Menanggapi pertanyaan dari seorang teman
di Facebook pagi tadi, bagaimana hukumnya memindahkan penyakit pasien kepada hewan?
Dalam kajian ilmu fikih, ada sebuah
adagium yang sangat populer yaitu, "dar' al-mafâsid muqaddam alâ jalb
mashâlih" (menolak kerusakan harus lebih didahulukan dari pada mewujudkan
kesejahteraan).
Dalam permasalahan ini, menyembuhkan
penyakit adalah menciptakan kesejahteraan. Sementara memindahkan penyakit
tersebut pada hewan (misalnya) tentu menimbulkan mafsadah baru. Namun jika ada
dua mafsadah yang berlawanan, maka sebisa mungkin untuk menghindari yang lebih
besar. Dalam kasus ini, nyawa manusia dianggap lebih berharga dari pada hewan.
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Ibnu Hajar menuturkan,
jika ada seseorang menyambung tulangnya yang patah dengan barang najis, maka
sholatnya sah dan dia tidak wajib melepas kembali apa yang telah dia sambung.
Hal itu terpaksa ia lakukan karena keselamatan dirinya terancam dan tidak ada
benda suci lain yang bisa menggantikannya.
Bahkan Imam Romli yang mengikuti
pendatap Al-Ghazâli memperbolehkan merobek bagian tubuh hewan untuk sekadar
mengetahui apakah hewan tersebut mempunya darah yang mengalir atau tidak.
Sementara Imam Haramain yang diikuti oleh Ibnu Hajar tidak memperbolehkannya,
karena itu merupakan bentuk penyiksaan. Kedua pendapat ini dapat dijumpai dalam
kitab Hasyiyah al-Bâjûriy pada Bab Thaharah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa jawabannya adalah boleh, apabila sudah sampai batas dlorurot atau hajat,
demi keselamatan manusia muhtarom dengan beberapa catatan.
Pertama, hal tersebut
menjadi alternatif yang terakhir. Artinya tidak ada pengobatan lain yang dapat
menyembuhkan.
Kedua, Pasien tersebut termasuk
muhtarom 'inda al-syar'i (orang yang dimuliakan dalam pandangan Islam)
Ketiga, Sakitnya sampai kondisi mubihut
tayammum (diperkenankan untuk bertayammum).
Wallâhu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!