Hampir satu dasawarsa telah berlalu
ketika saya dan teman-teman dari PP. Fadllul Wahid Bandungsari, Grobogan, turut
serta menghadiri peringatan Haul Syekh Mustaqim Husain di Pondok Pesantren Pesulukan
Tarekat Agung (PETA) Tulungagung, Jawa Timur. Waktu itu yang menjadi penceramah
adalah KH Abdul Qayyum dari kota Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Sebagaimana
kebiasaannya seusai menyampaikan siraman rohani, kiai yang akrab disapa gus
Qayyum ini memberi ijazah doa kepada para hadirin.
Doa yang diijazahkan kali ini tergolong
unik, kerena merupakan hasil kreasi dan inovasi beliau sendiri. Beliau
merangkai sebuah kalimat doa dengan kombinasi antara bahasa Arab, Indonesia dan
Jawa. Berikut bunyi lengkap doa itu, Allâhumma ij'alnâ minan netraliyyin,
walâ taj'alnâ minal melo'iyyin. (Ya Allah, jadikanlah kami termasuk
golongan orang-orang yang berperilaku netral, dan jangan jadikan kami termasuk
orang yang suka ikut-ikutan). Beliau menekankan, agar doa ini dibaca setiap hari
oleh seluruh kaum muslimin, karena waktu itu adalah musim kampanye para calon
legislatif dan dalam waktu dekat akan ada Pemilihan Umum.
Secara harfiah, makna dari doa tersebut sangatlah
jelas. Yaitu mengajak kita semua untuk selalu bersikap netral, bijaksana, dan
tidak fanatik, terutama dalam memilih calon pemimpin. Netral artinya mempunyai
pendirian sendiri, jujur dan tidak terpengaruh dengan omongan orang lain atau
ikut-ikutan dalam menentukan pilihan.
Melihat waktu penyampaiannya, doa
tersebut memang terkesan temporal. Namun bukan berarti esensi kandungannya
sudah kadaluwarsa dan tidak berlaku lagi. Sikap netral tidak hanya ditunjukkan
saat menjelang pemilihan umum saja, tapi juga harus diterapkan dalam seluruh
aspek kehidupan sehari-hari.
Dalam dunia jurnalistik misalnya,
seorang wartawan tidak boleh sembarangan menulis sebuah berita lalu
mempublikasikannya tanpa terlebih dahulu melakukan konfirmasi kepada pihak yang
bersangkutan. Ada ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi sebelum menyajikan
fakta dalam sebuah berita. Ketentuan tersebut antara lain, tidak menyampaikan
informasi secara sepihak atau hanya dari satu sumber saja.
Sebagai contoh, ada sebuah kejadian seorang
lelaki tak dikenal tiba-tiba dikeroyok warga karena dituduh mencuri. Menurut
keterangan salah seorang warga yang menjadi saksi, lelaki itu bernama fulan, dari
kampung sebelah dan tertangkap basah telah mencuri buah mangga. Mendengar
penjelasan seperti itu, seorang wartawan tidak boleh langsung mengirim berita
ke redaktur bahwa "fulan dikeroyok massa karena telah mencuri mangga".
Ia harus meminta konfirmasi langsung kepada si fulan, apakah dirinya
benar-benar melakukan tindakan mencuri atau ternyata dia hanya korban salah
tangkap. Andaikata terpaksa harus menyampaikan berita itu (karena dikejar date
line misalnya), ia harus merahasiakan identitas lelaki yang menjadi
tersangka tersebut.
Itulah sebabnya, saya memilih untuk diam
ketika beberapa waktu yang lalu dimintai komentar mengenai konflik yang menimpa
dua organisasi persatuan pelajar Indonesia di lingkungan Universitas Al-Ahgaff.
Disharmoni tersebut bermula ketika salah satunya hendak mengadakan pemilihan
ketua baru, sementara yang satunya lagi tidak mau memberikan suaranya. Padahal,
keduanya masih berada dalam satu lembaga pendidikan. Kabarnya, ada intervensi
dari pihak luar yang mempengaruhi agar tidak memberikan dukungan dalam bentuk
suara. Apakah kabar itu benar? Saya tidak tahu. Yang jelas, berita sepihak (hanya
dari satu sumber) seperti ini tidak bisa dijamin kebenarannya. Lalu bagaimana saya
bisa memberi tanggapan secara netral?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!