Kamis kemarin (25/4) adalah hari yang sangat
melelahkan. Hampir seharian tidak tidur. Padahal malamnya baru tidur sekitar
pukul 02.00 dini hari. Namun kelelahan itu bisa sedikit terobati ketika sore
harinya saya berhasil lulus dalam tes hafalan Al-Qur'an di Madrasah Al-Aidrus
Tarim.
Malam Jumat setelah shalat Isya, saya
kembali ke kamar untuk istirahat. Keadaan kamar waktu itu sangat sepi. Entah
ke mana orang-orang pada pergi. Rasa kantuk sudah tidak bisa lagi kutahan. Namun
baru saja mata ini terpejam, tiba-tiba datang dua orang masuk ke kamar dan
salah satu dari mereka membangunkanku. Sayup-sayup terdengar suaranya. Akhirnya
aku mengenali suara itu. Tidak salah lagi, suara itu adalah milik Habib
Abdurrahman Al-Musawa, teman satu fakultas di kampus yang sering bermain di
kamarku.
Walau terasa berat, terpaksa aku membuka
mata. Seorang lelaki di samping Habib Musawa terlihat biasa saja. Dia hanya
mengenakan baju kemeja seperti kebanyakan anak Indonesia. Untuk sesaat, pikiranku menjadi
kosong sama sekali. Aku sedang menatap Ustaz Abdullâh Syâhîn.
Ustaz Abdullâh Syâhîn berasal dari kota Ghaza, Palestina. Beliau
masih sangat muda. Lulus S1 dari Universitas Al-Ahgaff Tarim pada tahun 2009 kemudian
pindah ke Mukalla untuk mengabdikan diri. Saya dan teman-teman mahasiswa Indonesia
angkatan ke-15 beruntung bisa diajar oleh beliau. Kami lebih dianggap sebagai
adik kelas daripada sekadar murid. Pembawaannya yang bersahaja membuat
teman-teman merasa nyaman saat berada di ruang kuliah.
Saya tidak pernah membayangkan hari ini
akan bertemu dengan beliau. Seketika itu aku langsung bangun dari tempat tidur
dan menjabat tangannya. Faqih Syamsur Rijal, teman sekamarku bergegas
membentangkan sajadah dan mempersilahkan beliau duduk lalu ia keluar untuk
mencari makanan ringan dan minuman.
"kaifal hal, ya ustadz!"
Habib Abdurrahman Al-Musawa mengawali pembicaraan. Lalu beliau menjawab, "alhamdulillah,
bi khair". Habib Abdurrahman Al-Musawa melanjutkan, "bagaiman
keadaan Ghaza sekarang? Sepertinya sudah membaik, sebagaimana yang diberitakan
oleh media masa?!".
Sebelum beliau menjawab, Amir Fa'ad,
seorang teman dari kamar depan datang lalu berjabat tangan dan menanyakan
kabar. Sesaat kemudian, Muhammad Jawad dan yang lainnya dari kamar sebelah juga
berbondong-bondong datang ke kamar.
Beliau tidak sepenuhnya membenarkan
pemberitaan media. Ghaza adalah kota kecil yang
berbatasan langsung dengan Israel.
Kota ini
berpenduduk sekitar 1.5 juta jiwa. Kebanyakan dari mereka adalah para sarjana.
Namun demikian, mereka tidak mendapatkan profesi yang selayaknya. Bahkan ada
orang yang bertitel doktor hanya menjadi penjual sayur.
Kekuasaan politik sepenuhnya dipegang
oleh Hamas yang berideologi Ikhwanul Muslimin yang memanfaatkan demokrasi untuk
menguasai pemerintahan. Hampir semua orang tahu bagaimana orientasi dan pola
pikir gerakan yang satu ini. Jargon mereka secara implisit adalah,
"bergabunglah dengan kami, jika tidak berarti kalian adalah musuh".
Dua tahun yang lalu, ustadz Syahin
(begitu kami akrab memanggilnya) pulang ke kampung halaman. Beliau sempat
bertemu dengan anggota kelompok Hamas. Mereka faham betul ideologi dan
pemikiran yang berkembang di kota
Tarim, Hadhramaut, tempat ustadz Syahin menimba ilmu. Ketika beliau mengucapkan
salam, mereka sama sekali tidak ada yang menjawab.
"Lalu bagaimana pendapat ustadz
tentang konflik di Syria
dan terbunuhnya Syekh Al Buthi sebulan yang lalu?" tanya salah seorang
teman.
Dalam hal ini, beliau bersikap netral.
Tidak memihak Pemerintah juga tidak memihak Syekh Al Buthi. Namun beliau
menilai, apa yang telah Al Buthi lakukan dengan mendukung rezim Basyar Assad
merupakan langkah yang tepat, sesuai dengan manhaj Rasulullah.
Al Buthi adalah salah satu saksi sejarah
atas tindakan represif Attaturk di Turki yang membantai para ulama,
menghancurkan masjid dan memupus Bahasa Arab. Hingga ia dan seluruh keluarganya
memilih berhijrah ke Syria.
Pengalaman pahit tindakan bengis penguasa ini, tak akan bisa dihapus. Maka
sikap beliau yang memilih loyal kepada pemerintah, dipahami sebagai “dakwah”
untuk menjaga generasi muda Islam dan alim ulama dari pembantaian rezim Al
Assad. Al Buthi paham betul, kepedihan dari praktik zhalim penguasa terhadap
para ulama dan aktivis gerakan Islam di seluruh negeri Arab. Oleh karena itu,
beliau masuk ke dalam lingkaran kekuasaan dalam rangka menasihati, tidak lebih.
Sangat disayangkan, ketika para
cendekiawan muslim justru menghujat sikap Syekh Buthi ini karena perbedaan
pendapat. Salah satunya adalah komentar Syekh Al Qardlawi (anggota dari
Ikhwanul Muslimin) yang mengatakan, "Dia (Syekh Buthi) sudah kehilangan
akal sehat dan jati dirinya sebagai ulama" saat diwawancarai di stasiun
televisi Al Jazeera. Sungguh aneh, ketika Al Qardlawi berjabat tangan dengan perempuan
lain tidak ada yang menentang, tapi jika Syekh Buthi membela hak kaum muslimin
justru dihujat habis-habisan.
Perbincangan selanjutnya hanya gurauan
dari teman-teman hingga tidak terasa waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh
malam. Akhirnya beliau berpamitan dan jika tidak ada halangan, akan mengikuti
acara kumpul bareng di kolam renang pekan depan.
Sumber foto : Fa'ad Mas'ud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!