Pages - Menu

Jumat, 04 Oktober 2013

Sudut Pandang Netral



Hampir satu dasawarsa telah berlalu ketika saya dan teman-teman dari PP. Fadllul Wahid Bandungsari, Grobogan, turut serta menghadiri peringatan Haul Syekh Mustaqim Husain di Pondok Pesantren Pesulukan Tarekat Agung (PETA) Tulungagung, Jawa Timur. Waktu itu yang menjadi penceramah adalah KH Abdul Qayyum dari kota Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Sebagaimana kebiasaannya seusai menyampaikan siraman rohani, kiai yang akrab disapa gus Qayyum ini memberi ijazah doa kepada para hadirin.
Doa yang diijazahkan kali ini tergolong unik, kerena merupakan hasil kreasi dan inovasi beliau sendiri. Beliau merangkai sebuah kalimat doa dengan kombinasi antara bahasa Arab, Indonesia dan Jawa. Berikut bunyi lengkap doa itu, Allâhumma ij'alnâ minan netraliyyin, walâ taj'alnâ minal melo'iyyin. (Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan orang-orang yang berperilaku netral, dan jangan jadikan kami termasuk orang yang suka ikut-ikutan). Beliau menekankan, agar doa ini dibaca setiap hari oleh seluruh kaum muslimin, karena waktu itu adalah musim kampanye para calon legislatif dan dalam waktu dekat akan ada Pemilihan Umum.
Secara harfiah, makna dari doa tersebut sangatlah jelas. Yaitu mengajak kita semua untuk selalu bersikap netral, bijaksana, dan tidak fanatik, terutama dalam memilih calon pemimpin. Netral artinya mempunyai pendirian sendiri, jujur dan tidak terpengaruh dengan omongan orang lain atau ikut-ikutan dalam menentukan pilihan.
Melihat waktu penyampaiannya, doa tersebut memang terkesan temporal. Namun bukan berarti esensi kandungannya sudah kadaluwarsa dan tidak berlaku lagi. Sikap netral tidak hanya ditunjukkan saat menjelang pemilihan umum saja, tapi juga harus diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari.
Dalam dunia jurnalistik misalnya, seorang wartawan tidak boleh sembarangan menulis sebuah berita lalu mempublikasikannya tanpa terlebih dahulu melakukan konfirmasi kepada pihak yang bersangkutan. Ada ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi sebelum menyajikan fakta dalam sebuah berita. Ketentuan tersebut antara lain, tidak menyampaikan informasi secara sepihak atau hanya dari satu sumber saja.
Sebagai contoh, ada sebuah kejadian seorang lelaki tak dikenal tiba-tiba dikeroyok warga karena dituduh mencuri. Menurut keterangan salah seorang warga yang menjadi saksi, lelaki itu bernama fulan, dari kampung sebelah dan tertangkap basah telah mencuri buah mangga. Mendengar penjelasan seperti itu, seorang wartawan tidak boleh langsung mengirim berita ke redaktur bahwa "fulan dikeroyok massa karena telah mencuri mangga". Ia harus meminta konfirmasi langsung kepada si fulan, apakah dirinya benar-benar melakukan tindakan mencuri atau ternyata dia hanya korban salah tangkap. Andaikata terpaksa harus menyampaikan berita itu (karena dikejar date line misalnya), ia harus merahasiakan identitas lelaki yang menjadi tersangka tersebut.
Itulah sebabnya, saya memilih untuk diam ketika beberapa waktu yang lalu dimintai komentar mengenai konflik yang menimpa dua organisasi persatuan pelajar Indonesia di lingkungan Universitas Al-Ahgaff. Disharmoni tersebut bermula ketika salah satunya hendak mengadakan pemilihan ketua baru, sementara yang satunya lagi tidak mau memberikan suaranya. Padahal, keduanya masih berada dalam satu lembaga pendidikan. Kabarnya, ada intervensi dari pihak luar yang mempengaruhi agar tidak memberikan dukungan dalam bentuk suara. Apakah kabar itu benar? Saya tidak tahu. Yang jelas, berita sepihak (hanya dari satu sumber) seperti ini tidak bisa dijamin kebenarannya. Lalu bagaimana saya bisa memberi tanggapan secara netral?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!