Pertengahan bulan Mei seperti ini di
negara-negara Arab, tak terkecuali Yaman, sedang mendekati puncak musim panas. Udara
terik di siang hari membuat siapa saja enggan untuk keluar dari asrama,
walaupun hanya sekadar membeli minuman di warung depan yang hanya berjarak 50
meter. Suara angin yang berhembus dari celah-celah tebing seolah merayu kami
untuk kembali ke kamar dan leyeh-leyeh saja.
Dalam keadaan yang tidak nyaman seperti
itu, saya dan teman-teman kelas 4 Syu'bah Ba' harus bersiap-siap untuk
melakukan perjalanan ke luar kota
untuk menyelesaikan kajian kitab Minhajut Thalibin yang sudah berlangsung
selama empat tahun. Jika tidak karena pentingnya arti rihlah kali ini, saya pasti
lebih memilih untuk tidur dari pada menyiksa diri seperti ini.
Kamis, 16 Mei 2012 kemarin, setelah
selesai makan siang, saya bersama sekitar 30 teman yang lain berkerumun di
depan gerbang asrama menunggu kedatangan bus yang akan mengangkut kami. Jarum
jam menunjukkan pukul 13.40 ketika bus yang kami nanti-nanti memasuki halaman
kampus. Saya langsung masuk dan mengambil tempat duduk di samping pintu.
Teman-teman yang lain juga bergegas masuk. Awalnya saya heran, kenapa busnya
tidak kunjung jalan? padahal kursi penumpang sudah terisi penuh. Rasa heran
saya berubah menjadi kaget ketika beberapa orang datang dan langsung naik
mencari tempat duduk. "Maklumlah, namanya juga gratisan" seru salah
seorang teman dari belakang.
Akhirnya bus yang kami tumpangi berangkat
pukul 13.55 dan sampai di Ribath Hauthah sepuluh menit sebelum adzan Ashar
berkumandang. Dengan demikian perjalanan sejauh 60 kilometer itu ditempuh
selama kurang lebih 45 menit.
Rasa letih sedikit berkurang saat kami
masuk. Kami ditempatkan di lantai tiga yang baru saja selesai dibangun. Di
sebagian tempat, aroma cat masih terasa menusuk hidung. Saya langsung mencari
tempat yang nyaman untuk tidur. Dan sepertinya baru setengah jam kami tidur
sudah harus bangun lagi untuk shalat Ashar dan memulai pangajian kitab Minhajut
Thalibin.
Dalam silabus kurikulum Al-Ahgaff, kitab
Minhajut Thalibin dikaji selama tujuh semester. Dari semester dua hingga
semester delapan. Sistem pembelajarannya sama seperti di pondok-pondok
pesantren. Yaitu teks-teks ibaroh difahami setiap kalimatnya. Dan alhamdulillah
sekarang tinggal beberapa bab saja sudah khatam. Kali ini yang mengajar adalah
Ustadz Abdurrahman bin Thaha Al-Habsyi dari Hauthah. Bagi teman-teman kelas 4
beliau sudah tidak asing lagi. Sebab, dulu beliau pernah mengajar kitab yang
sama pada bab zakat dan bab nikah. Seminggu yang lalu, di ruang kuliah, beliau
mengatakan bahwa dalam waktu dekat ini akan bepergian cukup lama, dan baru akan
kembali menjelang ujian akhir semester, maka dari itu kami diundang ke kampung
halamannya untuk mengkaji kitab tersebut secara maraton dan menyelesaikannya secepat
mungkin. Pengajian kali ini mungkin akan menyisakan kenangan tersendiri bagi
teman-teman. Karena tempat dan suasananya sangat berbeda dengan sebelumnya.
Pada pertemuan pertama, beliau memberi
sambutan hangat kepada kami. "Baru kali ini saya mengadakan pengajian di
tempat (atap) ini. Saya harap kalian bisa menikmatinya. Bahkan mungkin tempat
seperti ini jauh lebih efektif karena disamping bisa menghilangkan rasa kantuk,
udara panas dari angin yang berhembus bisa membuka pori-pori kulit. Dengan
demikian, apa yang saya sampaikan bisa masuk tidak hanya melalui telinga saja,
tapi juga melalui pori-pori yang terbuka tadi. Tidak hanya itu, setiap jalsah
kalian akan saya suguhi minuman segar untuk menambah semangat" katanya
memulai pembicaraan.
Hari pertama pengajian berlangsung selama
tiga kali. Yaitu setelah Ashar, setelah Maghrib dan setelah Isya'. Sementara di
hari kedua, sesi pengajian berlangsung selama enam kali.
Keesokan harinya kami harus bangun
pagi-pagi untuk memulai pengajian lagi. Kali ini, ustadz Abdurrahman memberi
kelonggaran dengan hanya memberikan satu kali pertemuan saja. Dan untuk
pengajian selanjutnya dilaksanakan setelah shalat Jum'at. Pukul 6 lebih sedikit
pengajian Jum'at pagi selesai.
Interval waktu yang cukup panjang tidak
disia-siakan oleh teman-teman. Mereka yang sudah membawa celana dari Tarim berencana
mengajak santri Ribath untuk bermain sepak bola. Dalam pertandingan di lapangan
yang sangat luas itu teman-teman Ahgaff menang dengan skor 0-3. Masing-masing
gol dicetak oleh Muhammad Ahmad Sahal, Saiful Arif dan Suryono. Pukul 07.45
kami semua kembali ke Ribath untuk sarapan.
Setelah selesai makan pagi, kami
bercengkerama sambil minum halib di samping lapangan tenis meja. Sebagian yang
lain langsung ke atas untuk tidur. Setelah selesai minum halib, saya langsung
mandi dan sebelum berangkat ke masjid saya sempat main pingpong selama tiga set
berturut-turut.
Selesai shalat Jum'at, teman-teman
kembali ke kamar sambil menunggu makan siang untuk kemudian melanjutkan
pengajian sesi ke-5 yang dimulai pukul setengah dua dan selesai setelah
terdengar suara adzan Ashar. Seusai shalat Ashar, pengajian dilanjutkan pukul
16.30 dan selesai saat matahari terbenam.
Sebenarnya kitab yang dikaji masih
menyisakan beberapa lembar dan sepertinya tidak cukup untuk diselesaikan dalam
satu jalsah (sesi). Rencana awalnya kami akan kembali ke Tarim setelah Maghrib
atau jika belum selesai maka setelah Isya'. Namun karena beberapa pertimbangan,
akhirnya teman-teman sepakat untuk pulang besok pagi dan mentargetkan khatam
malam itu juga.
Akhirnya pada pukul 23.05 setelah
melewati tiga sesi yang panjang dan melelahkan, pengajian kitab Minhajut
Thalibin benar-benar rampung. Ustadz Abdurrahman mengakhiri pembicaraan dengan
memberikan ijazah semua kitab-kitab yang telah dibacakan oleh beliau dan mempersilahkan
para teman-teman Ahgaff yang ingin mengikuti dauroh di Ribath Hauthah bulan
puasa nanti.
Setelah itu saya langsung tidur dan
paginya setelah shalat Shubuh dan membaca wirid kami bergegas naik bus yang
sudah disiapkan untuk kembali ke Tarim.
Sumber Foto : Ala'uddin Najih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!