Gambar ketupat diambil dari Wikipedia. |
Yang akan saya
sampaikan ini sebenarnya pernah dibahas oleh guru saya, KH Abdul Wahid Zuhdi, pada sebuah acara halalbihalal di Desa Widang, Kabupaten
Tuban, Jawa Timur, bertahun-tahun silam. Saya sekadar ingin mengutarakan
kembali apa yang sudah saya peroleh dari pandangan beliau tersebut.
Hari Lebaran
merupakan momen istimewa bagi seluruh umat muslim. Karena pada hari itu, kita
semua diharuskan untuk bergembira dan bersuka cita. Ya, Lebaran adalah waktunya
bersenang-senang... sudah semestinya kita juga ikut senang menyambut
kedatangannya. Tidak tepat rasanya jika pada hari kemenangan itu kita malah bersedih
atau memperlihatkan muka murung (apa pun permasalahan yang sedang merundung).
Atau dengan
ungkapan lain: Lebaran adalah waktunya kita santai, bergurau, dan menampilkan
muka semringah, bukan waktunya untuk serius. Ibarat pegawai negeri, Lebaran adalah
liburan, bukan hari dinas yang penuh dengan beban.
Akan tetapi,
segirang apa pun kita menyambut Lebaran, bukan berarti kita bebas melakukan apa
saja sekalipun itu dilarang oleh agama. Inilah yang sering disalahpahami oleh
sebagian orang. Jangan sampai saking semangatnya, kita merayakan Lebaran dengan
cara yang melanggar syariat, misalnya mabuk-mabukan di pinggir jalan atau
berkhalwat dengan perempuan yang bukan mahram. Intinya, waktunya bergurau kita
harus bergurau; waktunya serius kita juga harus serius—bisa menempatkan sesuatu
sesuai pada tempatnya.
Saya berkata demikian
supaya orang itu bersikap fleksibel, tidak kaku, dan bisa menyesuaikan diri
dengan lingkungan sekitar. Para sahabat nabi dulu juga demikian. Ketika mereka
bertemu antara satu dan yang lain, mereka kadang juga berkelakar, misalnya dengan
cara saling lempar kulit semangka dan sebagainya. Tapi ketika situasi menuntut
untuk serius, seperti saat dalam peperangan, mereka akan serius.
Begitu juga ketika
kita bertemu dengan kawan atau kerabat, sebisa mungkin kita pasang muka semringah.
Bukan berarti kalau sudah menjadi orang besar—pejababat atau kiai, misalnya—seseorang
harus selalu bersikap serius agar tampak berwibawa. Kadang-kadang tata cara
berakhlak yang baik itu justru dengan meninggalkan akhlak itu sendiri.
Ambil contoh dua
orang sahabat yang sudah berteman sejak kecil lalu mereka berpisah dalam waktu
yang lama. Kebetulan yang satu menjadi ustaz kesohor dan yang lain berprofesi
sebagai tukang becak. Apabila pada suatu ketika mereka bertemu, maka sang ustaz—yang
dalam banyak waktunya dituntut bersikap formal—tidak usah berlagak angkuh dan jaga
jarak. Sebaliknya, yang penarik becak juga tidak perlu merasa sungkan. Untuk
sesaat, lupakanlah predikat “ustaz” dan “tukang becak” dan bertegursapalah
seperti sedia kala, seperti sebelum mereka menjadi ustaz dan tukang becak. Inilah
yang dimaksud dengan adagium dalam bahasa Arab minal adab tarkul adab
(termasuk dari etiket adalah meninggalkan etiket itu sendiri).
* * *
Sebelum berangkat
ke Yaman lima tahun lalu, saya pernah beberapa kali mengikuti acara halalbihalal
Keluarga Besar Mbah Rono Dipuro Sajam, kakek buyut saya dari jalur bapak.
Beliau ini mempunyai 9 anak (laki-laki dan perempuan) yang, uniknya, semuanya
diberi nama dengan awalan dar-. Nenek saya (ibu dari bapak), misalnya, bernama
Darmi sebelum akhirnya diubah menjadi Siti Khodijah.
Acara yang digelar setiap
tanggal 4 Syawal itu bertujuan untuk mempererat jalinan silaturahmi
antarkeluarga keturunan Mbah Sajam. Meskipun sudah diadakan berkali-kali, saya
merasa belum merasakan esensi silaturahmi yang sesungguhnya. Tidak ada
interaksi antarindividu sehingga saya tidak begitu akrab dengan mereka, malah
ada yang tidak saya kenal sama sekali.
Mungkin hal itu
disebabkan isi acaranya yang monoton dan itu-itu saja: ziarah ke makam,
khataman Alquran, mendengarkan ceramah, berjabat tangan, lalu makan bersama.
Semuanya terkesan formal dan suasananya tak jauh berbeda dengan pengajian di majelis
taklim pada hari-hari biasa.
Inilah yang menurut
Kiai Wahid kurang tepat. Seyogianya acara kumpul keluarga seperti itu diisi
dengan semacam permainan atau perlombaan kecil-kecilan yang bisa menertawakan
dan membuat hati senang. Tempatnya pun tidak harus di dalam ruangan, bisa di
pelataran rumah atau taman yang luas.
Kegiatan seperti itu,
kata Kiai Wahid, akan jauh lebih bermakna dan lebih memberi kesan daripada
hanya duduk-duduk sambil khusyuk menyimak ceramah. Anak-anak kecil menjadi
riang dan lebih akrab dengan sepupu atau saudaranya yang lebih jauh.
Saya tandaskan
lagi, Lebaran adalah waktunya kita bersilaturahmi dengan perasaan gembira dan
suasana yang santai, bukan waktunya untuk mendengarkan petuah tentang
pentingnya menyambung silaturahmi dan ancaman bagi yang memutusnya.
Lebaran adalah makan opor, yeyyy makan opor... Polos amat saya -__- sama dapet THR Yeeyyyy
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Hapusbnyak pelanggaran syaiat saat silaturahmi lebaran, kadang dibuat reunian hura-hura sampe lupa jam sholat
BalasHapusYa itulah Lebaran... momen ketika THR ditunggu2 hehehe
BalasHapusKomentar juga ya ke: http://j-samudra.blogspot.com/2014/07/jurnal-papandayan.html
Lebaran..tentunnya baju baru. hahaha
BalasHapusbagi keluarga dg banyak saudara, reuni pada lebaran adalah acara paling ampuh untuk saling mengenali saudara.
Setuju banget klo acaranya sambil rihlah yang menyenangkan, namun tak melanggar dari esensi makna lebaran. Pernah mondok di langitan to?
Enggak pernah, Mbak. Saya mondok di Purwodadi, Jawa Tengah, dan kiai saya itu masih keluarga dengan Pondok Langitan.
Hapusselamat lebaran, mohon maaf lahir batin....
BalasHapusLebaran tidk terlepas dari prilaku intropeksi diri dan bersyukur ya Kang, karena dengan itulah kita selalu akan ingat akan nikmat yang telah diberkan Alloh SWT kepada kita dalam keadaan apapun. Terimakasih sharingnya kang.
BalasHapusSalam
Sama-sama, Pak Indra.
HapusBaru tahu ada istilah adagium, mas :). Hem, ya, setuju sama pesan Kiai Wahid, mas. Bisa lebih bermakna kalau acaranya seperti yang disampaikan beliau ;)
BalasHapusDi tempat sampean belajar, lebaran kupat, serame di tempat saya gag ya :p?
Maksudnya kosakata adagium, ya? Selama ini sepertinya kita memang lebih akrab dengan pepatah atau peribahasa.
HapusLebaran di sini jauh berbeda dengan di Tanah Air. Enggak ada ketupat; enggak ada acara berkunjung ke tetangga. Tapi di sini ada uwad atau semacam gelar griya (open house) seperti yang di Indonesia.
mengucapkan selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir batin
BalasHapuslebaran di mana mas?
BalasHapusmaaf lahir batin yaa
Saya berlebaran di sini, Mbak Ocha. Sama-sama. minal aidin wal faizin
HapusSama seperti keluarga saya juga mas. Di Bekasi, setelah ayah anda wafat, semua keluarga yang masih merupaan satu garis keturunan diundang untuk mulai saling bersilaturahmi. Saling mengena satu sama lainnya. Alhamduillah tradisi kumpul antar keluarga besar lengkap dengan sanak saudara masih berlangsung sampai sekarang. Keluarga, anak anak mereka dan cucu cucunya pada ngumpul, bersilatrurahmi. Apalagi saat idul Fitri kemarin, wah ramai sekali kayak Pasar Induk. Tumplek semua Hihiehiheiheiheiheiee
BalasHapusWah, pasti ramai sekali, ya, Kang Asep. Bahkan sampai seperti pasar induk, he-he.
HapusMinal Aidin Walfaidin Mohon Maaf Lahir Batin
BalasHapusdatang berkunjung kemari sambil mengucapkan minal aidin walfaidin mohon maaf lahir batin, jangan lupa kunbalnya ^_^
BalasHapusberkunjung kemari sambil menyimak, Minal aidin walfaidin ya mohon maaf lahir batin, ditunggu kunbalnya
BalasHapusLebaran adalah momen penting bagi saya. dikarenakan bisa kumpul kumpul keluarga besar, bersilaturahmi dengan tetangga dan masyarakat setempat. Yang jauh pada merapat mendekat dan yang dekat pun semakin rekat erat, saling maaf memaafkan satu sama lain.
BalasHapusMinal Adzin Walfaidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin
Sama-sama, Mas Andriyatna. Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.
Hapuswah saya jadi belajar banyak mas...suka sama istilah 2 sahabat yg jarang ketemu terus ketemu...bakal saya praktekan ilmu itu ^-^ mksh bnyk mas lutfi
BalasHapusTerima kasih, Mas. Saya sekadar menyampaikan kembali pandangan kiai saya tersebut.
Hapusselamat lebaran dan mohon maaf lahir batin
BalasHapus(walaupun ngucapinnya telat gapapa kan hehe)
bgmana suasana lebarannya kemarin kak?
yang kumpul saat silaturahmi dari keluarga besar mbah sajam banyak sekali ya kak?
kadang kita emang nggak akrab dgn keluarga yang garisnya udah jauhhh banget .
mohon maaf lahir dan batin :)
BalasHapussaya lebaran di jalan (mudik) -,-
mohon maaf lahir dan bati.. lebaran memang suatu momen yang indah setelah kita berperang menahan hawa napsu kembali kepada peribadi masing masing setelah lebaran apakahh mempunyai keperibadian baru untuk lebih baik atau masih sama seperti dulu
BalasHapusmeskipun terlambat, saya tetap ingi mengucapkan met lebaran & mohon maaf lahir batin ya mas . mohn bisa dimaafkan kalau saya punya salah ;)
BalasHapus