Hilal > 2° = aman;
Hilal < 2° = rawan.

Maksudnya, apabila saat magrib tanggal 29 posisi hilal negatif atau masih di bawah ufuk, maka dapat dipastikan tidak ada perbedaan pendapat. Baik NU, Muhammadiyah, maupun Pemerintah akan “menunda” puasa/lebaran hingga keesokan harinya. Begitu juga apabila posisi hilal sudah cukup tinggi (di atas 2 derajat), maka kemungkinan besar awal puasa/lebaran akan seragam. Meskipun dalam satu kasus, ada sedikit kekhawatiran dari para pencari hilal kalau-kalau hilal tidak berhasil dirukyat, seperti yang terjadi pada akhir Ramadan tahun lalu.

Lain ceritanya jika kedudukan hilal sudah di atas ufuk, namun ketinggiannya belum sampai 2 derajat, maka rawan terjadi perbedaan. Dalam kasus ini, Muhammadiyah, melalui metode Wujudul Hilal yang ia pakai, akan memulai puasa keesokan harinya, tanpa harus menunggu hasil sidang isbat dan pesaksian perukyat.

Sementara NU, yang berpedoman pada ru’yah bil fi’li, akan menunggu laporan rukyat dari berbagai daerah untuk memutuskan kapan akan berpuasa/berlebaran. Dan perlu diketahui, posisi hilal di bawah 2 derajat sangat sulit teramati sekalipun didukung alat bantu optik dan cuaca yang cerah.

Pemerintah sendiri, melalui Menteri Agama Republik Indonesia, seperti biasa, akan menggelar sidang isbat dengan mengundang para ahli hisab dan perwakilan dari berbagai ormas. Metode yang dipakai dalam pengambilan keputusan adalah visibilitas hilal dengan standar 2 derajat di atas ufuk. Selain itu, ada lagi kriteria tambahan yang bersifat opsional yaitu umur bulan (jarak antara ijtimak dan matahari terbenam) minimal 8 jam dan sudut elongasinya minimal 3 derajat. Implikasi dari kriteria ini, jika berdasarkan hisab hakiki (perhitungan kontemporer) hilal dinyatakan positif namun ketinggiannya belum sampai 2 derajat, maka Pemerintah akan menolak pesaksian seorang perukyat. Begitu pula apabila hilal sudah di atas 2 derajat maka Pemerintah akan langsung menetapkan awal bulan, meskipun tidak ada yang melapor melihat hilal.

Upaya Pemerintah melalui kriteria visibilitas hilal atau imkanur rukyat ini sebenarnya cukup bagus untuk menjembatani Muhammadiyah dan NU: dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yang sering berseberangan pendapat. Namun, bukan berarti apa yang dilakukan Pemerintah tersebut tidak luput dari kritikan. Sidang tahunan yang menghabiskan dana tidak sedikit itu terkesan formalitas belaka. Buktinya, hasil dari sidang tersebut sudah bisa ditebak dengan mudah, salah satunya melalui diagram di atas. Mungkin itulah sebabnya, semenjak dua tahun lalu, Muhammadiyah enggan lagi mengikuti sidang isbat yang dinilai menghamburkan uang rakyat itu.

Bagaimana dengan Awal Ramadan 1435 H?
Dari hasil perhitungan Pak Ariadi melalui aplikasi Accurate Times yang dipublikasikan di blognya beberapa hari yang lalu, diperoleh hasil bahwa ijtimak (kumpulnya matahari-bumi dalam satu bujur astronomi) akhir Sya’ban 1435 H terjadi pada hari Jumat, 27 Juni 2014, pukul 09.08 GMT atau 15.08 WIB. Dengan demikian, kegiatan rukyatulhilal dilakukan sore harinya ketika matahari terbenam.

Dan, masih menurut aplikasi karya Mohammad Shawkat Odeh itu, diperoleh hasil bahwa tinggi hilal untuk pos observasi Jogjakarta (110° 21’ BT; -7°48’ LS) adalah 0.7 derajat, masih jauh di bawah limit 2 derajat Pemerintah. Ketinggian bulan yang kurang dari 1 derajat, seperti tadi saya katakan, sangat sulit dirukyat—untuk tidak mengatakan mustahil­—sehingga hari Sabtu, 28 Juni 2014 belum masuk tanggal 1 Ramadan. Ini kalau kita berbicara menurut metode Pemerintah dan NU. Berbeda dengan Muhammadiyah yang sudah jauh-jauh hari menetapkan 1 Ramadan tahun ini jatuh pada hari Sabtu, 28 Juni 2014 berdasarkan hisab (Wujudul Hilal).

Jadi, selama Pemerintah, Muhammadiyah, dan NU tidak mau mengubah kriteria mereka atau menyepakati satu kriteria, sampai kapan pun keseragaman puasa/lebaran tidak akan terwujud. Awal Ramadan 1435 H kali ini (mungkin) salah satu contohnya. Kita lihat saja nanti.

23 komentar:

  1. Balasan
    1. Kemungkinan besar Muhammadiyah hari Sabtu (28/6), sedangkan Pemerintah hari Minggu.

      Hapus
  2. tiap mendekati ramadan selalu bingung dengan depag. untuk menentukan awal ramadan selalu menggunakan rukyat tetapi selalu merilis jadwal imsakiyah untuk sebulan. :|

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang, rukyatulhilal dipakai untuk dasar penetapan 1 Ramadan, sedangkan jadwal imsakiah (hanya) untuk waktu salat yang perhitungannya berdasarkan kalender Masehi. Saya rasa tidak ada kontradiksi antara keduanya.

      Hapus
    2. sebenarnya koq aku melihat posisi depag yang seperti "bermain di dua kaki" terkait polemik rukyatulhilal dan metode hisab.
      politik sih... bukan dilihat secara kacamata agama.
      tapi... ah lupakan saja.
      #takutnulisnya :|

      Hapus
    3. Benar sekali, Mas. Permasalahan penetapan awal Ramadan dan Syawal selalu diboncengi kepentingan politik (Pemerintah). Tapi kenapa mesti takut? Toh kita sekarang sudah tidak hidup di masa Orde Baru? *Ah, abaikan saja.

      Hapus
  3. Kapan yak lebaran barengan lagi seluruh Nusantara??? Jadi galau nih mikirinnya.. apalagi belum dapet jadwal
    imsakiyah nih buat nanti ramadhan... Galauuu..

    BalasHapus
  4. sidang isbat itu yg mesti aku tunggu,,ikut pemerintah mas,,,kalau ikut yg lain kadang bingung juga,,,daripada bingung itu solusinya ikut pemerintah saja,,,

    BalasHapus
  5. Sedari menjadi anak-anak, aku ikut orangtua yang menunggu sidang isbat- sekarangpun sama,

    BalasHapus
  6. Saya ikut apa kata suami aja mas. Hehehe.

    BalasHapus
  7. Awal Ramadhan 1435 kemabali kepada keyakinan dan kepercayaan, asalkan jangan ragu-ragu ya Mas. Maaf lahir bathin semoga kita dapat menjalankan ibadah puasa Ramdhan dengan lancar dan barokah hingga akhir dan mendapatkan pengampunan dari Alloh SWT. Amiiiiiin......

    Salam

    BalasHapus
  8. Saya terbiasa ikut yang pemerintah. Perbedaan ini hendaknya tidak menjadi bahan perpecahan. Hisab maupun rukyat tak ada yg salah. *etapi biaya isbat itu... eugh!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi menurut (mantan) Menteri Agama Suryadhama Ali, biayanya tidak sebesar itu. Entahlah... mana yang benar antara keduanya itu.

      Hapus
  9. Undangan challange http://aasnuraisiyah.blogspot.com/2014/05/the-liebster-award.html?m=1

    BalasHapus
  10. Sudah menjadi polemik tahuhan, mas. kalau saya dan keluarga, selama ini ngikut pemerintah. meskipun berbeda, jangan sampai memecah belah. selamat menunaikan Ibadah Puasa :)

    BalasHapus
  11. di Indonesia juga masih ada polemik semacam ini hingga ramadhan tahun ini.
    kita jalani ibadah puasa sesuai dgn paham masing2 :)
    klo saya sih ikut pemerintah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di Yaman enggak ada polemik semacam ini. Bahkan ia bisa tunduk dengan keputusan negara tetangganya: Arab Saudi.

      Hapus
  12. Saya juga mulai berpikir kalau sidang isbat itu cuma formalitas belaka --"
    tapi tetep aja saya ikutin hasil akhir dr pemerintah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang sebaiknya begitu, seupaya kerukunan antarmuslim tetap terjaga.

      Hapus
  13. malah terkadang ada yang mendahului banget lebarannya...
    di mata saya sih, NU dan muhammadiyah itu ya sama aja, nggak bertentangan dengan ajaran nabi Muhammad. Yaa memang ada perbedaan dikit sih, tapi kan nggak mengubah inti dari lebaran itu sendiri..
    kalau saya sekeluarga sih, ikut pemerintah aja...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau beda dua hari sebenarnya masih wajar. Tapi kalau sampai empat hari itu sangat aneh--dan sepertinya cuma ada di Indonesia.

      Hapus

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!