Sumber foto: Ade Nurul Badar. |
Terbayar sudah kerja keras saya selama dua
minggu terakhir ini. Kamis sore tadi, 25 April 2013, di hadapan sang penguji,
Syekh Abdul Qadir Al-Aidrus, saya berhasil menghafal sebanyak dua juz setengah
sebagai lanjutan dari tujuh juz setengah yang telah saya selesaikan pada
periode lalu.
Ujian resitasi Alquran—atau sering disebut tasmi'—merupakan salah satu bagian dari kurikulum yang diwajibkan oleh pihak kuliah. Setiap mahasiswa wajib mempunyai hafalan sepuluh juz dari kitab suci Alquran sebagai syarat mutlak untuk pengambilan ijazah di jenjang akhir nanti.
Tiga tahun yang lalu, ujian ini hanya dilaksanakan pada semester terakhir atau menjelang pengambilan ijazah. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, jumlah mahasiswa kian bertambah dan karena beberapa pertimbangan akhirnya prosedurnya pun juga diubah.
Saat ini, para mahasiswa sudah dituntut menyetor hafalannya ketika masuk tingkat tiga atau semester lima. Jatah yang wajib disetorkan adalah dua juz setengah. Ujian ini berlangsung selama empat kali yaitu pada semester kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan. Dengan demikian, jumlah keseluruhan (jika benar-benar memenuhi prosedur) adalah sepuluh juz.
Untuk tahap pertama dan kedua (semester 5 dan semester 6), ujian tersebut tidak dijadikan prioritas. Artinya, para mahasiswa boleh menyetor kurang dari jatah yang ditentukan atau bahkan tidak menyetor sama sekali.
Namun ketika masuk tahap ketiga (semester 7), mereka dituntut untuk menyetor sebanyak tujuh setengah juz—terlepas dari apakah pada tahap sebelumnya sudah menyetor lima juz atau tidak. Jika tidak dipenuhi (setelah mendapat kesempatan mengikuti ujian remedi/daur tsâni), maka konsekuensinya adalah mengulang satu tahun. Begitu juga jika pada tahap keempat tidak berhasil menyetor sepuluh juz.
Banyak teman dari mahasiswa Indonesia yang gagal dalam ujian ini. Hal itu disebabkan kebanyakan dari mereka belum mempunyai tabungan hafalan ketika masih di rumah atau karena kurang jeli dalam membagi waktu bersamaan dengan padatnya jadwal kuliah di kampus Universitas Al-Ahgaff. Kesulitan itu masih ditambah lagi dengan toleransi kesalahan yang (hanya) 8 kali dalam satu juz. Artinya, jika pelafalan dalam satu juz lebih dari delapan kali, maka yang bersangkutan dianggap gagal.
Sungguh ironis ketika melihat teman-teman yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata harus mengulang satu tahun karena gagal dalam ujian ini, bahkan ada yang mengulang setahun hanya karena kurang setengah juz saja.
Namun bagaimana pun juga, peraturan harus diindahkan dan apa yang telah terjadi bisa menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua untuk pintar dalam membagi waktu dengan baik.
Demikian informasi yang dapat saya sampaikan mengenai mekanisme ujian Alquran di Universitas Al-Ahgaff sebagai antisipasi untuk menghindari jatuhnya “korban” berikutnya.
Ujian resitasi Alquran—atau sering disebut tasmi'—merupakan salah satu bagian dari kurikulum yang diwajibkan oleh pihak kuliah. Setiap mahasiswa wajib mempunyai hafalan sepuluh juz dari kitab suci Alquran sebagai syarat mutlak untuk pengambilan ijazah di jenjang akhir nanti.
Tiga tahun yang lalu, ujian ini hanya dilaksanakan pada semester terakhir atau menjelang pengambilan ijazah. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, jumlah mahasiswa kian bertambah dan karena beberapa pertimbangan akhirnya prosedurnya pun juga diubah.
Saat ini, para mahasiswa sudah dituntut menyetor hafalannya ketika masuk tingkat tiga atau semester lima. Jatah yang wajib disetorkan adalah dua juz setengah. Ujian ini berlangsung selama empat kali yaitu pada semester kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan. Dengan demikian, jumlah keseluruhan (jika benar-benar memenuhi prosedur) adalah sepuluh juz.
Untuk tahap pertama dan kedua (semester 5 dan semester 6), ujian tersebut tidak dijadikan prioritas. Artinya, para mahasiswa boleh menyetor kurang dari jatah yang ditentukan atau bahkan tidak menyetor sama sekali.
Namun ketika masuk tahap ketiga (semester 7), mereka dituntut untuk menyetor sebanyak tujuh setengah juz—terlepas dari apakah pada tahap sebelumnya sudah menyetor lima juz atau tidak. Jika tidak dipenuhi (setelah mendapat kesempatan mengikuti ujian remedi/daur tsâni), maka konsekuensinya adalah mengulang satu tahun. Begitu juga jika pada tahap keempat tidak berhasil menyetor sepuluh juz.
Banyak teman dari mahasiswa Indonesia yang gagal dalam ujian ini. Hal itu disebabkan kebanyakan dari mereka belum mempunyai tabungan hafalan ketika masih di rumah atau karena kurang jeli dalam membagi waktu bersamaan dengan padatnya jadwal kuliah di kampus Universitas Al-Ahgaff. Kesulitan itu masih ditambah lagi dengan toleransi kesalahan yang (hanya) 8 kali dalam satu juz. Artinya, jika pelafalan dalam satu juz lebih dari delapan kali, maka yang bersangkutan dianggap gagal.
Sungguh ironis ketika melihat teman-teman yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata harus mengulang satu tahun karena gagal dalam ujian ini, bahkan ada yang mengulang setahun hanya karena kurang setengah juz saja.
Namun bagaimana pun juga, peraturan harus diindahkan dan apa yang telah terjadi bisa menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua untuk pintar dalam membagi waktu dengan baik.
Demikian informasi yang dapat saya sampaikan mengenai mekanisme ujian Alquran di Universitas Al-Ahgaff sebagai antisipasi untuk menghindari jatuhnya “korban” berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!