Pages - Menu

Sabtu, 27 April 2013

Kunjungan Singkat Ustaz dari Palestina



Kamis kemarin (25/4) adalah hari yang sangat melelahkan. Hampir seharian tidak tidur. Padahal malamnya baru tidur sekitar pukul 02.00 dini hari. Namun kelelahan itu bisa sedikit terobati ketika sore harinya saya berhasil lulus dalam tes hafalan Al-Qur'an di Madrasah Al-Aidrus Tarim.
Malam Jumat setelah shalat Isya, saya kembali ke kamar untuk istirahat. Keadaan kamar waktu itu sangat sepi. Entah ke mana orang-orang pada pergi. Rasa kantuk sudah tidak bisa lagi kutahan. Namun baru saja mata ini terpejam, tiba-tiba datang dua orang masuk ke kamar dan salah satu dari mereka membangunkanku. Sayup-sayup terdengar suaranya. Akhirnya aku mengenali suara itu. Tidak salah lagi, suara itu adalah milik Habib Abdurrahman Al-Musawa, teman satu fakultas di kampus yang sering bermain di kamarku.
Walau terasa berat, terpaksa aku membuka mata. Seorang lelaki di samping Habib Musawa terlihat biasa saja. Dia hanya mengenakan baju kemeja seperti kebanyakan anak Indonesia. Untuk sesaat, pikiranku menjadi kosong sama sekali. Aku sedang menatap Ustaz Abdullâh Syâhîn.
Ustaz Abdullâh Syâhîn berasal dari kota Ghaza, Palestina. Beliau masih sangat muda. Lulus S1 dari Universitas Al-Ahgaff Tarim pada tahun 2009 kemudian pindah ke Mukalla untuk mengabdikan diri. Saya dan teman-teman mahasiswa Indonesia angkatan ke-15 beruntung bisa diajar oleh beliau. Kami lebih dianggap sebagai adik kelas daripada sekadar murid. Pembawaannya yang bersahaja membuat teman-teman merasa nyaman saat berada di ruang kuliah.
Saya tidak pernah membayangkan hari ini akan bertemu dengan beliau. Seketika itu aku langsung bangun dari tempat tidur dan menjabat tangannya. Faqih Syamsur Rijal, teman sekamarku bergegas membentangkan sajadah dan mempersilahkan beliau duduk lalu ia keluar untuk mencari makanan ringan dan minuman.
"kaifal hal, ya ustadz!" Habib Abdurrahman Al-Musawa mengawali pembicaraan. Lalu beliau menjawab, "alhamdulillah, bi khair". Habib Abdurrahman Al-Musawa melanjutkan, "bagaiman keadaan Ghaza sekarang? Sepertinya sudah membaik, sebagaimana yang diberitakan oleh media masa?!".
Sebelum beliau menjawab, Amir Fa'ad, seorang teman dari kamar depan datang lalu berjabat tangan dan menanyakan kabar. Sesaat kemudian, Muhammad Jawad dan yang lainnya dari kamar sebelah juga berbondong-bondong datang ke kamar.
Beliau tidak sepenuhnya membenarkan pemberitaan media. Ghaza adalah kota kecil yang berbatasan langsung dengan Israel. Kota ini berpenduduk sekitar 1.5 juta jiwa. Kebanyakan dari mereka adalah para sarjana. Namun demikian, mereka tidak mendapatkan profesi yang selayaknya. Bahkan ada orang yang bertitel doktor hanya menjadi penjual sayur.
Kekuasaan politik sepenuhnya dipegang oleh Hamas yang berideologi Ikhwanul Muslimin yang memanfaatkan demokrasi untuk menguasai pemerintahan. Hampir semua orang tahu bagaimana orientasi dan pola pikir gerakan yang satu ini. Jargon mereka secara implisit adalah, "bergabunglah dengan kami, jika tidak berarti kalian adalah musuh".
Dua tahun yang lalu, ustadz Syahin (begitu kami akrab memanggilnya) pulang ke kampung halaman. Beliau sempat bertemu dengan anggota kelompok Hamas. Mereka faham betul ideologi dan pemikiran yang berkembang di kota Tarim, Hadhramaut, tempat ustadz Syahin menimba ilmu. Ketika beliau mengucapkan salam, mereka sama sekali tidak ada yang menjawab.
"Lalu bagaimana pendapat ustadz tentang konflik di Syria dan terbunuhnya Syekh Al Buthi sebulan yang lalu?" tanya salah seorang teman.
Dalam hal ini, beliau bersikap netral. Tidak memihak Pemerintah juga tidak memihak Syekh Al Buthi. Namun beliau menilai, apa yang telah Al Buthi lakukan dengan mendukung rezim Basyar Assad merupakan langkah yang tepat, sesuai dengan manhaj Rasulullah.
Al Buthi adalah salah satu saksi sejarah atas tindakan represif Attaturk di Turki yang membantai para ulama, menghancurkan masjid dan memupus Bahasa Arab. Hingga ia dan seluruh keluarganya memilih berhijrah ke Syria. Pengalaman pahit tindakan bengis penguasa ini, tak akan bisa dihapus. Maka sikap beliau yang memilih loyal kepada pemerintah, dipahami sebagai “dakwah” untuk menjaga generasi muda Islam dan alim ulama dari pembantaian rezim Al Assad. Al Buthi paham betul, kepedihan dari praktik zhalim penguasa terhadap para ulama dan aktivis gerakan Islam di seluruh negeri Arab. Oleh karena itu, beliau masuk ke dalam lingkaran kekuasaan dalam rangka menasihati, tidak lebih.
Sangat disayangkan, ketika para cendekiawan muslim justru menghujat sikap Syekh Buthi ini karena perbedaan pendapat. Salah satunya adalah komentar Syekh Al Qardlawi (anggota dari Ikhwanul Muslimin) yang mengatakan, "Dia (Syekh Buthi) sudah kehilangan akal sehat dan jati dirinya sebagai ulama" saat diwawancarai di stasiun televisi Al Jazeera. Sungguh aneh, ketika Al Qardlawi berjabat tangan dengan perempuan lain tidak ada yang menentang, tapi jika Syekh Buthi membela hak kaum muslimin justru dihujat habis-habisan.
Perbincangan selanjutnya hanya gurauan dari teman-teman hingga tidak terasa waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Akhirnya beliau berpamitan dan jika tidak ada halangan, akan mengikuti acara kumpul bareng di kolam renang pekan depan.

Sumber foto :  Fa'ad Mas'ud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!